Tuesday 29 March 2016

Hadirilah Malam Puncak Dies Natalis ke-22 KMK Untan

kmkuntan - Malam Puncak Dies Natalis KMK Untan akan dilaksanakan pada Minggu, 3 April 2016 bertempat di Gedung Remaja Jalan Ar. Hakim No. 92 (belakang Gereja Katedral) dan akan dilaksanakan pada pukul 14.30 - selesai.

Acara yang mengambil tema "Persekutuan Dalam Pelayanan Untuk Membagikan Suka Cita Kepada Semua" bertujuan untuk berbagi untuk sesama. Untuk mensyukuri bertambahnya usia KMK Untan, maka acara akan dimulai dengan Misa Syukur.

Semarak Dies Natalis ke-22 tahun ini juga akan dimeriahkan dengan Performance KMK Unit, Doorpize, Surprise Party, dan akan ditutup dengan ramah tamah.

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi KMK Untan :
email : kmkuntan@gmail.com
facebook : KMK Untan

Monday 28 March 2016

Dies Natalis KMK

kmkuntan - Usia Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) Universitas Tanjungpura kian semakin dewasa. KMK Untan akan menginjak usia 22 tahun. Dalam usia yang tidak muda lagi tentunya banyak hal yang telah dilalui. Dengan bukti nyata, maka KMK Untan akan mengadakan agenda tahunannya yaitu Dies Natalis.

Dies Natalis ini dilakukan dengan beberapa agenda kegiatan, yaitu Pesta Rakyat yang dilaksanakan pada Sabtu (19/3), kemudian dilanjutkan dengan kunjungan sosial ke panti jompo, Minggu (20/3).
Untuk menutup rangkaian kegiatan tersebut, maka akan diadakan Malam Puncak Dies Natalis, tepatnya pada hari Sabtu, 2 April 2016

Sunday 27 March 2016

Kisah Hidup Santo-santa

Kisah hidup santo santa yang patut diteladani

Santa Brigitta:
Mengandalkan Kasih Kristus

Kehidupan seorang santa seringkali tak jauh dari kehidupan orang biasa. Ia juga mengalami hal-hal yang dialami setiap manusia lainnya. Bedanya, dalam melakukan pilihannya, ia selalu mendahulukan kehendak Allah. Perilaku inilah yang ditunjukkan St. Brigitta di masa hidupnya. Ia adalah seorang santa dari Swedia yang lahir tahun 1303 dan meninggal 23 Juli 1373. Kehidupannya adalah cermin bagi kita semua yang ingin hidup mengandalkan kasih Kristus semata-mata.

Senang Meditasi

Lahir sebagai anak orang kaya, tak membuat Brigitta mengingkari dirinya sebagai anak Tuhan. Ayahnya, Birger Persson, adalah seorang gubernur dan jaksa di provinsi Uppland. Ibunya, bernama Ingeborg Bengstdotter. Kedua orangtuanya adalah teladan hidup Brigitta dalam menjalani hidup yang suci dan penuh kerja keras. Sang ayah menggunakan setiap hari Jumat untuk melakukan penitensi atas dosa-dosanya. Salah seorang kerabat mereka, Santa Ingrid, adalah seorang suci yang meninggal dua puluh tahun sebelum kelahiran Brigitta. Tak heran jika kehidupan Brigitta sangat religius. Pada usianya yang ke-7, gadis kecil ini menunjukkan tanda-tanda kesucian dan pencerahan spiritual yang luar biasa. Sejak kecil ia senang melakukan meditasi secara khusus untuk penderitaan Kristus.

Seperti juga gadis lain pada zamannya, pada usia 13 tahun, ia dinikahkan dengan Ulf Gudmarrson, seorang bangsawan yang masih berusia 18 tahun. Sang suami yang saleh dan religius juga sangat mempengaruhi Brigitta. Maka tak heran jika satu dari delapan putra-putri pasangan yang diberkati Tuhan ini juga adalah seorang santa, yakni Santa Katarina. Bersama sang suami, Brigitta melakukan ziarah ke Santiago de Compostella. Sekembali mereka ke Swedia, Ulf dengan seizin sang istri masuk biara Cisterciensis (di Indonesia sekarang dikenal sebagai ordo para pertapa, OCSO). Di biara tersebut, ia meninggal dunia di tahun 1344.

Mendirikan Ordo

Kematian sang suami tercinta justru membuat Brigitta semakin mendalami devosinya terhadap Kristus. Penglihatan yang dialaminya sejak masih sangat kecil semakin sering dialaminya dan semakin nyata. Ia yakin bahwa Kristus sendiri yang hadir di hadapannya. Brigitta pun menuliskan rahasia yang menjadi terbuka baginya. Tentu saja penglihatan tentang penderitaan Kristus yang dialaminya menjadikannya sangat terkenal di Abad

Pertengahan, setelah tulisannya tersebut diterjemahkan dalam Bahasa Latin oleh dua teolog dari Linköping, Matthias Magister dan Prior Peter.
Praktek hidup religius dan kegemarannya melakukan meditasi mendorongnya untuk membentuk sebuah kongregasi baru, yakni Brigittines atau yang dikenal dengan Ordo Sang Penyelamat. Pada tahun 1346, Brigitta mendapatkan penghormatan secara langsung oleh Raja Swedia, Raja Magnus dan permaisurinya.
Brigitta adalah seorang religius yang sangat dalam devosinya. Untuk mendapatkan izin berdirinya kongregasinya dan juga semakin memperluas daerah misinya, Brigitta melakukan perjalanan ke Roma pada tahun 1349. Ia berada di Roma hingga meninggal dunia di tahun 1370. Di tahun yang sama Paus Urbanus V memberikan izin resmi berdirinya Ordo Brigittines.
Pada tanggal 7 Oktober 1391, Brigitta mendapatkan kanonisasi sebagai santa oleh Paus Bonivasius IX. Hidupnya yang selalu diarahkan pada Kristus, kasihnya pada sesama manusia dan dorongan yang diberikannya pada oranglain untuk hidup lebih baik, membuat Santa Brigitta patut dianugerahi sebagai ibu kaum beriman.Ia mengajarkan untuk mencintai Yesus yang tersalib. Bagi Brigitta, penderitaan dan kematian-Nya akan membuat manusia memahami cinta Tuhan pada manusia.



St. Basilius Agung & St. Gregorius dari Nazianze
Basilius dan Gregorius dilahirkan di Asia Kecil pada tahun 330. Sekarang daerah tersebut dikenal dengan nama Turki. Keluarga Basilius: nenek, ayah, ibu, dua saudara serta seorang saudarinya semuanya adalah orang kudus. Sedangkan orangtua Gregorius adalah St. Nonna dan St. Gregorius Tua. Basilius dan Gregorius saling bertemu dan menjadi sahabat karib di sekolah di Athena, Yunani.
Basilius kemudian menjadi seorang guru yang tersohor. Suatu hari, saudarinya yaitu St. Makrina, menyarankan agar
ia menjadi seorang biarawan. Basilius mendengarkan nasehat baik saudarinya, pergi ke tempat yang sunyi dan di sana mendirikan biaranya yang pertama. Regula (=peraturan biara) yang ditetapkannya bagi para biarawannya amatlah bijaksana. Biara-biara Gereja Timur masih menerapkannya hingga saat ini.
Keduanya, Basilius dan Gregorius, menjadi imam dan kemudian Uskup. Mereka dengan berani berkhotbah menentang bidaah Arianisme yang menyangkal bahwa Yesus adalah Tuhan. Ajaran sesat ini membingungkan banyak orang. Ketika menjadi Uskup Konstantinopel, Gregorius mempertobatkan banyak orang dengan khotbah-khotbahnya yang mengagumkan. Hal itu membuatnya hampir saja kehilangan nyawanya. Seorang pemuda berencana untuk membunuhnya. Pada saat-saat terakhir, pemuda tersebut bertobat serta memohon pengampunan dari Gregorius. St. Gregorius sungguh mengampuninya serta membawanya ke jalan yang benar dengan kelemahlembutan serta kebaikan hatinya.
Empatpuluh empat khotbah St. Gregorius, 243 suratnya, serta banyak puisinya kemudian diterbitkan. Buah penanya masih amat penting hingga saat ini. Banyak penulis mendasarkan karya-karya mereka pada buah penanya itu.
Basilius, sahabat Gregorius, seorang yang amat lembut serta murah hati. Ia selalu menyediakan waktu untuk menolong kaum miskin papa. Ia bahkan mendorong orang-orang miskin itu untuk menolong mereka yang lebih miskin dari mereka sendiri. “Berikanlah makanan terakhirmu kepada pengemis yang mengetuk pintumu,” desaknya, “dan percayalah akan belas kasihan Tuhan.” Basilius menyumbangkan segala miliknya dan membuka sebuah dapur umum. Di sana orang sering melihatnya mengenakan celemek dan melayani mereka yang lapar. Basilius wafat pada tahun 379 dalam usia empatpuluh sembilan tahun. Sementara Gregorius wafat pada tahun 390 dalam usia enampuluh tahun. Ia dimakamkan di Basilika St. Petrus di Roma.
Kita tidak akan pernah menyesal mempergunakan pengetahuan, waktu, serta bakat-bakat kita untuk membantu orang-orang di sekitar kita semakin dekat dengan Tuhan.

St. Elizabeth Ann Seton (ternyata udah Santa, sorry kemaren dipost cuman Beata, habis bukunya udah tua ehehehehe)
“Moeder Seton” demikianlah orang mengenalnya ketika ia wafat pada tanggal 4 Januari 1821 di Emmitsburg, Maryland. Suatu perjalanan hidup yang penuh dengan kejutan telah menghantarnya untuk menyandang gelar itu.
Elizabeth dilahirkan di kota New York pada tanggal 28 Agustus 1774. Ayahnya, Richard Bayley, adalah seorang dokter yang tersohor. Ibunya, Katarina, meninggal dunia ketika ia masih amat muda. Elizabeth seorang jemaat Episcopal (Gereja Anglikan di Amerika Serikat dan Skotlandia). Semasa remajanya, ia melakukan banyak hal untuk menolong orang-orang miskin. Pada tahun 1794, Elizabeth menikah dengan William Seton. William adalah seorang saudagar kaya-raya yang memiliki suatu armada kapal laut. Elizabeth, William, beserta kelima anak mereka hidup berbahagia. Tetapi, tiba-tiba saja, William jatuh bangkrut dan sakit parah dalam waktu yang singkat. Elizabeth mendengar bahwa cuaca Italia mungkin dapat membuat keadaan suaminya lebih baik. Maka, Elizabeth, William berserta puteri tertua mereka, Anna, melakukan perjalanan ke Italia dengan kapal laut. Tetapi, William meninggal dunia tak lama kemudian. Elizabeth dan Anna untuk sementara waktu tetap tinggal di Italia sebagai tamu keluarga Filicchi. Keluarga Filicchi amat baik hati. Mereka berusaha meringankan penderitaan Elizabeth dan Anna dengan membagikan cinta mereka yang mendalam akan iman Katolik. Elizabeth pulang kembali ke New York dengan tekad bahwa ia akan menjadi seorang Katolik. Keluarga serta teman-temannya menentang Elizabeth. Mereka amat kecewa mendengar keputusannya, tetapi Elizabeth maju terus dengan berani. Ia bergabung dalam Gereja Katolik pada tanggal 4 Maret 1805.
Beberapa tahun kemudian, Elizabeth dimintai tolong untuk datang serta membuka sebuah sekolah putri di Baltimore. Di sanalah Elizabeth memutuskan untuk hidup sebagai seorang biarawati. Banyak wanita yang datang untuk bergabung dengannya, termasuk saudarinya dan juga saudari iparnya. Puteri-puterinya sendiri, Anna dan Katarina, juga bergabung pula. Mereka membentuk Suster-suster Putri Kasih Amerika dan Elizabeth diangkat sebagai pemimpin mereka dan dipanggil “Moeder Seton”. Elizabeth menjadi terkenal. Ia mendirikan banyak sekolah Katolik dan beberapa rumah yatim piatu. Ia juga merencanakan untuk mendirikan sebuah rumah sakit yang kemudian diresmikan setelah wafatnya. Elizabeth suka menulis dan ia juga menerjemahkan beberapa buku pegangan dari bahasa Perancis ke bahasa Inggris. Tetapi, Elizabeth jauh lebih dikenal oleh karena kebiasaannya mengunjungi mereka yang miskin dan sakit. Elizabeth dinyatakan kudus oleh Paus Paulus VI pada tanggal 14 September 1975.
Jika sesuatu yang telah terjadi mengubah hidup kita dari suka menjadi duka, marilah kita berpaling kepada Tuhan seperti yang dilakukan oleh Moeder Seton, serta memohon pertolongan-Nya. Tuhan membantu kita untuk melihat bagaimana saat-saat yang sulit dapat memunculkan bakat-bakat kita yang terpendam. Kemudian kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh kita sebelumnya.

St. Yohanes Neumann
Bukan saja Yohanes Neumann itu seorang yang pendiam, ia juga seorang yang pendek dengan tingginya seratus tujuhpuluh lima senti. Sinar matanya amat lembut dan ia banyak tersenyum.
Yohanes dilahirkan pada tanggal 28 Maret 1811 di Bohemia, sekarang bagian dari Republik Czech. orangtuanya adalah Filipus dan Agnes Neumann. Yohanes mempunyai empat orang saudari dan seorang saudara kandung. Setelah lulus dari sekolah, Yohanes masuk seminari. Ketika tiba satnya untuk ditahbiskan, Bapa Uskup jatuh sakit. Sesudahnya, tanggal pentahbisannya tidak pernah ditetapkan lagi karena pada saat itu Bohemia sudah memiliki banyak imam. Yohanes membaca tentang karya-karya misi di Amerika Serikat, jadi ia memutuskan untuk pergi ke Amerika agar dapat ditahbiskan. Dengan berjalan kaki ia menempuh hampir seluruh perjalanannya ke Perancis, lalu menumpang kapal yang menuju Eropa.
Yohanes tiba di Manhattan pada tanggal 9 Juni 1836. Uskup Yohanes Dubois amat gembira menyambut kedatangannya. Hanya ada tigapuluh enam imam untuk melayani dua ratus ribu umat Katolik yang tinggal di negara bagian New York dan sebagian New Jersey. Hanya enambelas hari setelah kedatangannya, Yohanes ditahbiskan sebagai imam dan diutus ke Buffalo. Di sana ia akan membantu Pastor Pax melayani parokinya yang luasnya sembilan ratus meter persegi. Pastor Pax memberinya kebebasan untuk memilih antara kota Buffalo atau daerah pedesaan. Watak Yohanes yang gagah berani mulai kelihatan. Ia memilih yang paling sulit – daerah pedesaan. Ia memutuskan untuk tinggal di sebuah kota kecil dengan sebuah gereja yang belum selesai dibangun. Ketika gereja itu selesai pembangunannya, ia pindah ke kota lain dengan gereja yang dibangun dari balok-balok kayu. Di sana ia mendirikan bagi dirinya sendiri sebuah kamar kecil berdinding kayu. Hampir tidak pernah ia menyalakan api dan seringkali hanya makan roti dan air saja. Ia juga tidur hanya beberapa jam saja setiap malam. Pertanian-pertanian di daerahnya jauh jaraknya antara yang satu dengan yang lain. Yohanes harus berjalan kaki menempuh perjalanan yang panjang agar dapat mengunjungi umatnya. Mereka adalah orang-orang Jerman, Perancis, Irlandia dan Skotlandia. Dahulu di sekolah, Yohanes telah menguasai delapan bahasa. Sekarang ia fasih berbahasa Inggris dan Gaelic pula. Sebelum wafatnya, Yohanes menguasai duabelas macam bahasa.
Yohanes bergabung dengan Kongregasi Pater-Pater Redemptoris dan melanjutkan karya misinya. Ia diangkat menjadi Uskup Philadelphia pada tahun 1852. Uskup Neumann mendirikan lima puluh gereja dan mulai membangun sebuah katedral. Ia mendirikan hampir seratus sekolah dan meningkatkan jumlah murid sekolah paroki dari 500 anak ke 9000 anak. Kesehatan Uskup Neumann tidak pernah prima, namun demikian orang tetap saja amat terkejut mendengar berita kematiannya yang tiba-tiba pada tanggal 5 Januari 1860. Ia sedang berjalan kaki pulang dari suatu pertemuan ketika ia jatuh rebah ke tanah karena stroke. Bapa Uskup segera dibawa ke sebuah rumah terdekat dan wafat di sana pada pukul tiga sore. Bulan Maret berikutnya, akan merupakan hari ulang tahun Uskup Neumann yang keempatpuluh sembilan. Yohanes Neumann dinyatakan kudus oleh Paus Paulus VI pada tanggal 19 Juni 1977.
Mungkin kita tidak sepandai, sehebat, atau seaktif yang kita harapkan. Tetapi hal tersebut tidak menghalangi Tuhan untuk tetap mencintai kita dan memanggil kita untuk melakukan hal-hal yang mengagumkan. Ketika kita harus melakukan sesuatu yang sulit, kita dapat mohon bantuan doa St. Yohanes Neumann.

B. Andre Bessette
Alfred Bessette dilahirkan pada tanggal 9 Agustus 1845, tidak jauh dari Montreal, Kanada. Ia adalah anak kedelapan dari duabelas bersaudara. Ketika Alfredberusia sembilan tahun, ayahnya – seorang penebang kayu – tewas dalam suatu kecelakaan kerja. Tiga tahun kemudian, ibunya meninggal dunia karena TBC, meninggalkan keduabelas anaknya menjadi yatim piatu. Anak-anak itu kemudian harus berpisah dan ditempatkan di keluarga-keluarga yang berbeda. Alfred tinggal bersama paman serta bibinya.
Oleh karena keluarganya amat miskin dan ia sendiri sering sakit, Alfred hanya mengenyam sedikit pendidikan. Jadi selama tigabelas tahun berikutnya ia belajar berbagai macam ketrampilan seperti bercocok tanam, membuat sepatu dan menjadi tukang roti. Ia bahkan pernah bekerja di sebuah pabrik di Connecticut. Tetapi kesehatannya yang buruk selalu membuat usahanya gagal.
Ketika usianya duapuluh lima tahun, Alfred bergabung dengan Ordo Salib Suci dan memilih nama Broeder Andre. Ia melewatkan empatpuluh tahun berikutnya sebagai pemelihara kebersihan dan pesuruh biara. Tahun-tahun terakhir hidupnya dilewatkannya sebagai penjaga pintu biara. Di sanalah kuasa penyembuhan Broeder Andre mulai dikenal. Ketika orang-orang datang untuk memohon bantuan penyembuhannya, ia akan meminta mereka untuk terlebih dahulu mengucap syukur kepada Tuhan atas penderitaan mereka karena penderitaan itu amatlah berharga. Kemudian ia akan berdoa bersama mereka. Sebagian besar dari mereka disembuhkan. Broeder Andre selalu menolak pujian atau pun balas jasa atas bantuannya itu. Ia bersikeras bahwa itu semua adalah karena iman si sakit dan kuasa St. Yusuf.
Broeder Andre memiliki cinta yang amat mendalam kepada Ekaristi dan kepada St. Yusuf. Di masa mudanya, ia pernah bermimpi melihat sebuah gereja yang besar, tetapi ia tidak dapat mengatakan di mana gereja itu. Perlahan-lahan ia mulai menyadari bahwa Tuhan menghendaki sebuah gereja dibangun untuk menghormati St. Yusuf. Gereja tersebut hendak dibangun di puncak Gunung Royale di Montreal, Kanada. Doa-doa serta pengurbanan-pengurbanan yang dilakukan oleh Broeder Andre beserta banyak orang lainnya berhasil mewujudkan impian tersebut. Gereja yang amat indah untuk menghormati St Yusuf pada akhirnya dibangun. Gereja tersebut menjadi saksi dari iman Broeder Andre yang luar biasa. Para peziarah berdatangan ke Gunung Royale sepanjang tahun dan dari tempat-tempat yang jauh pula. Mereka semua ingin menghormati St. Yusuf. Mereka ingin menunjukkan kepercayaan mereka akan kasih sayang serta pemeliharaan St. Yusuf, seperti yang telah dilakukan oleh Broeder Andre.
Broeder Andre wafat dengan tenang dan damai pada tanggal 6 Januari 1937. Hampir satu juta orang mendaki Gunung Royale dan memenuhi Gereja St. Yusuf untuk menghadiri pemakamannya. Walaupun waktu itu hujan dan turun salju, mereka tetap saja datang untuk mengucapkan selamat tinggal kepada sahabat mereka yang terkasih. Broeder Andre dinyatakan “beato” pada tanggal 23 Mei 1982 oleh Paus Yohanes Paulus II.

St. Raimundus dari Penyafort
Raimundus dilahirkan antara tahun 1175 dan 1180 di sebuah kota kecil dekat Barcelona, Spanyol. Ia bersekolah di sekolah katedral di Barcelona dan menjadi seorang imam. Raimundus menyelesaikan kuliah hukum di Bologna, Italia dan menjadi seorang guru yang terkenal. Ia bergabung dengan Ordo Dominikan pada tahun 1218. Pada tahun 1230, Paus Gregorius IX meminta imam yang penuh pengabdian ini untuk datang ke Roma. Ketika Raimundus tiba, paus memberinya beberapa tugas. Salah satunya adalah mengumpulkan semua surat-surat resmi dari para paus sejak tahun 1150. Raimundus mengumpulkan serta menerbitkan 5 jilid buku. Ia juga ikut ambil bagian dalam menulis hukum Gereja.
Pada tahun 1238, Raimundus dipilih sebagai Superior Jenderal Dominikan. Dengan pengetahuannya dalam bidang hukum, ia memeriksa regula ordo dan memastikan bahwa segala sesuatunya sah secara hukum. Setelah selesai, ia mengundurkan diri dari jabatannya pada tahun 1240. Kini ia dapat sepenuhnya mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk tugas-tugas parokial. Itulah yang sesungguhnya ia inginkan.
Paus hendak menjadikan Raimundus sebagai uskup agung, tetapi Raimundus menolak. Ia mohon diijinkan kembali ke Spanyol dan memang ia kembali ke sana. Ia begitu bersukacita dapat bertugas di paroki. Cinta kasihnya membawa banyak orang kembali kepada Tuhan melalui Sakramen Tobat.
Selama tahun-tahun yang dilewatkannya di Roma, Raimundus sering mendengar tentang kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi para misionaris. Mereka berusaha keras menjangkau orang-orang non-Kristen di Afrika Utara dan Spanyol. Guna membantu para misionaris, Raimundus mendirikan sebuah sekolah yang mengajarkan bahasa serta kebudayaan orang-orang di daerah misi yang dituju. Juga, Pastor Raimundus minta seorang Dominikan terkenal, St. Thomas Aquinas, untuk menulis sebuah buku saku. Buku saku ini dimaksudkan untuk menjelaskan kebenaran iman dengan suatu cara yang dapat dimengerti oleh mereka yang belum beriman.
Raimundus berumur hingga hampir seratus tahun. Ia wafat di Barcelona pada tanggal 6 Januari tahun 1275. Ia dinyatakan kudus pada tahun 1601 oleh Paus Klemens VIII. Paus yang sama memaklumkannya sebagai santo pelindung ahli hukum Gereja karena pengaruhnya yang besar dalam hukum Gereja.

St. Thorfinn
Kisah hidup St. Thorfinn diketahui lama sesudah wafatnya. Ia wafat pada tahun 1285 di sebuah biara di Belgia. Lima puluh tahun kemudian, kuburnya secara tak sengaja dibongkar karena suatu pekerjaan bangunan. Semua orang dikejutkan oleh bau harum yang kuat yang berasal dari peti matinya. Pemimpin biarabiara mulai menyelidiki hal tersebut. Ia mendapatkan seorang biarawan tua, Walter de Muda, yang mengenal Thorfinn. Sesungguhnya, Pastor Walter, yang begitu terkesan oleh kelemahlembutan dan keteguhan iman Thorfinn, telah menulis sebuah puisi tentangnya. Walter menaruh puisinya itu dalam kubur Thorfinn. Para biarawan pergi mencari puisi tersebut. Mereka menemukan perkamen yang tampak baru dan baik keadannya seperti saat diletakkan di sana.
Para biarawan merasa bahwa ini merupakan tanda bahwa Tuhan menghendaki agar Thorfinn dikenang serta dihormati. Orang mulai mohon bantuan doanya dan mukjizat-mukjizat pun terjadi. Pastor Walter diminta untuk menuliskan apa saja yang dapat diingatnya tentang Thorfinn. Ia menulis bahwa Thorfinn datang dari Norwegia. Sebagai imam, kemungkinan ia melayani di katedral. Tampaknya Thorfinn menandatangani suatu dokumen penting semasa ia bertugas di katedral. Ia juga menjadi saksi atas Perjanjian Tonsberg pada tahun 1277. Perjanjian tersebut adalah perjanjian antara Raja Magnus VI dengan uskup agung untuk membebaskan Gereja dari campur tangan negara. Tetapi, beberapa tahun kemudian, Raja Eric meyangkal perjanjian tersebut. Ia melawan uskup agung serta mereka semua yang mendukungnya. Uskup agung diusir, demikian juga Thorfinn, yang saat itu adalah Uskup Hamar, Norwegia.
Thorfinn memulai perjalanan yang berat ke Flanders. Kapalnya bahkan karam dalam perjalanan. Pada akhirnya, ia tiba dan tinggal di biara di mana akhirnya ia kemudian wafat. Ia mengunjungi Roma, tetapi kembali dalam keadaan sakit parah. Thorfinn tidak punya banyak, tetapi ia membagikan sedikit barang miliknya di antara para anggota keluarga dan kelompok amal kasih. Kemudian ia wafat pada tanggal 8 Januari tahun 1285. Umat Katolik di Hamar, Norwegia, masih menghormati St. Thorfinn dan merayakan pestanya.

St. Julianus & St. Basilissa
St. Julianus dan St. Basilissa adalah pasangan suami isteri. Mereka hidup pada awal abad keempat. Cinta akan iman mendorong mereka melakukan sesuatu yang gagah berani: mereka mengubah rumah mereka menjadi sebuah rumah sakit. Dengan demikian, mereka dapat merawat mereka yang sakit dan miskin yang membutuhkan pertolongan mereka.
St. Julianus merawat pasien pria, sementara St. Basilissa merawat pasien wanita. Pasangan tersebut menemukan Yesus dalam diri orang-orang yang mereka layani. Mereka melakukan apa yang mereka lakukan itu karena cinta, bukan karena uang ataupun maksud-maksud tertentu.
Kita tidak tahu banyak mengenai kehidupan pasangan tersebut. Namun demikian kita tahu, bahwa St. Basilissa wafat setelah mengalami penganiayaan dahsyat karena imannya. Julianus hidup lebih lama. Ia melanjutkan karya pelayanan kasihnya terhadap mereka yang sakit setelah kematian isterinya. Kelak, Julianus juga wafat sebagai martir.
Basilissa dan Julianus melewatkan seluruh hidup mereka dengan menolong sesama dan melayani Tuhan. Mereka menanam benih iman dengan hidup kudus. Mereka menyirami iman itu dan membuatnya tumbuh subur dengan darah mereka yang dicurahkan bagi Yesus yang tersalib.

St. William dari Bourges
St. William berasal dari sebuah keluarga Perancis yang kaya. Sejak masih kanak-kanak, ia tidak suka menghabiskan waktunya dengan bersenang-senang atau bermalas-malasan. Ia menghabiskan waktunya dengan berdoa setiap hari. Ketika ia bergabung dengan Ordo Cistercian, ia berusaha menjadi seorang biarawan yang baik. Teman-teman biarawan mengaguminya, meskipun ia sendiri tidak berusaha menampilkan kesan yang baik kepada siapa pun.
St. William memiliki devosi yang mendalam kepada Yesus dalam Sakaramen Mahakudus. Ia melakukan mati raga tanpa menunjukkan betapa keras matiraganya itu. Ia selalu tampak gembira. Ketika ia dipilih sebagai pemimpin biara dalam komunitasnya, ia tetap rendah hati. Ketika Uskup Agung Bourges wafat, William dipilih untuk menggantikannya. Ia bersyukur ditahbiskan sebagai uskup, tetapi sedih karena segala perhatian yang akan diterimanya. Ia tetap rendah hati dengan melakukan silih bagi jiwanya sendiri dan bagi pertobatan orang-orang berdosa.
Walaupun William suka sendirian bersama Tuhan dalam Sakramen Mahakudus, ia tahu bahwa merupakan kewajibannya sebagai uskup agung untuk pergi berkeliling ke seluruh wilayah keuskupannya dengan senang hati. Ia merayakan Ekaristi dan mewartakan iman. Ia mengunjungi orang-orang sakit dan orang-orang miskin, menghibur mereka dan membawa mereka kepada Kristus. Uskup Agung William wafat pada tanggal 10 Januari tahun 1209. Ia dimakamkan di Katedral Bourges. Orang yang berdoa di makamnya mulai melaporkan terjadinya mukjizat-mukjizat. William dinyatakan kudus pada tahun 1218 oleh Paus Honorius III.

St. Margareta Bourgeoys
St. Margareta dilahirkan di Troyes, Perancis, pada tanggal 17 April tahun 1620, tetapi melewatkan sebagian besar dari delapan puluh tahun usianya di Montreal, Kanada. Margareta adalah anak keenam dari duabelas bersaudara. Orangtuanya adalah orang-orang yang saleh. Ketika Margareta berumur sembilan belas tahun, ibunya meninggal dunia. Margareta mengambil alih tugas merawat adik-adiknya. Ayahnya meninggal dunia ketika ia berumur duapuluh tujuh tahun. Adik-adiknya kini telah dewasa dan Margareta berdoa mohon bimbingan Tuhan akan apa yang harus dilakukan dalam hidupnya. Gubernur Montreal, Kanada, mengunjungi Perancis. Ia berusaha mendapatkan guru-guru untuk Dunia Baru. Ia mengajak Margareta datang ke Montreal untuk mengajar di sekolah dan di kelas-kelas agama. Margareta setuju.
Margareta memberikan bagian warisan dari orangtuanya kepada para anggota keluarga yang lain. Mereka tidak dapat percaya bahwa Margareta sungguh akan meninggalkan tanah airnya yang beradab untuk pergi ke daerah seberang laut yang masih primitif. Namun demikian, itulah yang ia lakukan. Ia berlayar pada tanggal 20 Juni 1653 dan tiba di Kanada pertengahan November. Margareta memulai pembangunan kapel pada tahun 1657. Kapel itu dipersembahkan bagi Bunda Maria Penolong yang Baik. Pada tahun 1658, ia membuka sekolahnya yang pertama. Margareta sadar akan kebutuhan untuk merekrut lebih banyak pengajar. Ia pulang ke Perancis pada tahun 1659 dan kembali bersama empat orang rekan. Pada tahun 1670, ia pulang lagi ke Perancis dan kembali dengan enam orang rekan. Wanita pemberani ini menjadi biarawati pertama dari Kongregasi Notre Dame.
Ketika terjadi bencana kelaparan, St. Margareta dan para biarawatinya membantu masyarakat di koloni tersebut agar bertahan hidup. Mereka membuka sebuah sekolah ketrampilan dan mengajarkan kepada kaum muda bagaimana mengurus rumah tangga dan pertanian. Kongregasi St. Margareta tumbuh dan berkembang. Pada tahun 1681 ada delapan belas biarawati. Tujuh di antaranya adalah gadis-gadis Kanada. Mereka membuka lebih banyak daerah misi dan dua biarawati ditugaskan mengajar di daerah misi suku Indian. St. Margareta sendiri yang menerima dua wanita Indian pertama yang bergabung dalam kongregasinya.
Pada tahun 1693, Moeder Margareta menyerahkan kongregasinya kepada penerusnya. Superior yang baru adalah Moeder Marie Barbier, gadis Kanada pertama yang bergabung dalam kongregasinya. Regula kongregasi religius St. Margareta diakui oleh gereja pada tahun 1698. Margareta melewatkan tahun-tahun terakhir hidupnya dengan berdoa dan menulis otobiografi. Pada hari terakhir dalam tahun 1699, seorang biarawati muda terbaring sekarat. Moeder Margareta memohon pada Tuhan untuk mengambil nyawanya sebagai ganti nyawa sang biarawati. Pagi hari tanggal 1 Januari 1700, biarawati muda tersebut sepenuhnya sembuh dari penyakitnya. Sebaliknya, Moeder Margareta menderita demam hebat. Ia menanggung sakit selama dua belas hari lamanya dan wafat ada pada tanggal 12 Januari tahun 1700. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 2 April 1982.

St. Hilarius dari Poitiers
Pada awal abad kekristenan, masih banyak orang yang belum percaya kepada Tuhan. Mereka percaya bahwa ada banyak allah-allah, yang satu lebih hebat dari yang lain. Orang-orang ini bukan orang-orang jahat; hanya saja mereka belum mengenal Tuhan; mereka masih kafir. Pada tahun 315, Hilarius dilahirkan dalam sebuah keluarga yang demikian di Poitiers, sebuah kota di Perancis. Keluarganya kaya-raya dan termasyhur. Hilarius mendapatkan pendidikan yang baik. Ia menikah dan membina rumah tangga.
Melalui belajar, Hilarius menjadi tahu bahwa seorang haruslah melatih kesabaran, kelemahlembutan, keadilan dan sebanyak mungkin kebajikan-kebajikan lain. Keutamaan-keutamaan ini akan memperoleh ganjaran kelak di kehidupan sesudah mati. Melalui belajar, Hilarius juga yakin bahwa hanya ada satu Allah yang kekal, yang mahakuasa dan mahapengasih. Ia membaca Kitab Suci untuk pertama kalinya. Ketika sampai pada bagian Musa dan semak yang terbakar, Hilarius sungguh amat terkesan dengan Nama bagaimana Tuhan menyebut Diri-Nya Sendiri: AKU ADALAH AKU. Hilarius membaca tulisan-tulisan para nabi juga. Kemudian ia membaca seluruh Perjanjian Baru. Pada saat ia selesai membaca, ia sepenuhnya telah percaya dan dibaptis.
Hilarius hidup mengamalkan imannya dengan taat dan saleh hingga ia dipilih menjadi uskup. Hal ini tidak menjadikan hidupnya bertambah nyaman, sebab kaisar suka mencampuri urusan-urusan Gereja. Ketika Hilarius menentangnya, kaisar membuang Hilarius. Di tempat pembuangannya itulah keutamaan-keutamaan Hilarius, terutama kesabaran dan keberaniannya semakin gemilang. Ia menerima pembuangannya dengan tenang dan mempergunakan waktunya untuk menulis buku-buku tentang iman. Karena ia menjadi semakin termasyhur, musuh-musuh Hilarius meminta kaisar untuk memulangkannya kembali ke kota asalnya. Di kota asalnya ia tidak akan memperoleh banyak perhatian. Maka, Hilarius dipulangkan ke Poitiers pada tahun 360. Ia tetap menulis dan mengajarkan iman kepada banyak orang. Hilarius wafat delapan tahun kemudian, dalam usia lima puluh dua tahun. Buku-bukunya memberikan pengaruh besar kepada Gereja hingga sekarang ini. Itu sebabnya mengapa ia digelari Pujangga Gereja.

“Nyatakan kepada kami makna Kitab Suci dan berikan kami pencerahan untuk memahaminya.” ~ St. Hilarius

St. Makrina
Pada tanggal 2 Januari kita merayakan pesta cucu dari santa yang pestanya kita rayakan pada hari ini. St. Basilius Agung, yang dilahirkan sekitar tahun 329, berasal dari keluarga para kudus. Makrina (biasa disebut St. Makrina Tua untuk membedakannya dari St. Makrina Muda saudari St. Basilius), ibunda dari ayahnya, adalah salah seorang yang sangat dikasihinya. Tampaknya St. Makrina yang membesarkan St. Basilius. Ketika dewasa, St. Basilius memuji neneknya atas segala hal baik yang telah dilakukan untuknya. Teristimewa, St. Basilius berterimakasih secara terbuka kepadanya oleh karena neneknya itu telah mengajarinya cinta akan iman Kristiani semenjak ia masih kecil betul.
Makrina dan suaminya harus membayar mahal kesetiaan mereka pada iman Kristiani mereka. Dalam salah satu masa penganiayaan oleh penguasa Romawi, yaitu Galerius dan Maximinus, kakek nenek Basilius terpaksa harus bersembunyi. Mereka menemukan tempat persembunyian di sebuah hutan dekat rumah mereka. Mereka berhasil lolos dari tangan para penganiaya. Mereka senantiasa diliputi rasa takut dan juga lapar, namun demikian mereka tetap tidak mau mengingkari iman mereka. Sebaliknya, dengan sabar mereka berharap dan berdoa agar penganiayaan segera berakhir. Di hutan, mereka mencari-cari apa yang dapat dimakan dan makan tumbuh-tumbuhan liar hingga berhasil selamat. Masa penganiayaan ini berlangsung hingga tujuh tahun lamanya, St. Gregorius dari Nazianze, yang pestanya dirayakan bersama-sama dengan St. Basilius pada tanggal 2 Januari, mencatat mengenai peristiwa tersebut.
Dalam masa penganiayaan yang lain, segala kekayaan dan harta milik Makrina dan suaminya disita penguasa. Tak ada yang tersisa bagi mereka kecuali iman mereka dan harapan akan kasih penyelenggaraan Tuhan bagi mereka. St. Makrina hidup lebih lama daripada suaminya, tetapi tidak diketemukan catatan tahun kematian mereka yang pasti. Menurut tradisi, St. Makrina wafat sekitar tahun 340. Cucunya, St. Basilius, wafat pada tahun 379.

St. Paulus, pertapa
Ketika St. Paulus wafat dalam usianya yang ke seratus tigabelas tahun, tentunya banyak pengalaman hidup yang telah dilaluinya. Pastilah ia merasakan sukacita dan damai luar biasa saat kematiannya. Inilah sebabnya:
Paulus dilahirkan dalam sebuah keluarga Kristen pada tahun 229. Mereka tinggal di Thebes, Mesir. Dengan cara hidup mereka, orangtuanya menunjukkan kepada Paulus bagaimana mencintai Tuhan dan sujud menyembah kepada-Nya dengan segenap hati. Tentulah Paulus merasa sangat sedih kehilangan kedua orangtuanya ketika usianya baru lima belas tahun. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 250, Kaisar Desius mulai melakukan penganiayaan yang kejam terhadap Gereja. Paulus bersembunyi di rumah seorang sahabat, tetapi ia merasa tidak aman. Kakak iparnya mengincar harta warisannya. Sewaktu-waktu dapat saja saudaranya itu mengkhianatinya serta melaporkannya kepada penguasa. Jadi, Paulus melarikan diri ke padang gurun. Ia menemukan gua dengan sebuah pohon palma dan mata air segar di dekatnya. Di sanalah ia menetap. Ia menjalin dahan-dahan palma dan dijadikannya pakaiannya. Ia makan buah-buahan dan minum air segar.
Paulus bermaksud untuk tinggal di sana hanya sementara waktu saja hingga masa penganiayaan berakhir. Namun demikian, pada saat masa tersebut sudah lewat, ia telah jatuh hati dengan hidup doa. Ia merasa begitu dekat dengan Tuhan. Bagaimana ia dapat melepaskannya? Paulus memutuskan untuk tinggal di padang gurun dan tidak pernah kembali lagi pada pola hidupnya yang mewah. Sebaliknya, ia akan melewatkan sepanjang hidupnya dengan berdoa bagi kepentingan semua orang dan melakukan silih bagi dosa.
Ada seorang pertapa kudus lainnya pada masa itu, namanya Antonius. Antonius beranggapan bahwa hanya ia sendirilah yang bertapa. Tuhan menunjukkan Paulus kepadanya dalam suatu mimpi dan dan menyuruh Antonius untuk pergi mengunjunginya. Paulus sangat gembira bertemu dengan Antonius, sebab ia tahu bahwa ajal akan datang menjemputnya beberapa hari lagi. Antonius merasa sedih sebab ia tidak ingin kehilangan sahabat barunya demikian cepat. Tetapi, seperti telah diramalkan sendiri olehnya, Paulus wafat pada tanggal 15 Januari tahun 342. Antonius menguburkannya dengan jubah yang dulunya adalah milik St. Atanasius. Lalu, Antonius membawa pulang serta menyimpan baik-baik baju dari dahan-dahan pohon palma yang biasa dikenakan Paulus. Tak pernah ia melupakan sahabatnya yang mengagumkan itu.
Meskipun kadang-kadang kita merasa sendirian saja dalam hasrat untuk mengikuti Yesus, namun kita dapat mengandalkan kasih pemeliharaan Tuhan atas kita. Ia akan senantiasa menjamin bahwa kita memiliki kekuatan dan dukungan yang kita butuhkan.

St. Berardus, dkk
Enam biarawan Fransiskan menerima tugas dari St. Fransiskus Asisi untuk pergi ke Maroko. Mereka diutus untuk mewartakan iman Kristiani di tengah masyarakat Muslim. Biarawan Berardus, Petrus, Adjutus, Accursio dan Odo melakukan perjalanan dengan kapal laut pada tahun 1219. Maroko terletak di ujung barat laut Afrika. Perjalanan mereka merupakan perjalanan yang panjang serta berbahaya. Kelompok biarawan tersebut tiba di Seville, Spanyol. Segera mereka mulai berkhotbah di jalan-jalan dan di taman-taman kota. Orang memperlakukan mereka seolah-olah mereka gila dan menangkap mereka. Agar tidak dipulangkan kembali ke negerinya, para biarawan mengatakan bahwa mereka ingin bertemu sultan. Jadi, gubernur Seville mengirim mereka ke Maroko.
Sultan menerima para biarawan serta memberi mereka kebebasan untuk berkhotbah di kota. Tetapi, sebagian orang tidak suka akan hal ini. Mereka melaporkannya kepada penguasa. Sultan berusaha melindungi para biarawan dengan mengirim mereka untuk tinggal di Marrakech, di pesisir barat Maroko. Seorang pangeran Kristen, yang juga sahabat sultan, Dom Pedro Fernandez, menerima mereka di rumahnya. Namun, para biarawan tersebut sadar bahwa misi mereka adalah mewartakan iman. Jadi, mereka kembali ke kota sesering mungkin. Hal ini membuat geram sebagian orang yang tidak suka mendengar pesan yang disampaikan para biarawan. Keluhan dan hasutan mereka membuat sultan murka begitu rupa hingga suatu hari, ketika melihat para biarawan itu sedang berkhotbah, ia memerintahkan para biarawan itu untuk segera berhenti atau pergi meninggalkan negeri. Karena para biarawan tidak hendak melakukan keduanya, para biarawan Fransiskan itu dipenggal kepalanya di sana saat itu juga. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 16 Januari 1220.
Dom Pedro datang menjemput jenasah para martir. Pada akhirnya, ia mengantarkan relikwi para biarawan ke Gereja Salib Suci di Coimbra, Portugal. Misi para biarawan Fransiskan ke Maroko sangat singkat dan tampaknya gagal. Namun demikian, hasilnya sungguh luar biasa. Kisah para martir yang gagah berani ini membakar semangat para Fransiskan pertama untuk menjadi misionaris dan wafat sebagai martir pula. Kesaksian keenam biarawan Fransiskan inilah yang mendorong seorang pemuda untuk mengabdikan hidupnya kepada Tuhan sebagai seorang imam Fransiskan. Kita mengenalnya sebagai St. Antonius dari Padua.

St. Antonius dari Mesir
St. Antonius dilahirkan pada tahun 251 di sebuah dusun kecil di Mesir. Ketika usianya duapuluh tahun, kedua orangtuanya meninggal dunia. Mereka mewariskan kepadanya harta warisan yang besar dan menghendaki agar ia bertanggung jawab atas hidup adik perempuannya. Antonius merasakan belas kasihan Tuhan yang berlimpah atasnya dan datang kepada Tuhan dalam doa. Semakin lama semakin peka ia akan penyelenggaraan Tuhan dalam hidupnya. Sekitar enam bulan kemudian, ia mendengar kutipan Sabda Yesus dari Kitab Suci: “Pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga.” (Mrk 10:21). Antonius menerima sabda tersebut sebagai sapaan pribadi Tuhan dan jawab-Nya atas doanya mohon bimbingan Tuhan. Ia menjual sebagian besar harta miliknya, menyisakan sedikit saja cukup untuk menunjang hidup adiknya dan dirinya sendiri. Kemudian ia membagi-bagikan uangnya kepada mereka yang membutuhkannya.
Saudari Antonius bergabung dengan kelompok wanita yang hidup dalam doa dan kontemplasi. Antonius memutuskan untuk hidup sebagai seorang pertapa. Ia mohon pada seorang pertapa senior untuk memberinya pelajaran hidup rohani. Antonius juga mengunjungi para pertapa lainnya agar ia dapat belajar kebajikan-kebajikan paling utama dalam diri setiap pertapa. Kemudian ia mulai hidupnya sendiri dalam doa dan tobat sendirian hanya dengan Tuhan saja.
Ketika Antonius berusia lima puluh lima tahun, ia mendirikan sebuah biara guna menolong sesama. Banyak orang mendengar tentangnya dan mohon saran serta nasehatnya. Antonius akan memberi mereka nasehat-nasehat praktis, seperti “Setan takut pada kita ketika kita berdoa dan bermatiraga. Setan juga takut ketika kita rendah hati dan lemah lembut. Terutama, setan takut pada kita ketika kita sangat mencintai Yesus. Setan lari terbirit-birit ketika kita membuat Tanda Salib.”
St. Antonius mengunjungi St. Paulus Pertapa. Ia merasa diperkaya dengan teladan hidup St. Paulus yang kudus. Antonius wafat setelah melewatkan hidup yang panjang dalam doa. Usianya mencapai seratus lima tahun. St. Atanasius menulis riwayat hidup St. Antonius dari Mesir yang sangat terkenal.

St. Fabianus & St. Sebastianus
Fabianus adalah seorang paus yang wafat sebagai martir pada tahun 250, yaitu pada masa penganiayaan oleh Kaisar Decius. Dalam catatan dikatakan bahwa Fabianus merupakan seorang yang luar biasa, seorang yang dikenal sangat kudus. Dalam sepucuk surat yang ditulis tak lama sesudah kematian Fabianus, St. Siprianus menjelaskan bagaimana Fabianus terpilih sebagai paus. Kelompok yang berkumpul untuk memilih paus menerima suatu tanda nyata bahwa pilihan harus dijatuhkan kepada Fabianus. Ia adalah orang awam pertama yang menjadi paus. Sebagai uskup dan martir, jenasah Fabianus ditempatkan di Basilika St. Sebastianus. Kedua martir ini, St. Fabianus dan St. Sebastianus, dirayakan pestanya pada hari yang sama.
Sebastianus dikenal luas sejak dari masa Gereja Perdana. Sebagai seorang perwira Romawi, ia dikenal oleh karena kebaikan hatinya dan kegagahannya. Dalam masa penganiayaan oleh Kaisar Diocletian, Sebastianus tidak mau mengingkari iman Kristianinya. Para pemanah membidikkan anak-anak panah ke tubuhnya dan meninggalkannya dalam keadaan hampir mati. Ketika seorang janda yang kudus hendak menguburkan jenasahnya, ia sangat terkejut mendapati bahwa Sebastianus masih hidup. Janda itu membawanya pulang ke rumahnya serta merawat luka-lukanya. Ketika Sebastianus telah sembuh kembali, janda itu berusaha membujuknya untuk meloloskan diri dari penganiayaan oleh bangsa Romawi. Tetapi, Sebastianus adalah seorang ksatria yang gagah berani. Ia tidak hendak melarikan diri. Ia bahkan mendatangi Kaisar Diocletian dan mendesaknya untuk segera menghentikan penganiayaan terhadap umat Kristiani.
Kaisar sangat terperanjat melihat bahwa Sebastianus masih hidup. Ia menolak mendengarkan apa yang hendak dikatakan oleh perwiranya itu. Diocletian memerintahkan agar Sebastianus segera didera hingga tewas. Sebastianus wafat sebagai martir pada tahun 288.

St. Vinsensius dari Saragossa
Vinsensius wafat dimartir di Spanyol pada tahun 304, yaitu tahun yang sama St. Agnes wafat dimartir di Roma. Mereka berdua merupakan korban dari penganiayaan kejam yang dilakukan oleh Kaisar Dacian.
Vinsensius dibesarkan di Saragossa, Spanyol. Ia menerima pendidikan dari Uskup St. Valerius. Bapa Uskup melantik Vinsensius sebagai diakon. Meskipun Vinsensius masih muda, St. Valerius mengenali bakat-bakatnya dan kebaikan hatinya. Uskup Valerius memintanya untuk mewartakan dan mengajarkan tentang Yesus dan Gereja.
Kaisar Dacian menangkap baik Valerius maupun Vinsensius. Ia memenjarakan mereka untuk jangka waktu yang lama. Tetapi, keduanya tidak membiarkan diri berputus asa. Mereka berdua tetap setia kepada Yesus. Kemudian, kaisar mengirim Uskup Valerius ke pembuangan, tetapi Diakon Vinsensius diperintahkannya agar disiksa dengan kejam.
Vinsensius mohon kekuatan dari Roh Kudus. Ia ingin tetap setia kepada Yesus tak peduli betapa dahsyat derita yang akan menimpanya. Tuhan mengabulkan permohonannya dengan memberikan kekuatan yang ia minta. Diakon Vinsensius tetap merasakan kedamaian selama menjalani segala macam siksaan yang dikenakan kepadanya. Ketika aniaya telah berakhir, ia dikembalikan ke penjara di mana ia mempertobatkan penjaga penjara. Pada akhirnya, kaisar menyerah dan mengijinkan orang mengunjungi Vinsensius. Umat Kristiani datang dan merawat luka-lukanya. Mereka berusaha sebaik mungkin agar Vinsensius merasa nyaman. Tak lama kemudian Vinsensius wafat.

St. Fransiskus de Sales
Fransiskus dilahirkan di kastil keluarga de Sales di Savoy, Perancis, pada tanggal 21 Agustus 1567. Keluarganya yang kaya membekalinya dengan pendidikan yang tinggi. Pada usia duapuluh empat tahun, Fransiskus telah meraih gelar Doktor Hukum. Ia kembali ke Savoy dan hidup dengan bekerja keras. Tetapi, kelihatannya Fransiskus tidak tertarik pada kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Di hatinya, Fransiskus mendengar adanya suatu panggilan yang terus-menerus datang bagaikan sebuah gema. Tampaknya seperti suatu undangan dari Tuhan baginya untuk menjadi seorang imam. Pada akhirnya, Fransiskus berusaha menceritakan perjuangan batinnya itu kepada keluarganya. Ayahnya amatlah kecewa. Ia ingin agar Fransiskus menjadi seorang yang tersohor di seluruh dunia. Dengan pengaruh kuat keluarga pastilah impiannya itu akan tercapai. Tetapi, Fransiskus bersikeras dan ditahbiskan imam pada tanggal 18 Desember 1593.
Pastor Fransiskus de Sales hidup pada saat umat Kristiani dilanda perpecahan. Ia menawarkan diri untuk pergi ke daerah yang berbahaya di Perancis untuk membawa kembali orang-orang Katolik yang telah menjadi Protestan. Ayahnya menentangnya dengan keras. Ayahnya mengatakan bahwa sudah merupakan suatu hal yang buruk baginya mengijinkan Fransiskus menjadi seorang imam. Ia tidak akan mengijinkan Fransiskus pergi dan wafat sebagai martir pula. Tetapi, Fransiskus percaya bahwa Tuhan akan melindunginya. Maka ia dan sepupunya, Pastor Louis de Sales, dengan berjalan kaki menempuh perjalanan ke daerah Chablais. Segera saja kedua imam tersebut merasakan bagaimana menderitanya hidup penuh dengan hinaan serta aniaya fisik. Hidup mereka berdua senantiasa ada dalam bahaya. Namun demikian, sedikit demi sedikit, umat kembali ke pelukan Gereja.
St. Fransiskus kemudian diangkat menjadi Uskup Geneva, Swiss. Bersama St. Yohana Fransiska de Chantal, pada tahun 1610 ia membentuk suatu ordo religius bagi para biarawati yang diberi nama Serikat Visitasi. Fransiskus menulis buku-buku yang mengagumkan mengenai kehidupan rohani dan cara untuk menjadi kudus. Buku-bukunya, Tulisan tentang Kasih Allah dan Pengantar kepada Kehidupan Saleh, masih dicetak hingga sekarang. Buku-buku tersebut digolongkan sebagai buku-buku rohani “klasik”.
Uskup de Sales wafat pada tanggal 28 Desember 1622 dalam usia limapuluh enam tahun. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Inosensius X pada tahun 1665. Oleh karena pengabdiannya yang gagah berani bagi Gereja, ia diberi gelar istimewa “Pujangga Gereja”. St. Fransiskus dijadikan pelindung para wartawan.
“Sama seperti kasih ilahi mempercantik jiwa, hal itu disebut rahmat, yang menjadikan kita menyenangkan bagi Allah yang Mahamulia. Demikanlah rahmat tersebut memperkuat kita untuk melakukan kebajikan, hal itu disebut belas kasih.” ~ St. Fransiskus dari Sales

St. Timotius dan St. Titus
Selain menjadi orang kudus dan uskup pada masa Gereja Perdana, St. Timotius dan St. Titus memiliki sesuatu yang istimewa. Mereka berdua menerima karunia iman melalui pewartaan St. Paulus.
Timotius dilahirkan di Listra di Asia Kecil. Ibunya adalah seorang Yahudi dan ayahnya bukan. Ketika St. Paulus datang untuk mewartakan Injil di Listra, Timotius, ibu serta neneknya, semuanya menjadi pengikut Kristus. Beberapa tahun kemudian, Paulus kembali lagi ke Listra dan bertemu dengan Timotius yang sudah tumbuh dewasa. Paulus merasa bahwa Timotius dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi seorang pewarta Injil. Paulus mengajaknya bergabung dengannya untuk mewartakan Injil. Jadi demikianlah, Timotius meninggalkan rumah dan keluarganya untuk mengikuti Paulus. Segera juga ia mengalami penderitaan sama seperti yang dialami oleh Paulus. Mereka berdua merasakan sukacita yang besar dalam mewartakan Sabda Tuhan kepada banyak orang. Timotius adalah murid kesayangan rasul besar ini, sudah seperti anaknya sendiri. Timotius pergi kemana pun Paulus pergi, hingga ia menjadi Uskup Efesus. Timotius tinggal di Efesus untuk menggembalakan jemaat-Nya. Sama seperti St. Paulus, Timotius juga wafat sebagai martir.
Titus adalah seorang bukan Yahudi dan tidak percaya kepada Tuhan. Ia pun juga menjadi murid St. Paulus. Titus seorang yang murah hati dan giat bekerja. Dengan penuh sukacita ia mewartakan Kabar Gembira bersama dengan Paulus dalam perjalanan kerasulan mereka. Oleh karena Titus seorang yang dapat dipercaya, Paulus tanpa ragu mengutusnya dalam banyak “misi” kepada komunitas-komunitas Kristiani. Titus membantu umat memperteguh iman mereka kepada Yesus. Ia juga mampu memulihkan perdamaian apabila terjadi perselisihan di antara jemaat Kristiani. Titus dianugerahi karunia istimewa sebagai pembawa damai. Paulus amat menghargai karunia yang dimiliki Titus ini dan mengenalinya sebagai karya Roh Kudus. Paulus akan mengirim Titus untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul. Ketika Titus ada di antara suatu kelompok jemaat Kristiani, orang-orang yang bersalah akan menyesali perbuatan mereka. Mereka akan memohon pengampunan dan berusaha memperbaiki apa yang telah mereka lakukan. Ketika damai telah tercapai, Titus akan kembali serta melaporkan hasil baiknya kepada Paulus. Hal ini mendatangkan sukacita bagi Paulus dan jemaat Kristiani yang lain. St. Paulus mengangkat Titus sebagai Uskup di pulau Kreta, di mana ia tinggal hingga akhir hayatnya.
“Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.” (2Timotius 4:2)

St. Angela Merici
Angela dilahirkan di sebuah kota kecil di Italia bernama Desenzano, sekitar tahun 1474. Kedua orangtuanya meninggal dunia ketika ia berusia sepuluh tahun. Ia dan satu-satunya saudari perempuan, yang tiga tahun lebih tua usianya, amat sangat saling mengasihi. Seorang paman yang kaya membawa kedua gadis tersebut masuk dalam keluarganya. Masih belum pulih kesedihannya karena kehilangan orangtuanya, Angela kembali terpukul ketika saudarinya juga meninggal dunia.
Kakak perempuannya itu bahkan meninggal sebelum seorang imam sempat memberinya sakramen terakhir. Angela amat khawatir akan keselamatan jiwa saudarinya itu. Yesus menyatakan kepadanya bahwa saudarinya telah selamat. Angela merasakan suatu perasaan damai memenuhi jiwanya. Ia mengucap syukur kepada Tuhan dalam doa. Angela ingin melakukan sesuatu untuk menyatakan rasa terima kasihnya. Keinginannya itu membuatnya berjanji untuk melewatkan seluruh sisa hidupnya dengan melayani Tuhan sehabis-habisnya.
Ketika berusia sekitar duapuluh tahun, Angela mulai memperhatikan bahwa anak-anak di kotanya sedikit sekali pengetahuannya tentang agama. Angela mengajak beberapa teman perempuan untuk bergabung dengannya memberikan pelajaran agama. Teman-teman Angela dengan penuh semangat membantunya mengajar anak-anak. Pada waktu itu belum ada biarawati dari suatu ordo religius yang memberikan pelajaran. Belum pernah ada yang berpikir tentang hal itu. St. Angela Merici adalah orang pertama yang mengumpulkan sekelompok wanita untuk membuka sekolah bagi anak-anak. Pada tanggal 25 November 1536, duapuluh delapan wanita muda mempersembahkan hidup mereka kepada Tuhan. Itulah yang menjadi asal mula berdirinya Ordo Santa Ursula (OSU). Angela mempercayakan kongregasinya dalam perlindungan St. Ursula. Oleh karena itulah ordo mereka diberi nama sesuai nama santa pelindung mereka. Pada mulanya, para wanita itu tetap tinggal di rumah mereka masing-masing. Oleh karena berbagai macam halangan dan kesulitan, diperlukan waktu yang cukup lama sebelum pada akhirnya mereka dapat hidup bersama dalam sebuah biara. Angela wafat pada tanggal 27 Januari 1540 pada saat kongregasinya masih dalam tahap awal berdiri. Kepercayaannya kepada Tuhan telah banyak kali menolong Angela mengatasi berbagai macam pencobaan berat yang harus ditanggungnya semasa hidupnya. Tidak ada keraguan sedikit pun dalam hati Angela bahwa Tuhan akan memelihara karya yang baru saja dimulainya. Dan memang demikianlah yang terjadi.
Sekarang, suster-suster Ursulin telah tersebar di berbagai negara di seluruh dunia. Ordo mereka terus melanjutkan karyanya bagi Yesus dan Gereja-Nya, teristimewa dalam bidang pendidikan anak-anak dan remaja. Angela dinyatakan kudus oleh Paus Pius VI pada tahun 1807.

St. Thomas Aquinas
Thomas hidup pada abad ketigabelas. Ia adalah putera dari sebuah keluarga bangsawan di Italia. Thomas seorang yang amat cerdas, tetapi ia tidak pernah menyombongkan kelebihannya itu. Ia tahu bahwa pikirannya itu adalah karunia dari Tuhan. Thomas adalah seorang dari sembilan bersaudara. Orangtuanya berharap agar suatu hari kelak ia menjadi seorang pemimpin biara Benediktin. Kastil keluarganya berada di Rocca Secca, sebelah utara Monte Cassino di mana para biarawan Benediktin tinggal.
Pada usia lima tahun, Thomas dikirim ke biara tersebut untuk memperoleh pendidikan. Ketika usianya delapanbelas tahun, ia pergi ke Naples untuk melanjutkan pendidikannya. Di sana ia bertemu dengan suatu kelompok religius baru yang disebut sebagai Ordo Para Pengkhotbah. Pendiri mereka, St. Dominikus, masih hidup kala itu. Thomas tahu bahwa ia ingin menjadi seorang imam. Ia merasa bahwa ia dipanggil untuk bergabung dengan kelompok tersebut yang kelak lebih dikenal dengan sebutan “Dominikan”. Orangtuanya amat marah kepadanya. Ketika sedang dalam perjalanan ke Paris untuk belajar, saudara-saudaranya menculiknya. Mereka mengurungnya di salah satu kastil keluarga mereka selama lebih dari satu tahun. Selama masa itu, mereka melakukan segala daya upaya untuk membuat Thomas mengubah pendiriannya. Seorang saudarinya juga datang untuk membujuknya agar melupakan panggilannya. Tetapi Thomas berbicara demikian indahnya tentang sukacita melayani Tuhan, sehingga saudarinya itu mengubah pendapatnya. Saudarinya itu bahkan memutuskan untuk mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan sebagai biarawati. Setelah limabelas bulan lamanya, pada akhirnya Thomas diberi kebebasan untuk memenuhi panggilannya.
St. Thomas menulis demikian indah tentang Tuhan sehingga orang-orang dari seluruh dunia telah mempergunakan tulisan-tulisannya selama beratus-ratus tahun. Penjelasannya tentang Tuhan dan tentang iman berasal dari cintanya yang amat mendalam kepada Tuhan. Ia seorang yang apa adanya sebab ia tidak sedang berusaha untuk membangkitkan kesan kepada siapa pun. Yang ia inginkan dengan segenap hatinya adalah mempersembahkan karunia hidupnya kepada Yesus dan kepada Gereja. St. Thomas merupakan salah seorang dari Pujangga Gereja terbesar.
Sekitar akhir tahun 1273, Paus Gregorius X meminta Thomas untuk ambil bagian dalam suatu pertemuan penting Gereja yang disebut Konsili Lyon. Ketika sedang dalam perjalanannya ke sana, Thomas jatuh sakit. Ia harus menghentikan perjalanannya dan tinggal di sebuah biara di Fossanova, Italia, di mana akhirnya ia wafat. Hari itu adalah tanggal 7 Maret 1274. Usianya baru empatpuluh sembilan tahun. St. Thomas dinyatakan kudus pada tahun 1323 oleh Paus Paulus II; Paus Pius V memberinya gelar Pujangga Gereja pada tahun 1567; Paus Leo XIII memberinya gelar mahaguru dari segala doktor akademik pada tahun 1879 dan pelindung semua universitas, perguruan tinggi, dan sekolah pada tahun 1880.

St. Bathildis
Kisahnya berawal sekitar tahun 630. Seorang gadis Inggris Kristen yang ketakutan, tidak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi atas dirinya. Yang ia tahu hanyalah bahwa ia telah diculik dan sekarang berada dalam sebuah kapal bajak laut. Kemanakah ia akan dibawa? Kepada siapakah ia dapat bertanya? Pada akhirnya, kapal tersebut berlabuh dan ia mendengar orang-orang berbicara bahwa mereka telah berada di Perancis. Bathildis segera dijual sebagai seorang budak kepada pengurus rumah tangga istana Raja Clovis.
Kisah selanjutnya bagaikan sebuah dongeng Cinderela, kecuali bahwa kisah ini sungguh terjadi. Gadis pendiam ini memperhatikan dengan seksama sementara tugas-tugasnya dijelaskan atau ditunjukkan kepadanya. Dari hari ke hari, ia mengerjakan satu tugas ke tugas lainnya dengan sebaik-baiknya. Ia seorang gadis yang pemalu dan lemah lembut, tetapi bahkan Raja Clovis mulai memperhatikannya. Semakin diperhatikannya gadis itu, semakin raja terkesan. Gadis seperti inilah yang akan menjadi seorang istri yang mengagumkan, bahkan bagi seorang raja. Pada tahun 649, Clovis menikahi Bathildis. Gadis budak kecil itu kini menjadi seorang ratu. Raja dan ratu dikaruniai tiga orang putera. Clovis meninggal dunia ketika putera sulung mereka baru berusia lima tahun, jadi Bathildis akan memimpin Perancis hingga putera-puteranya dewasa.
Pastilah sangat mengherankan semua orang karena ternyata Bathildis dapat memerintah dengan amat bijaksana. Ia ingat betul bagaimana rasanya menjadi seorang miskin. Ia juga ingat tahun-tahun yang dilaluinya sebagai seorang budak. Ia dijual begitu saja seolah-olah ia itu “tidak ada artinya sama sekali.” Bathildis ingin agar semua orang mengetahui betapa berharganya mereka di hadapan Tuhan. Bathildis amat mencintai Yesus dan Gereja-Nya. Ia menggunakan kekuasaannya untuk membantu Gereja dalam segala cara yang mampu ia lakukan. Ia tidak menjadi sombong atau pun congkak. Sebaliknya, ia menaruh perhatian kepada para fakir miskin. Ia juga melindungi rakyatnya agar jangan sampai diculik dan diperlakukan sebagai budak. Ia memenuhi Perancis dengan rumah sakit-rumah sakit. Ia mendirikan sebuah seminari bagi pendidikan para imam dan juga sebuah biara untuk para biarawati. Kelak di kemudian hari, Ratu Bathildis sendiri juga masuk biara. Sebagai seorang biarawati, ia melepaskan segala status kerajaannya. Ia menjadi salah seorang dari para biarawati yang sederhana dan taat. Ia tidak pernah menuntut atau bahkan berharap agar orang lain melayaninya. St. Bathildis juga amat lemah lembut serta penuh perhatian kepada mereka yang sakit. Ketika ia sendiri jatuh sakit, ia harus menderita suatu penyakit yang lama serta menyakitkan hingga ia wafat pada tanggal 30 Januari 680.



St. Blasius
St. Blasius hidup pada abad keempat. Sebagian mengatakan bahwa ia berasal dari sebuah keluarga kaya dan menerima pendidikan Kristiani. Semasa remaja, Blasius memikirkan tentang segala permasalahan serta penderitaan yang terjadi pada masa itu. Ia mulai menyadari bahwa hanya sukacita rohani saja yang dapat membuat seseorang merasakan kebahagiaan sejati. Blasius menjadi imam dan kemudian diangkat menjadi Uskup Sebaste di Armenia yang sekarang adalah Turki. Dengan segenap hati, Blasius bekerja keras untuk menghantar umatnya menjadi kudus dan bahagia. Ia berdoa dan berkhotbah; ia berusaha menolong semua orang.
Ketika Gubernur Licinius mulai menganiaya umat Kristiani, St. Blasius ditangkap. Ia dibawa untuk dijebloskan ke dalam penjara dan dihukum penggal. Dalam perjalanan, umat berkumpul di sepanjang jalan untuk melihat uskup mereka yang terkasih untuk terakhir kalinya. Blasius memberkati mereka semuanya, bahkan juga orang-orang kafir. Seorang ibu yang malang bergegas datang kepadanya. Ia memohon Blasius agar menyelamatkan anaknya yang hampir tewas tercekik duri ikan yang tertelan di tenggorokannya. Orang kudus itu membisikkan doa dan memberkati sang anak. Mukjizat terjadi, sehingga nyawa anak itu dapat diselamatkan. Oleh karena itulah St. Blasius dimohon bantuan doanya oleh semua orang yang menderita penyakit tenggorokan.
Pada hari pestanya, tenggorokan kita diberkati. Kita mohon bantuannya untuk melindungi kita dari segala macam penyakit tenggorokan.
Dalam penjara, uskup yang kudus ini mempertobatkan banyak orang kafir. Tidak ada siksaan yang dapat membuatnya mengingkari imannya kepada Yesus. St. Blasius dihukum penggal kepalanya pada tahun 316. Sekarang ia ada bersama Yesus untuk selama-lamanya.

St. Katarina dari Ricci
Alexandria dilahirkan pada tahun 1522 dalam keluarga Ricci di Florence, Italia. Pada usia tigabelas tahun, Alexandria masuk biara Dominikan. Sebagai biarawati, ia memilih nama Katarina. Bahkan sejak masih kecil, Katarina memiliki cinta yang mendalam terhadap sengsara Yesus Kristus. Ia seringkali merenungkan sengsara Kristus. Yesus menganugerahinya hak amat istimewa untuk menerima Tanda-tanda Luka-Nya (= Stigmata) di tubuhnya. Dengan gembira Katarina menanggung segala rasa sakit yang timbul oleh karena luka-luka tersebut.
Katarina juga merasakan belas kasihan yang mendalam bagi jiwa-jiwa menderita di api penyucian. Ia memahami betapa mereka rindu untuk berada bersama Tuhan di surga. Ia memahami juga, bahwa masa tinggal di api penyucian ini seakan-akan berlangsung terus-menerus tanpa akhir. St. Katarina berdoa serta melakukan silih bagi mereka. Suatu kali Tuhan mengijinkannya mengetahui bahwa jiwa seseorang tertentu berada di api penyucian. Demikian besar kasihnya sehingga Katarina menawarkan diri untuk menggantikan penderitaan jiwa tersebut. Tuhan mendengar doanya dan Katarina mengalami penderitaan yang amat hebat empatpuluh hari lamanya. Setelah menderita sakit yang demikian lama serta menyakitkan, St. Katarina wafat pada usia enampuluh delapan tahun pada tanggal 2 Februari 1590. Ia dinyatakan kudus pada tahun 1747 oleh Paus Klemens XII.



St. Jane Valois
St. Jane adalah puteri Raja Louis XI dari Perancis. Ia dilahirkan pada tahun 1464. Karena raja menginginkan seorang putera, ia amat kecewa ketika Jane yang lahir. Raja bahkan tidak menghendaki puteri kecilnya itu tinggal di istana karena Jane dilahirkan cacat. Ketika puteri raja baru berusia lima tahun, ia dikirim untuk tinggal bersama orang lain. Meskipun ia diperlakukan demikian oleh ayah kandungnya, Jane adalah seorang puteri yang baik hati serta lemah lembut kepada semua orang. Ia yakin betul bahwa Yesus dan Bunda Maria mengasihinya. Jane juga yakin bahwa Tuhan akan mempergunakannya sebagai alat-Nya untuk melakukan kebajikan demi nama-Nya. Dan memang betul demikian.
Ketika Jane tumbuh dewasa, ia memutuskan untuk tidak menikah. Ia telah mempersembahkan dirinya kepada Yesus dan Bunda Maria. Tetapi ayahnya tidak menghiraukan pilihan hidupnya. Ayahnya memaksa Jane untuk menikah dengan Pangeran Orleans. Jane menjadi seorang isteri yang baik selama duapuluh dua tahun. Namun demikian, sesudah suaminya menjadi raja, suaminya itu mengirim Jane untuk tinggal seorang diri di sebuah kota yang jauh. Hal tersebut tidak menjadikan ratu bersedih dan marah. Malahan, ia bersorak: “Terpujilah Tuhan! Ia telah mengijinkan hal ini terjadi agar aku dapat melayani-Nya lebih baik daripada yang telah kulakukan selama ini.”
Jane menghabiskan waktunya dalam doa. Ia melakukan matiraga dan melaksanakan tindakan belas kasihan. Ia memberikan seluruh uangnya kepada kaum miskin. Ia bahkan juga membentuk suatu ordo para biarawati yang disebut Suster-suster dari Kabar Sukacita Santa Perawan Maria. Jane menghabiskan sisa hidupnya dengan penuh sukacita dalam Yesus dan Bunda-Nya. Ia wafat pada tahun 1505. St. Jane dinyatakan kudus oleh Paus Pius XII pada tahun 1950.

St. Agatha
Seorang gadis Kristen nan cantik bernama Agatha hidup di Sisilia pada abad ketiga. Gubernur mendengar kabar tentang kecantikan Agatha dan menyuruh orang untuk membawa gadis itu ke istananya. Ia menghendaki Agatha melakukan dosa melanggar kesuciannya, tetapi Agatha seorang gadis pemberani dan pantang menyerah. “Yesus Kristus, Tuhanku,” ia berdoa, “Engkau melihat hatiku dan Engkau mengetahui kerinduanku. Hanya Engkau saja yang boleh memilikiku, oleh sebab aku sepenuhnya adalah milik-Mu. Selamatkanlah aku dari orang jahat ini. Bantulah aku agar layak untuk menang atas kejahatan.”
Gubernur mencoba mengirim Agatha ke rumah seorang wanita pendosa. Mungkin saja gadis ini akan menjadi jahat pula. Tetapi Agatha menaruh kepercayaan yang besar kepada Tuhan dan berdoa sepanjang waktu. Ia menjaga kesucian dirinya. Ia tidak mau mendengarkan nasehat-nasehat jahat wanita dan anak-anak perempuannya itu. Setelah sebulan berlalu, Agatha dibawa kembali kepada gubernur. Sekali lagi gubernur berusaha membujuknya. “Engkau seorang wanita terhormat,” katanya dengan lembut. “Mengapa engkau merendahkan dirimu sendiri dengan menjadi seorang Kristen?” “Meskipun aku seorang terhormat,” jawab Agatha, “aku ini seorang hamba di hadapan Yesus Kristus.” “Jika demikian, apa sesungguhnya arti dari menjadi terhormat?” tanya gubernur. Agatha menjawab, “Artinya, melayani Tuhan.”
Ketika gubernur tahu bahwa Agatha tidak akan mau berbuat dosa, ia menjadi sangat marah. Ia menyuruh orang mencambuk serta menyiksa Agatha. Sementara ia dibawa kembali ke penjara, Agatha berbisik, “Tuhan Allah, Penciptaku, Engkau telah melindungi aku sejak masa kecilku. Engkau telah menjauhkan aku dari cinta duniawi dan memberiku ketabahan untuk menderita. Sekarang, terimalah jiwaku.” Agatha wafat sebagai martir di Catania, Sisilia, pada tahun 250.

S. Paulus Miki dan para martir Nagasaki
Keduapuluh enam martir ini kadang-kadang disebut juga para martir Nagasaki atau para martir Jepang. St. Fransiskus Xaverius mewartakan Kabar Gembira ke Jepang pada tahun 1549. Banyak orang menerima Sabda Tuhan dan dibaptis oleh St. Fransiskus sendiri. Meskipun Fransiskus kemudian melanjutkan perjalanannya dan pada akhirnya wafat dekat pantai Cina, iman Kristiani tumbuh di Jepang. Pada tahun 1587 terdapat lebih dari duaratus ribu orang Katolik di sana. Para misionaris dari berbagai ordo religius juga ada di sana. Para imam Jepang, biarawan-biarawati serta umat awam hidup dalam iman dengan penuh sukacita.
Pada tahun 1597, limapuluh lima tahun setelah kedatangan St. Fransiskus Xaverius, seorang penguasa Jepang yang amat berpengaruh, Hideyoshi, mendengar hasutan seorang pedagang Spanyol. Pedagang itu membisikkan bahwa para misionaris adalah pengkhianat bangsa Jepang. Ia menambahkan bahwa para pengkhianat itu akan mengakibatkan Jepang dikuasai oleh Spanyol dan Portugis. Hasutan itu tidak benar dan tidak masuk akal. Tetapi, Hideyoshi menanggapinya dengan berlebihan, sehingga keduapuluh enam orang itu ditangkap. Kelompok tersebut terdiri dari enam orang biarawan Fransiskan dari Spanyol, Meksiko dan India; tiga orang katekis Yesuit Jepang, termasuk St. Paulus Miki; dan tujuhbelas Katolik awam Jepang, termasuk anak-anak.
Keduapuluh enam orang itu dibawa ke tempat pelaksanaan hukuman mati di luar kota Nagasaki. Mereka diikatkan pada salib masing-masing dengan rantai dan tali dan belenggu besi dipasang disekeliling leher mereka. Masing-masing salib kemudian dikerek dan kaki salib ditancapkan ke sebuah lubang yang telah digali. Tombak ditikamkan kepada masing-masing korban. Mereka wafat pada saat yang hampir bersamaan. Pakaian-pakaian mereka yang ternoda oleh darah disimpan sebagai reliqui yang berharga oleh komunitas Kristiani dan mukjizat-mukjizat terjadi melalui bantuan doa mereka.
Setiap martir adalah suatu persembahan bagi Gereja. St. Paulus Miki, seorang katekis Yesuit, adalah seorang pengkhotbah yang ulung. Khotbah terakhirnya yang gagah berani disampaikannya dari atas salib sementara ia memberi semangat umat Kristiani lainnya agar tetap setia sampai mati. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 5 Februari 1597. St. Paulus Miki dan kawan-kawannya dinyatakan kudus pada tahun 1862 oleh Paus Gregorius XVI.

St. Koleta
Dilahirkan pada tahun 1380, bayi perempuan itu diberi nama Nikoleta untuk menghormati St. Nikolaus dari Myra. Orangtuanya yang penuh kasih sayang memanggilnya Koleta sejak ia masih bayi. Ayah Koleta adalah seorang tukang kayu di sebuah biara di Picardy. Koleta seorang gadis yang pendiam dan rajin bekerja. Ia memberikan banyak bantuan kepada ibunya dalam melakukan pekerjaan rumah tangga. orangtuanya memperhatikan bahwa puteri mereka senang berdoa, ia juga seorang yang peka serta penuh belas kasihan.
Ketika Koleta berusia tujuhbelas tahun, kedua orangtuanya meninggal dunia. Gadis itu kemudian diserahkan di bawah asuhan pemimpin biara di mana ayahnya dulu bekerja. Koleta meminta dan mendapatkan sebuah gubug kecil yang dibangun di samping gereja biara. Koleta tinggal di sana. Ia menghabiskan waktunya dengan berdoa dan melakukan silih bagi Gereja Kristus. Semakin lama semakin banyak orang mengetahui perihal gadis kudus ini. Mereka datang kepadanya untuk meminta nasehatnya dalam masalah-masalah penting. Mereka tahu bahwa Koleta seorang yang bijaksana oleh sebab hidupnya dekat dengan Tuhan. Koleta menerima semua orang dengan kelemahlembutan. Di akhir kunjungan, ia akan berdoa agar para tamunya menemukan kedamaian hati.
Koleta adalah anggota Ordo Ketiga St. Fransiskus. Ia tahu bahwa ordo religius bagi para wanita yang mengikuti cara hidup St. Fransiskus adalah Ordo Santa Klara. Ordo tersebut diberi nama sesuai dengan pendiri ordo mereka, St. Klara, yang adalah pengikut St. Fransiskus. Pada masa Koleta hidup, Ordo Santa Klara perlu kembali ke tujuan awal ordo mereka. St. Fransiskus dari Asisi menampakkan diri kepada Koleta serta memintanya untuk mengadakan pembaharuan dalam Ordo St. Klara. Tentu saja Koleta amat terkejut dan takut oleh sebab tugas yang demikian berat itu. Tetapi, ia percaya akan belas kasih Tuhan. Koleta pergi mengunjungi biara-biara St. Klara. Ia membantu para biarawati Klaris untuk hidup lebih sederhana dan meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa. Ordo St. Klara memperoleh semangat dari cara hidup St. Koleta.
St. Koleta memiliki devosi yang mendalam kepada Yesus dalam Ekaristi. Ia juga seringkali mengadakan waktu untuk merenungkan sengsara serta wafat Kristus. Ia amat mencintai Yesus dan panggilan religiusnya.
Koleta tahu dengan pasti kapan dan di mana ia akan meninggal. Ia wafat di salah satu biaranya di Ghent, Flanders, pada tahun 1447 dalam usia enampuluh tujuh tahun. Koleta dinyatakan kudus pada tahun 1807 oleh Paus Pius VI.



St. Apolonia dan para martir Alexandria
Seorang perawan kudus, Apolonia, hidup di Alexandria, Mesir, pada abad ketiga. Umat Kristiani mengalami penganiayaan yang hebat di sana, dalam masa pemerintahan Kaisar Philip. Apolonia telah mempergunakan seluruh hidupnya untuk melayani Tuhan. Sekarang, walaupun sudah tidak muda lagi, ia tidak juga hendak beristirahat. Dengan berani ia mempertaruhkan nyawanya untuk menghibur umat Kristiani yang menderita di penjara. “Ingatlah, bahwa pencobaanmu tidak akan berlangsung lama,” demikian ia akan berkata. “Tetapi sukacita surgawi akan berlangsung selama-lamanya.” Hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum akhirnya Apolonia sendiri juga ditangkap. Ketika hakim menanyakan namanya, dengan tegas Apolonia menjawab, “Saya seorang Kristen dan saya mengasihi serta melayani Tuhan yang benar.” Rakyat yang marah menyiksa Apolonia, mereka berusaha memaksanya untuk mengingkari imannya. Pertama-tama, semua giginya dihantam dan kemudian dirontokkan. Sungguh sangat aneh, itulah sebabnya mengapa orang seringkali mohon bantuan doa St Apolonia ketika mereka menderita sakit gigi. Namun demikian, siksaan yang amat menyakitkan itu tidak mampu menggoncangkan imannya. Apolonia kemudian diancam, jika ia tidak mengingkari Yesus, ia akan dicampakkan ke dalam api yang berkobar-kobar. Apolonia tidak membiarkan rasa takut menguasai dirinya. Ia lebih memilih mati dalam kobaran api daripada mengingkari imannya kepada Yesus. Ketika orang-orang kafir melihat betapa gagah beraninya Apolonia, banyak diantara mereka yang bertobat. Apolonia wafat sekitar tahun 249.



St. Sirilus & St. Metodius
Kedua bersaudara ini berasal dari Tesalonika, Yunani. Metodius dilahirkan pada tahun 815 dan Sirilus pada tahun 827. Keduanya menjadi imam dan memiliki keinginan kudus yang sama untuk mewartakan iman Kristiani. Mereka menjadi misionaris untuk bangsa-bangsa Slav: Moravia, Bohemia dan Bulgaria. Beginilah kisahnya: Pada tahun 862, hanya tujuh tahun sebelum St. Sirilus wafat, pangeran Moravia memohon agar para misionaris diutus ke negaranya untuk mewartakan Kabar Gembira Yesus dan Gereja-Nya. Pangeran menambahkan satu permohonan lagi, yaitu para misionaris tersebut hendaknya berbicara dalam bahasa setempat.
Kedua bersaudara, Sirilus dan Metodius, menawarkan diri untuk menjadi sukarelawan dan diterima. Mereka tahu bahwa mereka akan diminta untuk meninggalkan negeri mereka sendiri, bahasa serta kebudayaan mereka, demi cinta kepada Yesus. Mereka melakukannya dengan suka hati. Sirilus dan Metodius menciptakan abjad Slav. Mereka menerjemahkan Kitab Suci dan liturgi Gereja ke dalam bahasa Slav. Oleh karena jasa mereka, rakyat dapat menerima ajaran Kristiani dalam bahasa yang mereka mengerti.
Pada waktu itu, sebagian orang dalam Gereja tidak setuju dengan penggunaan bahasa setempat dalam liturgi Gereja. Kedua bersaudara itu harus menghadapi kritik serta kecaman. Kemudian, mereka berdua dipanggil ke Roma untuk menghadap Bapa Suci. Orang-orang yang mengecamnya pasti akan terkejut dengan jalannya pertemuan tersebut. Paus Adrianus II menunjukkan rasa kagum serta terima-kasihnya kepada kedua misionaris tersebut. Ia menyetujui cara-cara yang mereka gunakan dalam mewartakan iman dan bahkan mengangkat mereka berdua menjadi uskup. Sirilus, sang pertapa, wafat sebelum ia sempat ditahbiskan menjadi Uskup, sementara Metodius kemudian menjadi uskup. Sirilus wafat pada tanggal 14 Februari 869. Ia dimakamkan di Gereja St. Klemens di Roma. Metodius kembali ke bangsa-bangsa Slav dan melanjutkan karyanya selama lima belas tahun lagi sebelum akhirnya wafat pada tanggal 6 April 885.
Pada tanggal 31 Desember 1980, Paus Yohanes Paulus II mengangkat St. Sirilus dan St. Metodius sebagai pelindung Eropa bersama dengan St. Benediktus.



St. Onesimus
Onesimus hidup pada abad pertama. Ia adalah seorang hamba yang merampok majikannya lalu melarikan diri ke Roma. Di Roma ia bertemu dengan St. Paulus yang dipenjarakan karena imannya. Paulus menerima Onesimus dengan kelembutan serta kasih sayang seorang ayah. Paulus membantu menyadarkan pemuda tersebut bahwa ia telah berbuat salah dengan mencuri. Lebih dari itu, ia membimbing Onesimus untuk percaya dan menerima iman Kristiani.
Setelah Onesimus menjadi seorang Kristen, Paulus mengirimkannya kembali kepada tuannya, Filemon, yang adalah sahabat Paulus. Tetapi, Paulus tidak mengirim hamba itu kembali seorang diri dan tak berdaya. Ia “mempersenjatai” Onesimus dengan sepucuk surat yang singkat tapi tegas. Paulus berharap agar suratnya dapat menyelesaikan semua masalah Onesimus, sahabat barunya. Kepada Filemon, Paulus menulis: “Aku mengajukan permintaan kepadamu mengenai anakku yang kudapat selagi aku dalam penjara, yakni Onesimus. Dia kusuruh kembali kepadamu. Dia, yaitu buah hatiku.”
Surat yang menyentuh tersebut dapat ditemukan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Filemon menerima surat dan nasehat Paulus. Ketika Onesimus kembali kepada tuannya, ia dibebaskan. Kemudian, Onesimus kembali kepada St. Paulus dan menjadi penolongnya yang setia.
St. Paulus mengangkat Onesimus menjadi imam dan kemudian uskup. Orang kudus yang dulunya hamba ini membaktikan seluruh sisa hidupnya untuk mewartakan Kabar Gembira yang telah mengubah hidupnya selamanya. Menurut tradisi, pada masa penganiayaan, Onesimus dibelenggu dan dibawa ke Roma lalu dirajam hingga tewas.



St. Petrus Damianus
St. Petrus Damianus dilahirkan pada tahun 1007 dan menjadi yatim piatu sejak masih kanak-kanak. Ia diasuh oleh seorang kakaknya yang menganiaya serta membiarkannya kelaparan. Seorang kakaknya yang lain, Damianus, mengetahui keadaannya yang sebenarnya. Ia membawa Petrus pulang ke rumahnya. Sejak saat itulah hidup Petrus berubah sepenuhnya. Ia diperlakukan dengan penuh cinta, kasih sayang serta perhatian. Begitu bersyukurnya Petrus hingga kelak ketika ia menjadi seorang religius, ia memilih nama Damianus sebagai ungkapan kasih sayang kepada kakaknya. Damianus mendidik Petrus serta memberinya semangat dalam belajar. Petrus kemudian mengajar di perguruan tinggi ketika usianya baru duapuluh tahunan. Ia menjadi seorang guru yang hebat. Tetapi Tuhan membimbingnya ke jalan yang tidak pernah terpikirkan olehnya.
Petrus hidup pada masa di mana banyak orang dalam Gereja terlalu dipengaruhi oleh tujuan-tujuan duniawi. Petrus sadar bahwa Gereja adalah ilahi dan Gereja memiliki rahmat dari Yesus Kristus untuk menyelamatkan semua orang. Ia ingin agar Gereja bersinar dengan kemuliaan Kristus. Setelah tujuh tahun lamanya mengajar, Petrus memutuskan untuk menjadi seorang biarawan. Ia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan berdoa serta bermati raga. Ia akan berdoa dan melakukan silih agar banyak orang dalam Gereja menjadi kudus. Demikianlah ia pergi ke biara St. Romualdus. Petrus Damianus menulis regula (=peraturan biara) bagi para biarawan. Ia juga menulis riwayat hidup St. Romualdus, pendiri biara mereka yang kudus. Petrus menghasilkan banyak karya tulis dalam bidang teologi untuk membantu umat memperdalam iman mereka. Dua kali pemimpin biara mengirimnya ke biara-biara tetangga. Ia membantu para biarawan untuk memulai pembaharuan yang mendorong mereka untuk hidup lebih dekat dengan Tuhan. Para biarawan amat bersyukur sebab Petrus adalah seorang yang lembut hati serta pantas dihormati.
Petrus pada akhirnya ditarik dari biara. Ia diangkat menjadi Uskup dan kemudian Kardinal. Ia diutus dalam tugas-tugas yang amat penting kepada paus sepanjang hidupnya. St. Petrus Damianus wafat pada tahun 1072 dalam usia enampuluh lima tahun. Oleh karena ia seorang pahlawan kebenaran dan seorang pencinta perdamaian, ia dinyatakan sebagai Pujangga Gereja pada tahun 1828. Puisi Dante (yang hidup dari tahun 1265 hingga 1321) mengagumi kebesaran St. Petrus Damianus. Dalam puisinya, “Komedi Ilahi” Dante menempatkan Damianus dalam “surga ketujuh”. Itulah tempat bagi orang-orang kudus yang suka merindukan atau merenungkan Tuhan.

St. Polikarpus
Polikarpus dilahirkan antara tahun 75 hingga 80. Ia menjadi seorang Kristen ketika pengikut Kristus masih sedikit jumlahnya. Sesungguhnya, Polikarpus adalah murid dari salah seorang rasul, yaitu St. Yohanes. Apa yang telah dipelajarinya dari St. Yohanes diajarkannya kepada yang lain. Polikarpus menjadi seorang imam dan kemudian Uskup Smyrna yang sekarang adalah Turki. Ia menjadi Uskup Smyrna untuk masa yang cukup lama. Jemaat Kristiani mengenalnya sebagai seorang gembala umat yang kudus serta pemberani.
Pada masa itu, umat Kristen mengalami penganiayaan serta pembantaian dalam masa pemerintahan Kaisar Markus Aurelius. Seseorang mengkhianati Polikarpus dan melaporkannya kepada penguasa. Ketika orang-orang yang hendak menangkapnya datang, Polikarpus terlebih dulu mengundang mereka bersantap bersamanya. Kemudian ia meminta mereka untuk mengijinkannya berdoa sejenak. Hakim berusaha memaksa Uskup Polikarpus menyelamatkan diri dari maut dengan mengutuk Yesus. “Aku telah melayani Yesus seumur hidupku,” jawab orang kudus itu, “dan Ia tidak pernah mengecewakanku. Bagaimana mungkin aku mengutuk Raja-ku yang rela wafat bagiku?”
Para prajurit mengikat kedua belah tangan St. Polikarpus dibelakang punggungnya. Kemudian uskup tua itu ditempatkan diatas api unggun yang disulut hingga berkobar-kobar. Tetapi, api tidak menyakitinya sedikit pun. Salah seorang prajurit kemudian menikamkan sebilah pedang ke lambung uskup. Demikianlah, pada tahun 155, Polikarpus wafat sebagai martir. Ia pergi untuk tinggal selama-lamanya bersama Majikan Ilahi yang telah dilayaninya dengan gagah berani.



St. Gabriel dari Bunda Dukacita
Santo yang menarik ini dilahirkan di Asisi, Italia pada tahun 1838. Ia diberi nama Fransiskus pada saat dibaptis untuk menghormati St. Fransiskus dari Asisi. Ibunya meninggal dunia ketika Fransiskus baru berusia empat tahun. Ayahnya mendatangkan seorang pendidik untuk mengasuhnya dan saudara-saudaranya. Fransiskus tumbuh menjadi seorang pemuda yang amat tampan sekaligus menyenangkan. Seringkali ia menjadi orang yang paling menarik perhatian dalam suatu pesta. Fransiskus senang berpesta-pora, tetapi ia mempunyai sisi lain juga. Bahkan pada saat sedang bersenang-senang, ia kadang-kadang merasa bosan. Ia tidak dapat menjelaskan mengapa. Tampaknya, ia merasakan dalam hatinya adanya suatu dorongan kuat kepada Tuhan dan kepada kehidupan rohani yang lebih mendalam.
Dua kali Fransiskus sakit parah hingga hampir kehilangan nyawanya. Setiap kali ia berjanji kepada Bunda Maria bahwa jika Bunda Maria mau mengusahakan kesembuhannyakesembuhannya, ia akan menjadi seorang yang religius. Sungguh, dua kali itu ia sembuh dari penyakitnya, tetapi Fransiskus tidak menepati janjinya.
Suatu hari, Fransiskus melihat lukisan Bunda Dukacita sedang diarak dalam suatu prosesi. Tampak olehnya, Bunda Maria menatap langsung kepadanya. Pada saat yang sama, ia mendengar suatu suara dalam hatinya yang mengatakan, “Fransiskus, dunia ini bukan lagi untukmu.” Dan begitulah. Fransiskus masuk biara Passionis. Usianya delapanbelas tahun. Nama yang dipilihnya adalah Gabriel dari Bunda Dukacita.
Cinta Grabriel yang terdalam ditujukan kepada Ekaristi Kudus dan Maria, Bunda Dukacita. Ia suka menghabiskan waktu dengan merenungkan sengsara Yesus dan betapa Yesus telah banyak menderita untukya. Grabriel juga melatih diri dalam dua keutamaan dengan cara yang istimewa, yaitu kerendahan hati dan ketaatan. Yang menjadi ciri khasnya adalah sukacita. Ia selalu bergembira dan menyebarkan kegembiraan itu kepada mereka yang ada di sekitarnya. Hanya setelah empat tahun tinggal dalam biara Passionis, Gabriel wafat pada tanggal 27 Februari 1862. Ia dinyatakan kudus pada tahun 1920 oleh Paus Benediktus XV.

St. Romanus dan St. Lupicinus
Kedua santo Perancis ini adalah kakak-beradik yang hidup pada abad kelima. Sebagai seorang pemuda, Romanus dikagumi semua orang oleh karena kebaikan hatinya. Ia memiliki hasrat yang kuat untuk menjadi seorang kudus. Karena ia melihat bahwa di dunia amatlah mudah orang melupakan Tuhan, maka Romanus memutuskan untuk hidup sebagai seorang pertapa. Terlebih dahulu, ia meminta nasehat dari seorang rahib yang kudus dan kemudian berangkat. Ia membawa sebuah buku bersamanya, yaitu Hidup Para Bapa dari Padang Gurun tulisan Cassian. Ia juga membawa serta benih-benih tanaman dan beberapa peralatan. Dengan perlengkapan tersebut, Romanus masuk ke dalam hutan di pegunungan Jura antara Swiss dan Perancis. Ia menemukan sebuah pohon yang amat besar dan tinggal di bawahnya. Romanus melewatkan waktunya dengan berdoa dan membaca bukunya. Ia juga menanami serta merawat kebunnya, dengan tenang menikmati alam sekitarnya. Tak lama kemudian, adiknya – Lupicinus – bergabung dengannya. Romanus dan Lupicinus amat berbeda kepribadiannya. Romanus keras terhadap dirinya sendiri. Tetapi, ia lemah lembut dan penuh pengertian terhadap orang lain. Lupicinus keras serta kasar terhadap dirinya sendiri dan biasanya demikian juga ia menghadapi orang lain. Namun demikian, maksudnya baik. Kedua bersaudara itu saling mengerti satu sama lain dan hidup rukun bersama.
Banyak orang kemudian datang untuk bergabung dengan mereka. Orang-orang itu pun juga ingin menjadi rahib, maka mereka mendirikan dua buah biara. Romanus menjadi pemimpin di biara yang satu dan Lupicinus menjadi pemimpin di biara yang lainnya. Para rahib itu hidup sederhana dan keras. Mereka banyak berdoa dan mempersembahkan kurban-kurban mereka dengan sukacita. Mereka melakukan silih untuk mempererat panggilan hidup mereka. Mereka bekerja keras menanami serta memelihara kebun mereka dan senantiasa hening sepanjang waktu. Mereka memilih untuk hidup demikian oleh sebab perhatian utama mereka adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Cara hidup mereka membantu mereka untuk mencapai tujuan rohani mereka.
St. Romanus wafat pada tahun 460. Adiknya, St. Lupicinus, wafat pada tahun 480. St. Romanus dan St. Lupicinus keduanya adalah kudus, meskipun mereka memiliki kepribadian yang berbeda.





St. Hieronimus
Hieronimus adalah seorang Kristen Romawi yang hidup pada abad keempat. Ayahnya mengajarkan agama dengan baik kepadanya, tetapi mengirim Hieronimus ke sebuah sekolah kafir yang terkenal. Di sekolah tersebut, Hieronimus mulai menyukai tulisan-tulisan kafir dan cintanya kepada Tuhan mulai luntur. Namun demikian, persahabatannya dengan sekelompok orang-orang Kristiani yang kudus, yang menjadi sahabat-sahabat dekatnya, membuatnya berbalik kembali sepenuhnya kepada Tuhan.
Kemudian, anak muda yang cerdas ini memutuskan untuk tinggal menyendiri di padang gurun. Hieronimus khawatir kalau-kalau kesenangannya akan tulisan-tulisan kafir akan menjauhkannya dari cinta Tuhan. Hieronimus melakukan laku silih yang keras dan membiarkan dirinya terbakar panas terik padang gurun. Meskipun begitu, di sana pun Hieronimus mengalami pencobaan-pencobaan yang hebat. Hiburan-hiburan tak sehat yang diselenggarakan di Roma senantiasa segar dalam bayangan serta pikirannya. Walaupun demikian, Hieronimus pantang menyerah. Ia memperberat laku silihnya serta menangisi dosa-dosanya. Ia juga belajar bahasa Ibrani dengan seorang rahib sebagai gurunya. Hal tersebut dilakukannya untuk menghindarkan diri dari pikiran-pikiran kotor yang menghantui pikirannya. Hieronimus menjadi seorang sarjana Ibrani yang hebat sehingga kelak ia dapat menterjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Latin. Oleh karena karyanya itu, banyak orang dapat membaca serta mencintai Kitab Suci.
St. Hieronimus menghabiskan berpuluh tahun hidupnya di sebuah gua kecil di Betlehem, di mana Yesus dilahirkan. Di sana ia berdoa, mempelajari Kitab Suci, serta mengajar banyak orang bagaimana melayani Tuhan. St. Hieronimus menulis banyak surat yang mengagumkan dan bahkan juga buku-buku untuk mempertahankan iman Kristiani dari serangan kaum bidaah.
Perangainya yang cepat marah dan lidahnya yang tajam membuat St. Hieronimus mempunyai banyak musuh. Namun demikian, ia seorang yang amat kudus yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk melayani Yesus dengan cara terbaik yang mampu ia lakukan. Jadi, meskipun pemarah, ia menjadi seorang kudus yang besar. St. Hieronimus wafat pada tahun 419 atau 420.

“Menjadi seorang Kristen adalah hal yang luar biasa, bukan hanya seolah-olah tampak luar biasa. Dan oleh karena satu dan lain hal, mereka yang paling menyenangkan bagi dunia adalah mereka yang paling sedikit menyenangkan Kristus …. Kekristenan dibentuk, dan bukan bakat yang diwariskan.”
St. Hieronimus

St. Nikolaus dari Tolentino
Nikolaus dilahirkan pada tahun 1245 di Ancona, Italia. Kedua orangtuanya telah lama mendambakan serta menantikan kehadiran seorang anak. Nikolaus adalah jawaban atas doa-doa mereka dan ziarah mereka ke kapel St. Nikolaus dari Bari. Pasangan tersebut amat berterima kasih atas bantuan doa St. Nikolaus hingga mereka menamakan bayi mereka seturut namanya. Ketika anak itu besar, ia mengatakan bahwa ia ingin menjadi seorang imam. Anak itu suka berdoa dan ingin hidup dekat Tuhan. Teman-teman keluarganya berharap agar ia menjadi imam di suatu paroki yang kaya di mana Nikolaus dapat cepat dipromosikan. Nikolaus tidak banyak bicara, tetapi diam-diam ia mencari dan berdoa. Suatu hari, ia masuk sebuah gereja. Seorang imam Agustinian yang kudus sedang menyampaikan khotbah. Katanya: “Janganlah mencintai dunia atau pun barang-barang duniawi, sebab dunia ini akan segera berlalu.” Nikolaus merenungkan kata-katanya. Ia pergi dengan kata-kata itu terngiang-ngiang di telinganya. Ia tahu bahwa Tuhan telah memakai imam tersebut untuk menyentuh hidupnya. Nikolaus menjadi yakin akan pentingnya mewartakan Sabda Tuhan. Ia memutuskan untuk mohon bergabung dalam ordo yang sama dengan imam tersebut.
Ordo itu adalah Ordo Santo Agustinus (OSA) dan imam itu adalah Pastor Reginald yang kemudian menjadi pembimbing novisnya. Biarawan Nikolaus mengucapkan kaulnya ketika usianya delapan belas tahun. Kemudian ia mulai pendidikannya untuk menjadi imam. Nikolaus ditahbiskan sekitar tahun 1270. Dengan semangat cinta kasih Pastor Nikolaus melaksanakan karya kerasulannya dengan berkotbah di berbagai paroki. Suatu hari, ketika sedang berdoa di sebuah gereja, sekonyong-konyong ia mendengar suara yang mengatakan: “Ke Tolentino, ke Tolentino. Tinggallah di sana.” Segera sesudah peristiwa itu, ia ditugaskan ke kota Tolentino. Ia melewatkan tiga puluh tahun terakhir hidupnya di sana. Pada masa itu terjadi suatu pergolakan politik yang besar di sana. Banyak orang tidak datang ke gereja untuk mendengarkan Sabda Tuhan serta beribadah kepada-Nya. Para biarawan St. Agustinus memutuskan bahwa sangat perlu diadakan khotbah di jalan-jalan. St. Nikolaus dipilih untuk ambil bagian dalam rencana ini. Dengan sukarela ia berkhotbah di tempat-tempat terbuka dan di tempat-tempat di mana banyak orang berkumpul. Orang mendengarkan khotbahnya dan banyak di antaranya yang bertobat atas dosa-dosa mereka dan atas ketidakpedulian mereka. Mereka mulai hidup lebih baik. Pastor Nikolaus melewatkan berjam-jam setiap harinya di daerah-daerah kumuh Tolentino. Ia mengunjungi mereka yang kesepian. Ia memberikan sakramen kepada mereka yang sakit dan menjelang ajal. Ia memberikan perhatian terhadap kebutuhan anak-anak dan ia mengunjungi orang-orang di penjara. Banyak mukjizat dilaporkan terjadi ketika St. Nikolaus masih hidup. Ia menjamah seorang anak yang sakit sambil berkata, “Semoga Allah yang baik menyembuhkanmu,” dan anak itu pun sembuh.
St. Nikolaus dari Tolentino menderita sakit selama kurang lebih satu tahun sebelum akhirnya wafat pada tanggal 10 September 1305. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Eugenius IV pada tahun 1446.

St. Yohanes Krisostomus
St. Yohanes Krisostomus dilahirkan di Antiokhia sekitar tahun 344. Ayahnya meninggal ketika ia masih bayi. Ibunya memilih untuk tidak menikah lagi. Ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk membesarkan putra dan putrinya. Ibunya banyak berkorban agar Yohanes kelak dapat menjadi salah seorang guru yang terbaik. Yohanes seorang anak yang amat cerdas dan kelak pasti dapat menjadi seorang yang hebat. Jika Yohanes bercerita, semua orang senang mendengarkannya. Sesungguhnya, namanya, Krisostomus berarti “Bermulut emas.” Namun demikian, Yohanes ingin memberikan dirinya seutuhnya kepada Tuhan. Ia menjadi seorang imam dan di kemudian hari diangkat menjadi uskup kota besar Konstantinopel.
St. Yohanes adalah seorang uskup yang mengagumkan. Meskipun ia selalu sakit, ia melakukan begitu banyak karya yang mengagumkan. Ia berkhotbah satu atau dua kali sehari, memberi makan fakir miskin serta memberikan perhatian kepada yatim piatu. Ia memperbaiki kebiasaan umat berbuat dosa serta menghentikan pertunjukan-pertunjukkan yang tidak layak dipertontonkan. Ia mengasihi semua orang, namun demikian ia tidak takut untuk menegur mereka, bahkan ratu sekalipun, apabila mereka berbuat salah.
Karena memerangi dosa, St. Yohanes mempunyai banyak musuh – bahkan ratu sendiri. Ratu mengusirnya dari Konstantinopel. Dalam perjalanan, St Yohanes menderita demam yang hebat, kekurangan makan serta kurang istirahat. Meskipun begitu, ia berbahagia dapat menderita bagi Yesus. Sesaat sebelum kematiannya, ia berseru, “Kemuliaan kepada Allah!”
St. Yohanes wafat di Turki pada tanggal 14 September 407. Hujan es dan angin ribut yang dahsyat menyerang Konstantinopel pada saat ia meninggal. Empat hari kemudian, ratu yang jahat itu pun meninggal juga. Puteranya menghormati jenasah St. Yohanes dan menunjukkan betapa ia menyesal atas apa yang telah diperbuat ibunya.

St. Kornelius & St. Siprianus
S. Kornelius Pada pertengahan abad ketiga, Gereja masih mengalami penganiayaan. Penganiayaan yang kejam dalam masa pemerintahan Kaisar Decius telah merenggut nyawa Paus St. Fabianus. Gereja tidak memiliki paus selama hampir satu tahun lamanya. Seorang imam kudus dari Roma, Kornelius, dipilih menjadi Bapa Suci pada tahun 251. Kornelius menerima tugas tersebut, oleh sebab ia sangat mencintai Kristus. Ia rela melayani Gereja sebagai seorang paus, meskipun pelayanannya itu membahayakan jiwanya. Karena itulah Paus Kornelius amat
S. Siprianus
dikagumi di seluruh dunia. Teristimewa para Uskup Afrika secara terang-terangan menyatakan cinta dan kesetiaan mereka kepada paus. Uskup Siprianus dari Kartago mengirimkan kepada bapa suci surat-surat yang membangkitkan semangat serta menyatakan dukungan.
Siprianus dibaptis sebagai pengikut Kristus pada usia empat puluh lima tahun. Ia mengherankan umat Kristiani di Kartago dengan mengucapkan kaul kemurnian sesaat sebelum dibaptis. Beberapa waktu kemudian, Siprianus ditahbiskan sebagai imam dan pada tahun 249 sebagai uskup. Penuh semangat Uskup Siprianus membesarkan hati Paus Kornelius dengan mengingatkannya bahwa selama masa penganiayaan yang sedang berlangsung di Roma itu, tidak ada seorang umat Kristiani pun yang mengingkari imannya. Tulisan-tulisan St. Siprianus menjelaskan tentang kasih yang harus dimiliki umat Kristiani bagi persatuan Gereja. Kasih ini haruslah juga diperuntukkan bagi paus, para uskup serta para imam, baik di keuskupan-keuskupan maupun di paroki-paroki. Siprianus juga menulis sebuah thesis tentang persatuan Gereja. Topik yang diangkatnya itu tetap menjadi topik penting di sepanjang masa, termasuk masa sekarang.
Paus St. Kornelius wafat dalam pengasingan di pelabuhan Roma pada bulan September tahun 253. Oleh sebab ia harus menanggung penderitaan yang luar biasa sebagai seorang paus, maka ia dinyatakan sebagai martir. St. Siprianus wafat lima tahun kemudian dalam masa penganiayaan Valerianus. Ia dipenggal kepalanya di Kartago pada tanggal 14 September 258. Pesta kedua orang kudus ini dirayakan bersama-sama untuk mengingatkan kita akan pentingnya persatuan Gereja. Persatuan Gereja adalah tanda kehadiran Yesus yang adalah Kepala Gereja.

St. Robertus Bellarmino
Robertus dilahirkan di Italia pada tahun 1542. Ketika masih kanak-kanak, ia tidak tertarik untuk bermain. Ia lebih suka menghabiskan waktunya mengulangi khotbah-khotbah yang ia dengar kepada adik-adiknya. Ia juga suka menjelaskan pelajaran-pelajaran katekese kepada anak-anak petani di lingkungan sekitarnya. Sesudah menerima Komuni Pertama, ia biasa menerima Yesus setiap hari Minggu.
Ayah Robertus berharap agar puteranya kelak menjadi seorang yang terkenal. Karena itu, ia menghendaki agar Robertus mempelajari macam-macam bidang studi, termasuk kesenian juga. Setiap kali dalam suatu lagu terdapat kata-kata yang kurang sedap di dengar, maka Robertus akan segera menggantinya dengan kata-kata yang lebih tepat yang dipilihnya sendiri.
Merupakan kerinduannya yang terdalam untuk menjadi seorang imam Yesuit, namun ayahnya mempunyai rencana masa depan yang berbeda untuknya. Selama setahun penuh Robertus berusaha keras untuk membujuk ayahnya. Akhirnya, ketika usianya delapan belas tahun, ia diijinkan juga untuk bergabung dengan Serikat Yesus (SJ). Sebagai biarawan muda Yesuit, Robertus berhasil amat baik dalam pelajarannya. Ia diutus untuk menyampaikan khotbah, bahkan sebelum ia ditabhiskan menjadi seorang imam. Ketika seorang wanita saleh untuk pertama kalinya melihat seorang pemuda yang masih belia, bahkan belum ditahbiskan menjadi imam, naik ke mimbar untuk menyampaikan khotbah, wanita itu berlutut dan berdoa. Ia mohon pada Tuhan untuk membantu anak muda itu agar jangan gemetar dan berhenti di tengah khotbahnya. Ketika Robertus selesai menyampaikan khotbahnya, wanita itu tetap berlutut. Tetapi, kali ini, ia mengucapkan syukur kepada Tuhan atas khotbah yang begitu indah.
St. Robertus Bellarmino menjadi seorang penulis, pengkhotbah dan juga pengajar yang ulung. Ia menulis tiga puluh satu buah buku penting. Ia menghabiskan tiga jam setiap harinya dalam doa. Ia mempunyai pengetahuan mendalam atas hal-hal sakral. Bahkan ketika telah diangkat sebagai kardinal, Robertus selalu beranggapan bahwa katekese demikian penting, hingga ia sendiri yang mengajarkannya kepada umatnya.
Kardinal Bellarmino wafat pada tanggal 17 September 1621. Ia dinyatakan kudus pada tahun 1930 oleh Paus Pius XI. Pada tahun 1931, paus yang sama memaklumkan St. Robertus Bellarmino sebagai Pujangga Gereja.

“Jika kamu bijaksana, maka kamu tahu bahwa kamu telah diciptakan demi kemuliaan Tuhan dan demi keselamatan kekalmu sendiri. Inilah tujuanmu, inilah pusat hidupmu, inilah harta pusaka hatimu.” ~ St. Robertus Bellarmino

St. Yosef dari Kupertino
Yosef dilahirkan pada tanggal 17 Juni 1603 di sebuah desa kecil di Italia. Ia berasal dari keluarga miskin. Semasa kanak-kanak dan remaja, hidupnya tidak bahagia. Ibunya menganggap Yosef menyusahkannya saja serta memperlakukannya dengan buruk.
Yosef tumbuh menjadi seorang remaja yang amat lamban serta pelupa. Ia sering mengeluyur tanpa arah tujuan. Tetapi ia seorang pemarah juga, jadi ia tidak begitu disenangi. Yosef belajar ketrampilan membuat sepatu, tetapi gagal. Ia minta ijin untuk bergabung menjadi seorang biarawan Fransiskan, tetapi mereka tidak mau menerimanya. Kemudian, Yosef bergabung dengan Ordo Kapusin, tetapi delapan bulan kemudian ia dianjurkan untuk meninggalkan tempat itu. Tampaknya Yosef tidak dapat melakukan segala sesuatu dengan benar. Ia kerap menjatuhkan tumpukan piring-piring dan terus-menerus lupa melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Ibunya sama sekali tidak senang menerima Yosef, yang saat itu berumur delapan belas tahun, pulang kembali ke rumah. Pada akhirnya, ibunya berhasil mencarikan pekerjaan baginya sebagai pesuruh di biara Fransiskan. Yosef diberi jubah Fransiskan untuk dikenakan dan diserahi tugas untuk merawat kuda-kuda.
Pada waktu itu Yosef mulai berubah. Ia menjadi lebih lembut serta rendah hati. Ia lebih berhati-hati dan berhasil dalam pekerjaannya. Ia juga mulai melakukan silih. Pemimpin biara memutuskan bahwa Yosef dapat diterima menjadi anggota Ordo Fransiskan dan dapat segera mulai belajar untuk menjadi seorang imam. Meskipun Yosef seorang pekerja yang tekun, ia mengalami masalah dalam hal belajar. Tetapi Yosef percaya akan pertolongan Tuhan dan akhirnya ditahbiskan juga menjadi seorang imam. Tuhan mulai mengadakan mukjizat-mukjizat melalui Pastor Yosef. Lebih dari tujuh puluh kali orang melihatnya terangkat dari tanah ketika ia sedang mempersembahkan Misa atau sedang berdoa. Ia akan tergantung di langit-langit biara bagaikan bintang di atas puncak pohon Natal. Seringkali ia mengalami ekstasi (=kerasukan Roh Kudus) dan sepenuhnya larut dalam pembicaraan dengan Tuhan. Ia menjadi seorang yang amat kudus. Segala sesuatu yang ia lihat membuatnya berpikir tentang Tuhan.
Yosef dilahirkan pada tanggal 17 Juni 1603 di sebuah desa kecil di Italia. Ia berasal dari keluarga miskin. Semasa kanak-kanak dan remaja, hidupnya tidak bahagia. Ibunya menganggap Yosef menyusahkannya saja serta memperlakukannya dengan buruk.
Yosef tumbuh menjadi seorang remaja yang amat lamban serta pelupa. Ia sering mengeluyur tanpa arah tujuan. Tetapi ia seorang pemarah juga, jadi ia tidak begitu disenangi. Yosef belajar ketrampilan membuat sepatu, tetapi gagal. Ia minta ijin untuk bergabung menjadi seorang biarawan Fransiskan, tetapi mereka tidak mau menerimanya. Kemudian, Yosef bergabung dengan Ordo Kapusin, tetapi delapan bulan kemudian ia dianjurkan untuk meninggalkan tempat itu. Tampaknya Yosef tidak dapat melakukan segala sesuatu dengan benar. Ia kerap menjatuhkan tumpukan piring-piring dan terus-menerus lupa melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Ibunya sama sekali tidak senang menerima Yosef, yang saat itu berumur delapan belas tahun, pulang kembali ke rumah. Pada akhirnya, ibunya berhasil mencarikan pekerjaan baginya sebagai pesuruh di biara Fransiskan. Yosef diberi jubah Fransiskan untuk dikenakan dan diserahi tugas untuk merawat kuda-kuda.
Pada waktu itu Yosef mulai berubah. Ia menjadi lebih lembut serta rendah hati. Ia lebih berhati-hati dan berhasil dalam pekerjaannya. Ia juga mulai melakukan silih. Pemimpin biara memutuskan bahwa Yosef dapat diterima menjadi anggota Ordo Fransiskan dan dapat segera mulai belajar untuk menjadi seorang imam. Meskipun Yosef seorang pekerja yang tekun, ia mengalami masalah dalam hal belajar. Tetapi Yosef percaya akan pertolongan Tuhan dan akhirnya ditahbiskan juga menjadi seorang imam. Tuhan mulai mengadakan mukjizat-mukjizat melalui Pastor Yosef. Lebih dari tujuh puluh kali orang melihatnya terangkat dari tanah ketika ia sedang mempersembahkan Misa atau sedang berdoa. Ia akan tergantung di langit-langit biara bagaikan bintang di atas puncak pohon Natal. Seringkali ia mengalami ekstasi (=kerasukan Roh Kudus) dan sepenuhnya larut dalam pembicaraan dengan Tuhan. Ia menjadi seorang yang amat kudus. Segala sesuatu yang ia lihat membuatnya berpikir tentang Tuhan.
Pastor Yosef menjadi demikian terkenal karena mukjizat-mukjizat yang dilakukannya sehingga ia harus disembunyikan. Hal ini membuatnya merasa berbahagia karena memberinya kesempatan untuk sendiri bersama Kristus yang amat dikasihinya. Yesus tidak pernah meninggalkannya sendiri dan suatu hari Ia datang untuk membawanya serta ke surga. St. Yosef wafat pada tahun 1663 dalam usia enam puluh tahun. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Klemens XIII pada tahun 1767.

St. Andreas Kim Taegon & St. Paulus Chong Hasang
St. Andreas Kim Taegon St. Andreas Kim Taegon adalah seorang imam dan St. Paulus Chong Hasang adalah seorang awam. Kedua martir ini mewakili 113 umat Katolik yang wafat sebagai martir karena iman mereka di Korea. Mereka dinyatakan kudus oleh Paus Yohanes Paulus II pada saat paus mengunjungi Korea pada tahun 1984.
Ajaran Kristen menyebar ke Korea pada abad ketujuhbelas melalui pewartaan kaum awam. Umat yang percaya memilihara iman mereka dengan Sabda Tuhan. Mereka bertumbuh serta berkembang secara diam-diam.
St. Paulus Chong Hasang
Kemudian imam-imam misionaris datang dari Perancis. Umat Korea diperkenalkan kepada Sakramen Gereja. Mereka mengalami penganiayaan dari pemerintah yang pasang surut sepanjang abad kesembilanbelas. Seratus tiga umat Korea wafat sebagai martir antara tahun 1839 hingga tahun 1867. Sepuluh orang anggota Serikat Misi Asing dari Paris juga wafat sebagai martir, yaitu tiga orang uskup beserta tujuh orang imam. Sehingga jumlah mereka seluruhnya yang wafat sebagai martir adalah 113 orang.
St. Andreas Kim Taegon dan St. Paulus Chong Hasang mewakili kemuliaan serta keberanian umat Katolik Korea yang telah membayar mahal cinta mereka kepada Kristus. St. Andreas Kim Taegon adalah imam pertama Korea. Ia wafat sebagai martir pada tanggal 16 September 1846, hanya satu tahun setelah ditahbiskan. Ayah St. Andreas Kim telah mendahuluinya menjadi martir pada tahun 1821. St. Paulus Chong Hasang adalah seorang katekis awam yang pemberani. Ia wafat sebagai martir pada tanggal 22 September 1846. Sekarang Gereja berkembang pesat di Korea. Karunia iman diterima karena kurban persembahan para martir telah menjadi pembuka jalan.

“Kita telah menerima Sakramen Baptis, masuk dalam pelukan Gereja, serta menerima kehormatan disebut sebagai umat Kristiani. Tetapi, apa gunanya semua itu jika kita hanya Kristen dalam nama dan tidak dalam kenyataan?”
St. Andreas Kim

St. Matius
Matius adalah seorang pemungut cukai di kota Kapernaum, kota di mana Yesus tinggal. Matius seorang Yahudi, tetapi ia bekerja untuk kepentingan bangsa Romawi yang menjajah bangsa Yahudi. Oleh sebab itu, orang-orang sebangsanya tidak menyukai Matius. Mereka tidak mau berhubungan dengan “orang-orang berdosa” seperti Matius si pemungut cukai.

Namun, Yesus tidak berpikir demikian terhadap Matius. Suatu hari, Yesus melihat Matius duduk di rumah cukai dan Ia berkata, “Ikutlah Aku.” Seketika itu juga Matius meninggalkan uang serta jabatannya untuk mengikuti Yesus. Yesus kelihatan demikian kudus dan bagaikan seorang raja. Matius mengadakan suatu perjamuan besar bagi-Nya. Ia mengundang teman-teman lain yang seperti dirinya untuk bertemu dengan Yesus serta mendengarkan pengajaran-Nya. Sebagian orang Yahudi menyalahkan Yesus karena makan bersama dengan oang-orang yang mereka anggap orang berdosa. Tetapi, Yesus sudah siap dengan suatu jawaban. “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”

Ketika Yesus kembali ke surga, St. Matius tinggal di Palestina. Ia tetap tinggal di sana beberapa waktu lamanya untuk mewartakan Kristus. Kita mengenal Injil Matius, yang adalah kisah Yesus serta ajaran-ajaran-Nya. St. Matius mewartakan Yesus kepada kaum sebangsanya. Kristus adalah Mesias yang dinubuatkan para nabi akan datang untuk menyelamatkan kita. Setelah mewartakan Injil kepada banyak orang, hidup St. Matius berakhir sebagai seorang martir iman yang jaya.

St. Tekla
Tekla adalah seorang gadis bangsawan kafir yang cantik yang hidup pada abad pertama. Ia berasal dari kota Ikonium di Turki. Tekla telah membaca banyak buku filsafat, namun tak ada satu pun yang dapat memuaskan keingintahuannya tentang Pencipta-nya. Doa Tekla untuk mengenal Allah yang satu dan benar terjawab ketika St. Paulus rasul datang untuk mewartakan Injil Yesus di Ikonium. Dari St. Paulus, Tekla juga mengetahui bahwa seorang wanita dapat menjadi pengantin Kristus apabila ia memilih untuk tidak menikah. Saat itu, Tekla tidak menginginkan yang lain selain dari mempersembahkan dirinya seutuhnya kepada Tuhan.
Orangtua Tekla yang kafir melakukan segala daya upaya agar ia meninggalkan iman Kristiani-nya, tetapi ia tetap teguh. Tunangannya, Thamyris, memohon kepadanya untuk tidak membatalkan pertunangan mereka. Tetapi, tekad Tekla sudah bulat. Ia ingin menjadi pengantin Kristus. Pada akhirnya, karena amat marah, Thamyris mengadukan Tekla ke pengadilan. Tekla tidak juga mau mengingkari cintanya kepada Yesus, karenanya ia dijatuhi hukuman dengan dibakar sampai mati. Gadis cantik tersebut dengan berani menyongsong maut. Namun, dikisahkan bahwa segera setelah api dinyalakan, datanglah badai dari surga untuk memadamkannya. Kemudian Tekla dijatuhi hukuman mati dengan dijadikam mangsa singa-singa yang kelaparan. Namun demikian, sekali lagi Tuhan menyelamatkan nyawa Tekla. Bukannya menerkamnya, binatang-binatang buas itu malahan mendekatinya dengan jinak, berbaring di sisinya, lalu menjilati kaki Tekla, bagaikan anak kucing saja. Pada akhirnya, karena ketakutan, hakim membebaskan Tekla. Tekla mengasingkan diri ke sebuah gua di mana ia tinggal seumur hidupnya. Ia berdoa serta mewartakan Tuhan Yesus kepada orang-orang yang datang mengunjunginya.

St. Kosmas & St. Damianus
Kedua martir yang kita rayakan pestanya pada hari ini adalah sepasang saudara kembar dari Siria yang hidup pada abad keempat. Mereka berdua merupakan siswa-siswa yang sangat terkenal dalam bidang ilmu pengetahuan dan keduanya menjadi dokter yang hebat. Kosmas dan Damianus memandang setiap pasien sebagai saudara dan saudari dalam Kristus. Karena itu, mereka memberikan perhatian besar kepada mereka semua dan melakukan yang terbaik dengan segenap kemampuan mereka. Betapa pun banyaknya perhatian yang harus mereka curahkan terhadap seorang pasien, baik Kosmas maupun Damianus, tidak pernah menerima uang sebagai imbalan atas pelayanan mereka. Sebab itu, mereka diberi nama julukan dalam bahasa Yunani artinya “tanpa uang sepeser pun”.
Setiap ada kesempatan, kedua orang kudus ini akan bercerita kepada para pasiennya tentang Yesus Kristus, Putra Allah. Orang banyak menyukai kedua dokter kembar ini, karenanya dengan senang hati mereka mendengarkan. Kosmas dan Damianus seringkali memulihkan kesehatan, baik jiwa maupun raga, para pasien yang datang mohon bantuan mereka.
Ketika penganiayaan oleh Kaisar Diocletian terhadap umat Kristiani dimulai di kota mereka, kedua dokter ini segera ditangkap. Tak pernah sekali pun mereka berusaha menyembunyikan cinta mereka yang begitu besar terhadap iman Kristiani mereka. Mereka disiksa dan dianiaya, tetapi tak ada yang dapat memaksa mereka untuk mengingkari iman mereka kepada Kristus. Mereka hidup bagi Dia dan menarik begitu banyak orang kepada cinta-Nya. Jadi, pada akhirnya, mereka berdua dijatuhi hukuman mati pada tahun 303.

St. Vinsensius de Paul
Vinsensius, putera seorang petani Perancis yang miskin, dilahirkan pada tahun 1581. Kelak, ketika dewasa dan menjadi terkenal, ia suka sekali bercerita bagaimana ia merawat babi-babi peliharaan ayahnya. Karena ia seorang anak yang cerdas, ayahnya mengirim Vinsensius untuk bersekolah. Setelah menamatkan sekolahnya, Vinsensius menjadi seorang imam.
Awalnya, Vinsesius diberi jabatan penting sebagai guru anak-anak orang kaya, dan ia hidup dengan cukup nyaman. Hingga suatu hari, ia dipanggil untuk memberikan sakramen terakhir kepada seorang petani miskin yang sedang menghadapi ajal. Di hadapan banyak orang, petani tersebut menyatakan betapa buruknya pengakuan-pengakuan dosa yang ia buat di masa silam. Sekonyong-konyong Pastor Vinsensius sadar akan mendesaknya kebutuhan kaum miskin papa Perancis akan pertolongan rohani. Ketika ia mulai berkhotbah kepada mereka, orang berduyun-duyun datang untuk mengaku dosa. Pada akhirnya Pastor Vinsensius memutuskan untuk membentuk suatu kongregasi imam yang secara khusus bekerja di antara pada fakir miskin (dikenal dengan nama Kongregasi Misi atau Lazaris).
Tindakan belas kasih St. Vinsensius de Paul demikianlah banyak sehingga rasanya tidaklah mungkin bagi seseorang untuk melakukan segala hal yang telah ia lakukan. Ia memberikan perhatian kepada para narapidana yang bekerja pada kapal-kapal pelayaran. Ia bersama dengan St. Louise de Marillac mendirikan Kongregasi Suster-suster Putri Kasih, PK. Ia mendirikan rumah-rumah sakit serta wisma-wisma bagi anak-anak yatim piatu serta orang-orang lanjut usia. Ia mengumpulkan sejumlah besar uang untuk disumbangkan ke daerah-daerah miskin, mengirimkan para misionaris ke berbagai negara, serta membeli kembali para tawanan dari kaum Mohammedans. Meskipun ia demikian murah hati, namun demikian, dengan rendah hati ia mengakui bahwa sifat dasarnya tidaklah demikian. “Jika bukan karena kasih karunia Tuhan, aku ini seorang yang keras, kasar serta mudah marah,” katanya. Vinsensius de Paul wafat di Paris pada tanggal 27 September 1660. Ia dinyatakan kudus pada tahun 1737 oleh Paus Klemens XII.

“Tidaklah cukup bagiku untuk mengasihi Tuhan jika aku tidak mengasihi sesamaku …Aku ini milik Tuhan dan milik kaum miskin.” St. Vinsensius de Paul

St. Mikhael, Gabriel & Rafael (Malaekat Agung)Mikhael, Gabriel dan Rafael disebut “santo” karena mereka kudus. Namun demikian, mereka berbeda dari para kudus lainnya karena mereka bukanlah manusia. Mereka adalah malaikat, mereka melindungi manusia. Kita dapat mengetahui sedikit tentang masing-masing dari mereka dari Kitab Suci.

Nama Mikhael artinya “Siapa dapat menyamai Tuhan?” Tiga kitab dalam Kitab Suci bercerita tentang St. Mikhael, yaitu: Daniel, Wahyu dan Surat Yudas. Dalam Kitab Wahyu bab 12:7-9, kita membaca tentang suatu pertempuran besar yang terjadi di surga. Mikhael dan malaikat-malaikatnya berperang melawan Satan. Mikhael menjadi pemenang karena setia kepada Tuhan. Kita dapat mohon bantuan St. Mikhael untuk menjadikan kita teguh dalam kasih kepada Yesus dan dalam mempraktekan iman Katolik kita.

Nama Gabriel berarti “Tuhan kemenanganku”. Ia juga disebutkan dalam kitab Daniel. Gabriel kita kenal dengan baik karena ia termasuk salah satu tokoh penting dalam Injil Lukas. Malaikat Agung ini menyampaikan kepada Maria bahwa ia akan menjadi Bunda Juruselamat kita. Gabriel menyampaikan kepada Zakharia bahwa ia dan Elisabet akan dikarunia seorang putera yang akan dinamai Yohanes. Gabriel adalah pembawa warta, utusan Tuhan untuk menyampaikan Kabar Sukacita. Kita dapat mohon bantuan St. Gabriel untuk menjadikan kita pembawa warta, seorang utusan Tuhan seperti dirinya.

Nama Rafael artinya “Tuhan menyembuhkan”. Kita membaca kisah yang menyentuh tentang tugas Rafael dalam kitab Tobit dalam Kitab Suci. Ia memberikan perlindungan serta penyembuhan bagi mata Tobit yang buta. Pada akhir perjalanan, ketika segala sesuatunya telah berakhir, Rafael menyatakan jati dirinya yang sebenarnya. Ia menyebut dirinya sebagai salah satu dari ketujuh malaikat yang melayani di hadapan tahta Allah. Kita dapat mohon bantuan St Rafael untuk melindungi kita dalam perjalanan, bahkan dalam perjalanan yang amat dekat sekali pun, seperti misalnya pergi ke sekolah. Kita juga dapat mohon pertolongannya ketika kita atau seseorang yang kita kasihi diserang penyakit.





4 September St. Rosa dari Viterbo

Rosa dilahirkan pada tahun 1235 di Viterbo, Italia. Ia hidup pada masa Kaisar Frederick merebut tanah milik Gereja. Misi khusus Rosa adalah menjadikan penduduk kotanya serta penduduk kota-kota sekitarnya tetap setia kepada Bapa Suci. Dan tugas ini ia lakukan ketika ia masih seorang remaja.

Rosa baru berusia delapan tahun ketika Santa Perawan Maria mengatakan kepadanya ketika ia sedang sakit, untuk mengenakan jubah St. Fansiskus. Bunda Maria juga mengatakan kepada Rosa untuk memberikan teladan yang baik kepada sesama dengan kata-kata maupun dengan perbuatannya. Perlahan-lahan kesehatan Roda pulih kembali. Ia mulai merenungkan dan semakin merenungkan betapa Yesus telah menderita bagi kita dan betapa para pendosa telah menyakiti-Nya. Ia berdoa serta melakukan silih untuk menyatakan kepada Yesus betapa ia mengasihi-Nya.

Kemudia, gadis pemberani ini mulai berkhotbah di jalan-jalan kota. Ia mengatakan kepada orang banyak untuk bangkit melawan kaisar yang telah merampas kekayaan gereja. Banyak orang mendengarkan khotbahnya sehingga ayah Rosa menjadi ketakutan. Ia mengancam Rosa bahwa ia akan mencambukinya jika ia tidak berhenti berkhotbah. Rosa, yang saat itu berusia tigabelas tahun, menjawab dengan lembut, “Jika Yesus rela dicambuki demi aku, aku juga rela dicambuki demi Dia. Aku melakukan apa yang Yesus perintahkan kepadaku dan aku tidak mau tidak taat kepada-Nya.”

Dua tahun lamanya Rosa berkhotbah dengan berhasil sehingga musuh-musuh paus menghendaki agar ia dibunuh saja. Pada akhirnya, penguasa mengusir Rosa beserta orangtuanya ke luar kota. Tetapi Rosa mengatakan bahwa kaisar akan segera mangkat, dan memang terjadi demikian. Setelah kembali ke Viterbo, Rosa tidak diijinkan untuk menjadi biarawati, jadi ia pulang ke rumahnya. Di sana ia wafat pada tahun 1252 ketika usianya baru tujuhbelas tahun. Jenasahnya yang masih utuh hingga kini disemayamkan di Viterbo.

“Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” ~ 1 Timotius 4:12

5 September St. Laurensius Giustiniani

Laurensius dilahirkan di Venice, Italia, pada tahun 1381. Ibunya kadang-kadang berpikir bahwa puteranya berkhayal terlalu tinggi. Laurensius selalu mengatakan kepada ibunya bahwa ia ingin menjadi seorang kudus, seorang santo. Ketika usianya sembilanbelas tahun, Laurensius merasa bahwa ia harus melayani Tuhan dengan suatu cara yang istimewa. Ia meminta nasehat kepada pamannya, seorang imam yang kudus dari komunitas St. George. “Apakah kamu memiliki keberanian untuk meninggalkan kesenangan duniawi dan melewatkan hidupmu dengan melakukan silih?” tanya pamannya. Cukup lama Laurensius tidak menjawab. Kemudian ia menatap salib dan berkata, “Engkau, oh Tuhan, adalah harapanku. Dalam Salib ada ketenteraman serta kekuatan.”

Ibunya menginginkannya untuk menikah, tetapi Laurensius bergabung dengan komunitas St. George. Tugas pertamanya adalah pergi ke kampung-kampung di kotanya untuk meminta derma bagi ordonya. Laurensius tidak malu pergi meminta-minta. Ia tahu bahwa derma uang ataupun barang akan berguna bagi karya Tuhan. Ia bahkan pergi ke depan rumahnya sendiri dan meminta derma. Ibunya berusaha mengisi kantongnya dengan banyak makanan agar Laurensius dapat segera pulang ke biaranya. Tetapi Laurensius hanya menerima dua potong roti dan pergi ke rumah sebelah untuk meminta derma lagi. Dengan demikian, ia belajar bagaimana mempraktekan penyangkalan diri dan semakin bertumbuh dalam kasih kepada Tuhan.

Suatu hari seorang teman datang membujuk Laurensius untuk meninggalkan biaranya. Laurensius menjelaskan kepada temannya itu betapa singkatnya hidup dan betapa bijaksananya untuk melewatkan hidup demi surga. Temannya amat terkesan dan terdorong untuk menjadi seorang religius juga.

Di kemudian hari Laurensius diangkat menjadi Uskup, meskipun ia sendiri kurang senang akan hal itu. Umatnya segera mengetahui betapa lembut hati dan kudusnya Uskup mereka. Orang berbondong-bondong datang kepadanya setiap hari untuk memohon pertolongannya. Menjelang ajalnya, St. Laurensius menolak berbaring di tempat tidur yang nyaman. “Tidak boleh demikian!” serunya dengan rendah hati. “Tuhanku terentang di kayu yang keras serta menyakitkan.” St. Laurensius Giustiniani wafat pada tahun 1455.

Bagaimana kehidupan imanku mendorongku untuk menjadi seorang pemberani?

8 September Kelahiran Santa Perawan Maria

Tidak biasanya kita merayakan hari kelahiran para kudus. Sebaliknya kita merayakan hari mereka wafat, karena pada hari itulah mereka dilahirkan ke dalam sukacita surgawi. Namun, hari kelahiran Maria, Bunda Kita, merupakan suatu pengecualian. Kita merayakan hari kelahirannya karena ia datang ke dunia dalam keadaan penuh rahmat dan karena ia akan menjadi Bunda Yesus.

Kelahiran Bunda Maria bagaikan fajar. Ketika pada waktu pagi cakrawala mulai berwarna merah, kita tahu bahwa matahari akan segera terbit. Demikian juga ketika Maria dilahirkan, ia membawa sukacita yang besar bagi dunia. Kelahirannya berarti bahwa Yesus, Matahari Keadilan, akan segera datang. Maria adalah manusia mengagumkan yang memperoleh hak istimewa untuk membawa Yesus kepada segenap umat manusia.

Jika kita mengasihi Maria, berarti kita mengasihi Yesus. Siapapun yang memiliki devosi yang amat kuat kepada Maria, ia amat dekat di hati Yesus.

Pada hari ini, kita merayakan serta mewartakan dengan sukacita kepada seluruh dunia kelahiran Santa Perawan Maria. Kita selalu dapat datang kepada Maria untuk memohon pertolongannya. Ia amat dekat di hati Yesus. Ujud khusus apakah yang akan aku minta kepada Bunda Maria pada hari ini?

St. Petrus Claver
Imam Spanyol dari Serikat Yesus ini dilahirkan pada tahun 1580. Ia dikenal sebagai “rasul para budak.” Ketika ia masih seorang seminaris di Serikat Yesus, ia merasakan suatu dorongan yang amat kuat untuk pergi ke Amerika Selatan sebagai seorang misionaris. Ia menjadi sukarelawan dan diutus ke pelabuhan Cartagena (Kolumbia). Di sana berdatangan banyak sekali kapal penuh dengan muatan para budak belian yang didatangkan dari Afrika untuk dijual.
Melihat himpunan orang-orang malang itu yang berjubel, sakit serta menderita, hati Petrus tergerak oleh belas kasihan. Ia bertekad untuk menolong mereka serta mewartakan Kabar Sukacita kepada mereka. Begitu sebuah kapal muatan tiba, Petrus akan segera pergi menyongsongnya dan menjumpai ratusan budak yang sakit. Ia memberi mereka makanan serta obat-obatan. Ia membaptis mereka yang sekarat serta membaptis bayi-bayi. Ia merawat yang sakit. Sungguh suatu kerja keras sementara panas menyengat. Seorang yang pernah satu kali menemani St. Petrus melakukan karyanya tidak tahan menyaksikan pemandangan yang memilukan itu. Tetapi Petrus melakukannya selama empat puluh tahun. Ia membaptis sekitar tiga ratus ribu orang. Ia selalu berada di sana ketika kapal-kapalm itu datang. Ia mencurahkan perhatian serta kasih sayangnya kepada mereka yang diperlakukan secara tidak adil oleh masyarakat.
Meskipun majikan para budak itu berusaha mencegahnya, Pastor Claver tetap saja mengajarkan iman kepada para budak belian itu. Suatu pekerjaan yang lamban serta mengecilkan hati. Banyak orang mencelanya dengan mengatakan bahwa segala yang ia lakukan itu hanya sia-sia belaka. Menurut mereka, para budak itu tidak akan pernah memiliki iman. Tetapi St. Petrus seorang yang amat sabar dan ia percaya bahwa Tuhan memberkati para budak tersebut. Ia malahan juga pergi mengunjungi para budak itu setelah mereka meninggalkan Cartagena. Pastor Claver tidak pernah lelah mendesak majikan para budak itu untuk memperhatikan jiwa-jiwa para budak mereka sementara mereka sendiri perlu menjadi umat Kristiani yang lebih baik.
Empat tahun terakhir dalam hidupnya, Pastor Claver menderita sakit yang demikian hebat hingga ia harus tinggal terus dalam kamarnya. Ia bahkan tidak dapat merayakan Misa. Sebagian besar orang telah melupakannya, tetapi Pastor Claver tidak pernah mengeluh. Kemudian, tiba-tiba saja , pada saat wafatnya pada tanggal 8 September 1654, sekonyong-konyong seluruh kota terjaga. Mereka segera sadar bahwa mereka telah kehilangan seorang kudus. Sejak saat itu, ia tidak pernah lagi dilupakan. St. Petrus Claver dinyatakan kudus pada tahun 1888 oleh Paus Leo XIII.



B. Charles yang Baik
Pangeran Charles dari Flanders, dijuluki “yang Baik” oleh rakyat dalam kerajaannya. Mereka menyebutnya demikian karena mereka melihat memang demikianlah ia adanya. Charles adalah putera St. Canute, raja Denmark. Ia baru berusia lima tahun ketika ayahnya dibunuh pada tahun 1086. Ketika dewasa, Charles menikah dengan seorang wanita muda yang baik hati bernama Margareta. Charles seorang penguasa yang lembut serta adil. Rakyat percaya kepadanya dan kepada kebijaksanaannya. Charles berusaha untuk menjadi teladan dari apa yang diharapkannya dari rakyatnya.
Sebagian kaum bangsawan menuduh Charles tidak adil dengan memihak kaum miskin dan mengalahkan kepentingan kaum kaya. Charles menjawab dengan bijaksana, “Itu adalah karena aku sungguh menyadari kebutuhan-kebutuhan kaum miskin dan ketidakpedulian kaum kaya.” Kaum miskin dalam kerajaannya mendapatkan makanan setiap hari dari istananya.
Charles memerintahkan untuk menanam bahan makanan dengan berlimpah agar rakyat dapat makan kenyang dengan harga yang pantas. Beberapa pedagang kaya mencoba menimbun panenan agar dapat menjualnya dengan harga yang amat mahal. Charles yang Baik mendengar tentang hal itu serta memaksa mereka untuk segera menjualnya dengan harga yang pantas. Seorang ayah yang berpengaruh beserta anak-anaknya juga telah ditegur oleh Charles karena siasat licik mereka. Maka mereka kemudian bergabung dengan sekelompok kecil musuh yang ingin membunuh Charles.
Pangeran berjalan telanjang kaki setiap pagi untuk menghadiri Misa dan tiba lebih awal di gereja St. Donatian. Ia melakukannya dalam semangat silih. Ia rindu untuk memperdalam kehidupan rohaninya bersama Tuhan. Para musuhnya tahu bahwa ia pergi ke gereja dan tahu juga bahwa ia biasa berdoa sendirian sebelum Misa. Banyak orang yang mengasihi Charles mengkhawatirkan keselamatan dirinya. Mereka memperingatkannya bahwa perjalanannya ke St. Donation dapat menyebabkannya celaka. Charles menjawab, “Kita senantiasa berada di tengah-tengah bahaya, tetapi kita ini milik Tuhan.” Suatu pagi, sementara ia berdoa sendirian di depan patung Bunda Maria, para penyerangnya membunuh dia. Charles wafat sebagai martir pada tahun 1127.

B. Katharina Drexel
Beata Katharina dilahirkan di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat pada tanggal 26 November 1858. Ibunya meninggal dunia ketika ia masih bayi. Ayahnya menikah dengan seorang wanita mengagumkan bernama Emma. Emma merawat anak kandungnya sendiri, Louise. Ia juga merawat dengan kasih sayang kedua gadis kecil anak-anak Bapak Drexel dari perkawinannya terdahulu. Gadis-gadis kecil itu adalah Elizabet dan Katharina. Mereka menikmati masa kecil yang indah. Meskipun keluarga mereka kaya, mereka diajar untuk mengasihi sesama. Mereka diajar untuk terutama memberikan perhatian kepada mereka yang miskin. Dengan cara demikian mereka dapat menyatakan cinta mereka kepada Tuhan.
Ketika Katharina tumbuh dewasa, ia menjadi gadis Katolik yang aktif. Ia murah hati dengan waktu, tenaga serta uangnya. Ia sadar bahwa Gereja mempunyai banyak kebutuhan. Ia memberikan tenaga serta hartanya kepada mereka yang miskin, mereka yang terlupakan. Karya kasihnya bagi Yesus dilakukannya di antara orang-orang Afrika Amerika dan pribumi Amerika. Pada tahun 1891, Katharina membentuk suatu komunitas misionaris religius yang disebut Suster-suster dari Sakramen Mahakudus. Sejak itu Katharina dikenal sebagai Moeder Katharina.
Para biarawati dalam ordonya memusatkan hidup mereka pada Yesus dalam Ekaristi. Mereka membaktikan diri, dengan segala cinta serta bakat-bakat mereka, bagi orang-orang Afrika dan pribumi Amerika. Moeder Katharina memperoleh bagian warisan keluarganya. Ia mempergunakan harta yang diperolehnya itu bagi kepentingan karya cinta kasih yang mengagumkan. Ia beserta para biarawatinya membuka sekolah-sekolah, biara-biara serta gereja-gereja misionaris. Pada tahun 1925, mereka mendirikan Universitas Xaverius di New Orleans. Sepanjang hidupnya yang panjang, yang menghasilkan buah-buah melimpah, Moeder Katharina menghabiskan jutaan dollar harta keluarga Drexel bagi karya-karya menakjubkan yang ia serta para biarawatinya lakukan bagi mereka yang miskin. Ia percaya bahwa ia menemukan Yesus sungguh hadir dalam Ekaristi. Demikian juga, ia menemukan Yesus sungguh hadir dalam orang-orang Afrika dan pribumi Amerika yang dilayaninya dengan penuh kasih.
Moeder Katharina wafat pada tanggal 3 Maret 1955, pada usia sembilanpuluh tujuh tahun. Ia dinyatakan sebagai `beata’ oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 20 November 1988

St. Kasimirus
St. Kasimirus dilahirkan pada tahun 1458, sebagai putera Kasimirus IV, raja Polandia. Kasimirus adalah seorang dari tigabelas bersaudara. Dengan bantuan ibunya yang saleh dan pengabdian gurunya, Kasimir memperoleh pendidikan yang sangat baik.
Ketika usianya tigabelas tahun, Kasimirus mendapat kesempatan untuk menjadi raja di negara tetangga, Hungaria, tetapi ia menolak. Ia menghabiskan sisa hidupnya dengan berusaha mengamalkan nilai-nilai Kristiani. Ia berusaha selalu penuh sukacita dan bersahabat dengan semua orang. Di tengah-tengah kesibukannya, Kasimirus melakukan usaha untuk membantu dirinya sendiri bertumbuh secara rohani. Ia sering kali berpuasa dan tidur di lantai kamarnya sebagai silih. Ia berdoa setiap hari, kadang-kadang bahkan pada waktu tengah malam. Ia suka merenungkan dan berdoa tentang sengsara Yesus. Ia tahu bahwa hal itu adalah cara yang baik untuk memahami kasih Tuhan. Kasimirus juga mengasihi Santa Perawan Maria dengan cinta yang istimewa. Untuk menghormatinya, seringkali ia mendaraskan puji-pujian yang indah. Nama puji-pujian tersebut ialah “Setiap hari, Setiap hari, Bernyanyilah bagi Maria.” Tulisan tangannya mengenai puji-pujian tersebut kelak dikuburkan bersamanya.
Kesehatan Kasimirus tidak pernah prima, namun demikian ia seorang yang pemberani serta kuat pendiriannya. Ia senantiasa melakukan apa yang ia anggap benar. Kadang-kadang ia bahkan memberikan nasehat kepada ayahnya, sang raja, agar memerintah rakyatnya dengan adil. Ia selalu melakukan hal ini dengan rasa hormat yang besar kepada ayahnya sehingga ayahnya mau mendengarkan nasehatnya.
St. Kasimirus amat mencintai serta menghormati kemurnian. Orangtuanya mendapatkan seorang gadis yang cantik serta saleh untuk dinikahkan dengannya. Tetapi, Kasimirus lebih memilih untuk mempersembahkan hatinya kepada Tuhan saja. Ketika sedang berada di Lithuania untuk suatu tugas kenegaraan, Kasimirus terserang penyakit tuberculosis. Ia wafat dalam usia duapuluh enam tahun. Kasimirus dinyatakan kudus oleh Paus Leo X pada tahun 1521.

St. Yohanes Yosef dari Salib
St. Yohanes Yosef dari Salib dilahirkan di Italia selatan pada tahun 1654, pada Hari Raya Santa Perawan Maria diangkat ke Surga. Ia seorang pemuda bangsawan, tetapi berpakaian seperti layaknya seorang miskin. Ia melakukan hal tersebut sebab ia ingin menjadi miskin sama seperti Yesus.
Pada usia enambelas tahun, Yohanes Yosef bergabung dengan Ordo Fransiskan. Ia sungguh rindu untuk hidup penuh pengorbanan seperti Yesus. Oleh karenanya, dengan senang hati ia melakukan banyak mati raga. Ia tidur hanya tiga jam saja setiap malam dan menyantap makanan yang sangat sederhana.
Yohanes kemudian ditahbiskan sebagai imam. Pastor Yohanes Yosef diangkat menjadi superior di Santa Lusia di Naples di mana ia menghabiskan sebagian besar masa hidupnya yang panjang. Ia selalu mendesak untuk melakukan pekerjaan yang paling berat. Dengan sukacita ia memilih untuk melakukan tugas-tugas yang tidak dikehendaki oleh yang lain.
St. Yohanes Yosef mempunyai pembawaan yang penuh belas kasih. Namun demikian, ia tidak ingin menjadi pusat perhatian. Sebaliknya, bukannya menunggu orang lain datang untuk meminta pertolongannya, ia akan terlebih dahulu datang kepada mereka. Semua imam dan frater menganggapnya sebagai seorang imam yang penuh belas kasih. Yohanes juga amat mengasihi Bunda Maria dan berusaha membantu orang-orang lain untuk mengasihi Maria.
Imam yang kudus ini demikian mengasihi Tuhan hingga meskipun ia sedang sakit, ia akan terus bekerja. St. Yohanes Yosef wafat pada tanggal 6 Maret 1734 dalam usia delapanpuluh tahun. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Pius VIII pada tahun 1839.

St. Perpetua dan St. Felisitas
Perpetua dan Felisitas hidup di Kartago, Afrika Utara, pada abad ketiga. Pada masa itu terjadi penganiayaan yang hebat atas orang-orang Kristen oleh Kaisar Septimus Severus.
Perpetua yang berusia duapuluh dua tahun adalah puteri seorang bangsawan kaya. Semenjak kecilnya ia selalu mendapatkan apa saja yang ia inginkan. Tetapi ia sadar bahwa ia mengasihi Yesus dan iman Kristianinya jauh lebih berharga dari apa pun yang dapat ditawarkan oleh dunia. Oleh karena imannya itulah ia menjadi seorang tahanan yang siap menghadapi hukuman mati.
Ayah Perpetua adalah seorang kafir. Ia melakukan segala daya upaya untuk membujuk puterinya agar mengingkari iman Kristianinya. Ia berusaha meyakinkan Perpetua akan betapa pentingnya menyelamatkan nyawanya. Tetapi, Perpetua tetap pada pendiriannya, meskipun ia tahu bahwa ia harus meninggalkan suami serta bayinya.
Felisitas, pelayan Perpetua yang Kristen, adalah seorang budak. Ia dan Perpetua bersahabat. Mereka saling berbagi iman dan cinta akan Yesus. Felisitas juga rela kehilangan nyawanya bagi Yesus dan bagi imannya. Oleh sebab itu ia juga menjadi seorang tahanan yang siap menghadapi hukuman mati.
Felisitas adalah seorang isteri. Ketika sedang di penjara karena imannya, ia juga menjadi seorang ibu muda pula. Bayinya diangkat anak oleh seorang wanita Kristen yang baik. Felisitas amat bahagia karena sekarang ia dapat pergi sebagai martir.
Bergandengan tangan, Perpetua dan Felisitas menghadapi kemartiran mereka dengan gagah berani. Mereka dijadikan mangsa binatang-binatang buas dan kemudian dipenggal kepalanya. Mereka berdua wafat sekitar tahun 202.

St. Yohanes a Deo
St. Yohanes dilahirkan di Portugal pada tanggal 8 Maret 1495. Orangtuanya miskin, tetapi mereka adalah orang Kristen yang taat.
Yohanes seorang pemuda yang tidak bisa tenang. Sebentar ia menjadi seorang gembala, sebentar menjadi tentara, dan kemudian menjadi penjaga toko. Ketika dewasa, ia bukanlah seorang yang religius. Ia dan teman-temannya tidak menyadari kehadiran Tuhan. Ketika usianya empatpuluh tahun, Yohanes mulai merasa hampa. Ia merasa sedih akan hidupnya yang telah ia sia-siakan. Di gereja, ia mendengarkan suatu khotbah yang disampaikan oleh seorang misionaris yang kudus, Yohanes dari Avila. Misionaris tersebut memberikan pengaruh yang kuat kepadanya. Yohanes mulai menangis meraung-raung. Hari-hari selanjutnya, St. Yohanes dari Avila membantu Yohanes untuk memulai hidupnya kembali dengan harapan dan keberanian.
Yohanes mengubah hidupnya secara drastis. Ia berdoa serta melakukan mati raga setiap hari. Dikatakan bahwa seorang uskup memberinya nama a Deo (= dari Tuhan) karena ia secara total mengubah hidupnya yang dahulu hanya mementingkan diri sendiri dan kini sepenuhnya menjadi manusia baru yang “dari Tuhan”. Perlahan-lahan Yohanes a Deo menyadari betapa hidup rakyat penuh dengan kemiskinan serta penderitaan. Ia mulai mempergunakan waktunya untuk merawat mereka yang sakit di rumah-rumah sakit dan di tempat-tempat penampungan. Kemudian ia menjadi sadar akan betapa banyaknya orang-orang yang terlalu miskin untuk dapat memperoleh perawatan di rumah sakit. Siapakah yang mau merawat mereka? Yohanes bertekad, demi cintanya kepada Tuhan, ia mau melakukannya.
Ketika usianya empatpuluh lima tahun, Yohanes mendapatkan sebuah rumah untuk merawat para fakir miskin yang sakit. Rumah itu kemudian menjadi sebuah rumah sakit kecil di mana setiap orang yang membutuhkan pertolongan akan diterima dengan baik. Orang-orang yang datang untuk membantu Yohanes mulai membentuk suatu ordo religius untuk mengabdikan diri bagi mereka yang miskin. Ordo mereka disebut Para Broeder St. Yohanes a Deo.
Sebagian orang tentulah bertanya-tanya apakah Yohanes sungguh kudus seperti anggapan orang. Suatu ketika, seorang bangsawan menyamar sebagai seorang pengemis. Ia mengetuk pintu Yohanes untuk meminta-minta. Yohanes dengan suka hati memberikan semua yang ia miliki, yang jumlahnya hanya beberapa dolar saja. Bangsawan tersebut tidak membuka rahasianya saat itu, melainkan segera pergi dengan kesan mendalam. Keesokan harinya, seorang pesuruh tiba di depan pintu Yohanes dengan sepucuk surat penjelasan beserta uang dermanya yang dikembalikan. Di samping itu, sang bangsawan menyertakan 150 keping uang emas. Ia juga mengirimkan roti, daging serta telur yang dikirimkan setiap pagi ke rumah sakit cukup untuk memberi makan segenap pasien dan para pekerja rumah sakit.
Setelah sepuluh tahun bekerja keras bagi rumah sakitnya, St. Yohanes sendiri akhirnya jatuh sakit. Ia wafat pada hari ulang tahunnya pada tahun 1550. Yohanes a Deo dinyatakan kudus oleh Beato Paus Inosensius XI pada tahun 1690.

St. Fina (Seraphina)
Fina dilahirkan di sebuah kota kecil di Italia bernama San Geminiano. Pada mulanya, orangtuanya termasuk golongan berada, tetapi kemudian mereka jatuh miskin. Seraphina, atau Fina, begitu ia biasa dipanggil, adalah puteri mereka. Fina seorang gadis manis yang lincah. Ia seorang yang murah hati. Setiap hari Fina menyisihkan sebagian makanannya untuk diberikan kepada seseorang di kotanya yang lebih miskin darinya. Siang hari ia menjahit serta memintal untuk membantu keluarganya membayar hutang-hutang mereka. Malam hari, ia biasa mempergunakan waktunya untuk berdoa lama kepada Yesus dan Maria.
Ketika masih muda usianya, ayahnya meninggal dunia. Fina terserang suatu penyakit yang menjadikannya cacat serta lumpuh. Ia hampir tidak dapat bergerak sama sekali dan karenanya Fina harus tergolek di atas papan kayu selama enam tahun lamanya. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya. Satu-satunya cara bagi Fina agar ia dapat tabah menghadapi penderitaannya adalah dengan merenungkan sengsara Yesus sementara Ia dipaku pada kayu salib. “Aku mempersatukan seluruh penderitaanku dengan penderitaan-Mu, ya Yesus,” demikian ia berbisik. Kadang kala, ketika rasa sakit menyerangnya dengan dahsyat, ia akan berkata, “Ini bukanlah luka-lukaku, tetapi luka-luka-Mu, ya Kristus, yang menyakiti aku.” Fina ditinggalkan seorang diri berjam-jam lamanya setiap hari karena ibunya harus pergi untuk bekerja atau untuk meminta-minta. Para tetangga mengetahui penderitaan Fina, tetapi luka-lukanya mengeluarkan bau amat busuk sehingga mereka memiliki berbagai macam alasan untuk tidak menjenguknya.
Tak disangka, ibunya pun meninggal dunia. Sekarang Fina sebatang kara. Hanya seorang tetangga, yaitu sahabat baiknya yang bernama Beldia, datang untuk merawatnya. Beldia berusaha memberikan perhatian kepada Fina sebanyak yang ia mampu, tetapi pada umumnya Fina ditinggalkan seorang diri. Sudah jelas nyata bahwa ia tidak akan dapat hidup lebih lama lagi. Namun demikian, Fina tidak mau patah semangat. Seseorang menceritakan kepadanya tentang penderitaan hebat yang harus ditanggung oleh St. Gregorius Agung. Fina kemudian berdevosi kepadanya. Konon, suatu hari, sementara ia mengerang kesakitan, St. Gregorius menampakkan diri kepadanya. Dengan lembut ia berkata kepada Fina, “Puteriku, pada hari pestaku Tuhan akan memberimu istirahat.” Menurut penanggalan liturgi lama, pesta St. Gregorius Agung dirayakan pada tanggal 12 Maret karena ia wafat pada tanggal tersebut pada tahun 604. Jadi, pada tanggal 12 Maret 1253, St. Gregorius datang untuk membawa Fina pulang ke surga.

St. Eufrasia
St. Eufrasia dilahirkan pada abad kelima dalam keluarga Kristiani yang amat saleh. Ayahnya, seorang kerabat kaisar, meninggal dunia ketika ia baru berusia satu tahun. Kaisar menjadi wali bagi dia dan ibunya. Ketika Eufrasia berusia tujuh tahun, ibunya membawanya ke Mesir. Di sana mereka tinggal di sebuah rumah yang besar dekat sebuah biara wanita. Eufrasia terpesona dengan cara hidup para biarawati. Ia memohon kepada ibunya agar diijinkan melayani Tuhan dalam biara di mana para biarawati kudus itu tinggal. Ia masih seorang gadis kecil, tetapi ia tidak mau mengubah atau pun melupakan niatnya itu. Tak lama kemudian, ibunya membawa Eufrasia ke biara serta mempercayakan pemeliharaannya kepada pemimpin biara.
Tahun-tahun berlalu. Ketika ibunya meninggal dunia, kaisar mengingatkan Eufrasia bahwa orangtuanya telah mengikat perjanjian pernikahan baginya dengan seorang majelis muda yang kaya. Tentu saja Eufrasia ingin hanya menjadi milik Yesus saja. Jadi, ia menulis sepucuk surat penuh hormat kepada kaisar. Di dalamnya ia menulis, “Saya ini milik Yesus, dan karenanya saya tidak dapat memberikan diri saya kepada yang lain. Satu-satunya kerinduan saya adalah bahwa dunia sepenuhnya melupakan saya. Dengan penuh hormat saya mohon kepada Yang Mulia untuk mengambil alih seluruh harta warisan keluarga saya serta membagi-bagikannya kepada mereka yang miskin. Saya mohon Yang Mulia membebaskan semua budak yang ada dalam keluarga saya. Saya juga mohon agar Baginda menghapuskan semua hutang orang kepada keluarga saya.” Kaisar sangat terharu oleh surat yang begitu indah itu hingga ia membacakannya di hadapan seluruh majelis. Kemudian ia mengabulkan semua permohonan Eufrasia.
Eufrasia menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang biarawati. Ia tidak pernah menyesal bahwa Tuhan telah memanggilnya untuk menjadi seorang religius. Eufrasia wafat pada tahun 420.

St. Matilda
St. Matilda dilahirkan sekitar tahun 895, sebagai putri dari seorang bangsawan Jerman. Ketika masih muda usianya, orangtuanya telah mengatur pernikahan baginya dengan seorang bangsawan bernama Henry. Segera setelah mereka menikah, Henry menjadi raja Jerman. Sebagai ratu, Matilda hidup sederhana dengan meluangkan banyak waktu untuk berdoa. Setiap orang yang melihatnya akan melihat bagaimana lemah lembut serta baik hatinya ia. Ia berperan lebih sebagai ibu daripada sebagai ratu. Ratu suka mengunjungi serta menghibur mereka yang sakit. Ia menolong orang-orang di penjara. Matilda tidak mau memanjakan dirinya oleh karena kedudukannya, melainkan ia berusaha untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan. Raja Henry menyadari bahwa isterinya adalah seorang yang luar biasa. Berulangkali dikatakan raja kepada isterinya bahwa ia menjadi orang yang lebih baik serta menjadi raja yang lebih baik oleh karena Matilda adalah isterinya. Walaupun perkawinan mereka direncanakan oleh orangtua mereka, namun Henry dan Matilda saling mengasihi satu sama lain.
Matilda diberi kebebasan mempergunakan kekayaan kerajaan untuk karya belas kasihnya dan Henry tidak pernah mempertanyakannya. Sebaliknya, raja menjadi lebih sadar akan kebutuhan rakyatnya. Raja sadar bahwa dengan kedudukannya, ia mempunyai kuasa untuk meringankan beban penderitaan rakyat. Pasangan tersebut hidup berbahagia selama duapuluh tiga tahun. Kemudian Raja Henry meninggal dunia secara tiba-tiba pada tahun 936. Ratu merasa teramat sedih atas kepergian suaminya. Ia kemudian memutuskan untuk hidup bagi Tuhan saja.
Demikianlah ratu meminta imam untuk mempersembahkan Misa bagi keselamatan jiwa Raja Henry. Lalu ratu memberikan seluruh perhiasan yang dikenakannya kepada imam. Dengan berbuat demikian, ia hendak menunjukkan tekadnya untuk sejak saat itu meninggalkan segala urusan duniawi.
Meskipun ia seorang kudus, Matilda juga melakukan suatu kesalahan besar. Ia lebih berpihak kepada puteranya, Henry, daripada puteranya yang lain, Otto, dalam perjuangan mereka memperebutkan tahta kerajaan. Ia menyesal telah melakukan kesalahan seperti itu. Ia berusaha memperbaiki kesalahannya dengan menerima tanpa berkeluh-kesah segala penderitaan yang harus ditanggungnya. Setelah tahun-tahun dilewatinya dengan melakukan karya belas kasih dan silih, St. Matilda wafat dengan tenang pada tahun 968. Ia dimakamkan disamping saminya.

St. Patrick
St. Patrick dilahirkan pada abad ke lima di Inggris. Orangtuanya adalah orang Romawi. Ketika Patrick berusia enambelas tahun, ia diculik oleh para bajak laut dan dibawa ke Irlandia. Di sana, ia dijual sebagai budak belian. Majikannya menyuruh Patrick untuk menjaga kawanan ternaknya di pegunungan. Patrick hanya mendapatkan sedikit makanan dan pakaian. Namun demikian, ia memelihara kawanan ternaknya itu dengan baik, dalam hujan, badai maupun salju. Patrick merasa amat kesepian seorang diri di pegunungan, seringkali ia datang untuk berbicara kepada Yesus dan Bunda Maria dalam doa. Hidup terasa berat dan tidak adil baginya. Semakin lama semakin bertambah kuatlah kepercayaan Patrick kepada Tuhan.
Kemudian, ketika ia berhasil melarikan diri dari Irlandia, Patrick belajar untuk menjadi seorang imam. Ia senantiasa merasa bahwa ia harus kembali ke Irlandia untuk membawa bangsa kafir itu kepada Kristus. Pada akhirnya, keinginannya itu terkabul. Ia menjadi imam dan kemudian diangkat menjadi uskup. Waktu itu, yaitu ketika St. Selestin I memangku jabatan paus, Patrick kembali ke Irlandia. Betapa bahagianya Patrick dapat mewartakan Kabar Gembira Allah yang benar kepada orang-orang yang dahulu memperlakukannya sebagai budak.
Sejak dari awal, Patrick harus mengalami banyak penderitaan. Sanak saudara serta para temannya menghendaki agar ia berhenti mewartakan Injil sebelum bangsa kafir Irlandia membunuhnya. Tetapi, orang kudus itu tetap saja berkhotbah tentang Yesus. Ia berkeliling dari satu desa ke desa yang lain. Ia jarang beristirahat dan melakukan banyak mati raga demi orang-orang yang amat dikasihinya itu. Sebelum ia wafat, seluruh bangsa Irlandia telah menjadi orang-orang Kristen.
Meskipun ia berhasil dengan gemilang, St. Patrick tidak pernah merasa bangga atau pun sombong. Ia menyebut dirinya sendiri sebagai pendosa dan menyampaikan segala puji-pujian yang diterimanya kepada Tuhan. Patrick wafat pada tahun 461.

St. Sirilus dari Yerusalem
Sirilus dilahirkan sekitar tahun 315 pada saat dimulainya suatu masa baru bagi umat Kristiani. Sebelum masa itu, Gereja mengalami penganiayaan hebat oleh para kaisar. Ribuan umat Kristiani wafat sebagai martir. Pada tahun 315, Kaisar Konstantin mengakui agama Kristen sebagai agama resmi. Hal tersebut memang mengagumkan, tetapi bukanlah akhir dari segala masalah. Sesungguhnya, tahun-tahun setelah Dekrit 315 itu, umat Kristiani menghadapi suatu kesulitan baru. Terjadi kebimbangan tentang apa yang dipercayai serta tidak dipercayai umat Kristiani. Muncul berbagai aliran ajaran sesat yang disebut “bidaah”. Banyak imam serta uskup menjadi pembela ajaran-ajaran Gereja yang gagah berani. Salah seorang di antara mereka adalah Uskup Sirilus dari Yerusalem.
Ketika St. Maximus – uskup Yerusalem – wafat, Sirilus dipilih untuk menggantikan kedudukannya. Sirilus kemudian menjadi uskup Yerusalem selama tigapuluh lima tahun. Enambelas tahun dari masa pengabdiannya itu dilewatkannya dalam pengasingan serta pembuangan. Tiga kali ia diusir dari kota oleh orang-orang berpengaruh yang tidak menghendaki kehadirannya. Mereka berusaha memaksa Sirilus untuk menerima ajaran-ajaran sesat tentang Yesus dan Gereja. Tetapi Sirilus pantang menyerah.
Masa pemerintahan Kaisar Yulianus – seorang kaisar yang ingkar terhadap agama – dimulai pada tahun 361. Yulianus bermaksud hendak membangun kembali Bait Allah di Yerusalem yang terkenal itu. Ia punya suatu tujuan pasti: hendak membuktikan bahwa Yesus salah ketika Ia menyatakan bahwa Bait Allah di Yerusalem tidak akan dibangun kembali. Ia bertekad untuk membuktikannya. Maka ia menghabiskan banyak sekali uang serta mengirimkan segala macam bahan bagi pembangunan Bait Allah yang baru. Banyak orang mendukungnya dengan menyerahkan barang-barang perhiasan serta emas dan perak. Namun demikian, St. Sirilus menghadapi situasi yang sulit tersebut dengan tenang. Ia yakin bahwa Bait Allah tidak akan dapat dibangun kembali oleh sebab Yesus, yang adalah Allah, telah mengatakannya. Bapa uskup melihat seluruh bahan-bahan bangunan tersebut dan berkata, “Aku tahu bahwa usaha ini pasti akan gagal.” Dan memanglah demikian, pertama-tama badai, kemudian gempa bumi, dan yang terakhir kebakaran, yang akhirnya menghentikan usaha kaisar. Pada akhirnya kaisar membiarkan pekerjaan tersebut terbengkalai.
St. Sirilus wafat pada tahun 386 ketika usianya sekitar tujuhpuluh tahun. Uskup yang lemah lembut serta baik hati ini harus mengalami masa-masa penuh pergolakan serta penderitaan selama hidupnya. Tetapi, ia tidak pernah kehilangan semangat oleh karena semua itu demi Yesus. Ia senantiasa setia kepada Kristus sepanjang hidupnya. Sirilus seorang yang gagah berani dalam mengajarkan kebenaran tentang Yesus dan Gereja-Nya.



St. Yusuf
St. Yusuf adalah seorang santo besar. Ia adalah bapa asuh Yesus dan suami Santa Perawan Maria. Yusuf memperoleh hak istimewa untuk merawat Putera Allah sendiri, Yesus, serta Bunda-Nya, Maria. Yusuf seorang yang miskin sepanjang hidupnya. Ia harus bekerja keras dalam bengkel tukang kayunya, tetapi ia tidak berkeberatan. Ia bahagia dapat bekerja bagi keluarga kecilnya. Ia amat mengasihi Yesus dan Maria.
Apa pun yang Tuhan ingin ia lakukan, St. Yusuf segera melaksanakannya, tak peduli betapa sulitnya hal tersebut. Ia seorang yang rendah hati serta tulus hati, lemah lembut serta bijaksana. Yesus dan Maria mengasihinya serta taat kepadanya sebab Tuhan telah menjadikannya kepala rumah tangga mereka. Betapa bahagianya St. Yusuf dapat hidup bersama dengan Putera Allah sendiri. Yesus taat kepadanya, membantunya serta mengasihinya. Kita biasa memohon bantuan doa St. Yusuf sebagai pelindung mereka yang sedang menghadapi ajal, sebab kita percaya bahwa St. Yusuf meninggal dunia dengan damai dalam pelukan Yesus dan Bunda Maria.
St. Theresia dari Avila memilih St. Yusuf sebagai pelindung ordonya, ordo para biarawati Karmelit. Ia menaruh pengharapan besar dalam memohon bantuan doa St. Yusuf. “Setiap kali aku meminta sesuatu kepada St. Yusuf,” demikian katanya, “ia selalu mendapatkannya untukku.”
Paus Pius IX menyatakan St. Yusuf sebagai pelindung Gereja Universal.

St. Cuthbert
St. Cuthbert hidup di Inggris pada abad ketujuh. Ia seorang bocah penggembala miskin yang sangat suka bermain bersama teman-temannya. Ia seorang yang ulung dalam bermain. Salah seorang temannya mencacinya oleh sebab ia terlalu amat suka bermain. Sesungguhnya, teman bermainnya itu mengucapkan kata-kata yang tampaknya bukan berasal dari dirinya sendiri. Katanya, “Cuthbert, bagaimana mungkin engkau menghabiskan waktumu dengan bermain-main saja, padahal engkau telah dipilih untuk menjadi seorang imam dan seorang uskup?” Cuthbert amat terperanjat, dan juga amat terkesan. Ia bertanya-tanya apakah sungguh kelak ia akan menjadi seorang imam dan seorang uskup.
Pada bulan Agustus tahun 651, Cuthbert yang saat itu berusia limabelas tahun memperoleh suatu pengalaman rohani. Ia melihat langit yang hitam pekat. Tiba-tiba, suatu sorotan cahaya yang amat terang melintasi langit. Dalam sorotan cahaya itu tampaklah malaikat-malaikat membawa sebuah bola api ke atas langit. Beberapa waktu kemudian, Cuthbert mengetahui bahwa pada saat yang sama dengan penampakan tersebut, Uskup St. Aiden meninggal dunia. Cuthbert tidak tahu bagaimana semua peristiwa itu mempengaruhi dirinya, tetapi ia telah membulatkan tekadnya untuk memenuhi panggilannya dan masuk biara. Cuthbert kemudian menjadi seorang imam.
St. Cuthbert berkeliling dari desa ke desa, dari rumah ke rumah, dengan menunggang kuda atau pun dengan berjalan kaki. Ia mengunjungi umat untuk membantu mereka secara rohani. Sungguh menguntungkan, Pastor Cuthbert dapat berbicara dalam dialek para petani sebab ia sendiri dulunya adalah seorang penggembala domba yang miskin. St. Cuthbert berbuat kebajikan di mana saja dan membawa banyak orang kepada Tuhan. Ia seorang yang periang serta baik hati. Orang tertarik kepadanya dan tak seorang pun segan kepadanya. Ia seorang yang banyak berdoa, seorang imam yang kudus.
Ketika Cuthbert telah ditahbiskan sebagai uskup, ia tetap bekerja keras seperti sebelumnya untuk membantu umatnya. Ia mengunjungi mereka, tak peduli betapa sukar perjalanannya melewati jalan-jalan yang sulit atau pun betapa buruk cuacanya. Sementara ia terbaring menghadapi ajal, Cuthbert mendesak para imamnya untuk hidup dalam damai serta penuh belas kasihan kepada semua orang. Ia wafat dalam damai pada tahun 687.

St. Deogratias
Kota Kartago di Afrika ditaklukkan oleh pasukan barbar pada tahun 439. Penakluk mereka adalah kaum Vandal. Kaum Vandal menangkap uskup dan para imam serta menempatkan mereka dalam sebuah rakit tua yang besar, lalu menghanyutkannya ke lautan. Sungguh ajaib, mereka berhasil tiba di pelabuhan Naples dan diselamatkan. Tetapi, kota yang mereka tinggalkan tidak lagi memiliki seorang uskup selama empatbelas tahun lamanya. Kaisar Valentinian di Roma meminta kepada Genseric, pemimpin kaum Vandal, untuk mengijinkan seorang uskup lain ditahbiskan bagi Kartago. Genseric setuju dan seorang imam muda dari kota itu dipilih. Imam tersebut disegani oleh para penakluk serta dicintai oleh umat Kristiani. Namanya dalam bahasa Latin adalah “Deogratias,” yang berarti “syukur kepada Allah.” Uskup Deogratias berkarya demi iman serta kesejahteraan seluruh penduduk Kartago.
Kemudian, Genseric menjarah kota Roma. Ia kembali ke Afrika dengan membawa ratusan budak belian, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Keluarga-keluarga tersebut ditawan dan dibagi-bagikan di antara kaum Vandal dan Moor. Genseric sama sekali tidak mempedulikan ikatan keluarga. Anggota-anggota keluarga diperjualbelikan secara perorangan serta dipisahkan dari orang-orang yang mereka kasihi.
Uskup Deogratias mendengar tentang tragedi tersebut. Ketika kapal-kapal yang mengangkut para budak tiba di Kartago, ia membeli budak-budak tersebut sebanyak yang ia mampu. Ia memperoleh uangnya dengan menjual peralatan, jubah-jubah serta hiasan-hiasan Gereja. Ia dapat membebaskan banyak keluarga. Ia mendapatkan tempat-tempat penampungan bagi mereka. Ketika rumah-rumah itu telah penuh terisi, ia mempergunakan dua gereja besar untuk menampung orang-orang yang diselamatkannya itu. Uskup membeli selimut serta segala kebutuhan lainnya agar mereka dapat merasa nyaman di lingkungan mereka yang baru.
Uskup Deogratias wafat hanya tiga tahun setelah ia menjabat sebagai uskup Kartago. Tenaganya sepenuhnya terkuras habis demi pengabdian serta pelayanan belas kasihnya. Orang-orang yang ia selamatkan tidak akan pernah melupakannya. Ia wafat pada tahun 457.

B. Didakus Yoseph
Beato Didakus Yoseph dilahirkan pada tanggal 29 Maret tahun 1743 di Cadiz, Spanyol. Ia dibaptis dengan nama Yoseph Fransiskus. Kedua orangtuanya taat beragama serta saleh. Mereka amat senang apabila putera kecil mereka membangun sebuah altar serta menghiasinya. Yoseph kecil akan berlutut dan berdoa kepada Yesus, Bunda Maria dan St. Yusuf.
Ketika Yoseph sudah cukup besar, ia belajar menjadi pelayan altar di gereja Fransiskan Kapusin dekat rumahnya. Yoseph belajar mencintai Misa. Ia biasa bangun pagi-pagi benar agar dapat tiba di gereja setiap pagi menunggu pintu-pintu gereja dibuka. Tak pernah sekali pun ia absen. Salah seorang dari para imam atau broeder Kapusin memberinya sebuah buku tentang kisah hidup para santo Kapusin. Yoseph membacanya dan membacanya lagi. Yoseph membaca setiap cerita dengan seksama. Ia mulai mencintai para kudus yang miskin serta bersahaja seperti Yesus. Tibalah harinya ketika ia mohon agar dapat bergabung dalam Ordo Saudara-Saudara Dina Kapusin (OFMCap). Ia diterima dan pergi ke Seville, Spanyol untuk novisiat (masa percobaan sebagai latihan rohani sebelum mengucapkan kaul biara). Ia memulai hidup baru dengan nama yang baru pula, Frater Didakus.
Setalah melewati tahun-tahun persiapan, Frater Didakus ditahbiskan sebagai imam. Ia diutus untuk mewartakan Injil Yesus. Ia sangat senang akan tugas ini. Homili-homilinya sangatlah jelas serta penuh kasih sehingga orang senang mendengarnya. Mereka bahkan membawa teman-teman mereka untuk mendengarkan khotbahnya juga. Segera saja, gereja biasa menjadi terlalu kecil bagi orang banyak itu. Jika Pastor Didakus berkhotbah, pewartaan tersebut perlu diadakan di lapangan terbuka, biasanya di alun-alun kota atau di pinggir jalan. Pastor Didakus amat senang berkhotbah tentang Tritunggal Mahakudus. Ia juga selalu siap sedia mendengarkan pengakuan dosa. Ia senang apabila umat datang untuk menerima Sakramen Rekonsiliasi. Apabila waktunya luang, Pastor Didakus mengunjungi penjara-penjara atau rumah-rumah sakit. Ia juga mengunjungi panti-panti jompo. Pastor Didakus wafat pada tahun 1801 dan dinyatakan sebagai “beato” oleh Paus Leo XIII pada tahun 1894.

St. Ludger
St. Ludger dilahirkan di Eropa utara pada abad kedelapan. Setelah belajar dengan tekun selama beberapa tahun, ia ditahbiskan sebagai imam. Ludger melakukan perjalanan hingga jauh untuk mewartakan Kabar Gembira. Ia amat gembira dapat membagikan apa yang telah ia ketahui tentang Tuhan kepada siapa saja yang mendengarkannya. Orang-orang kafir bertobat dan umat Kristiani memulai cara hidup yang jauh lebih baik. St. Ludger mendirikan banyak gereja serta biara.
Kemudian sekonyong-konyong bangsa barbar yang disebut Saxon menyerang negerinya serta menghalau semua imam. Tampaknya segala kerja keras St. Ludger akan menjadi sia-sia. Tetapi, ia pantang menyerah. Pertama-tama St. Ludger mencari tempat yang aman bagi para muridnya. Kemudian ia pergi ke Roma untuk memohon petunjuk dari Bapa Suci mengenai apa yang harus ia lakukan.
Selama lebih dari tiga tahun Ludger tinggal di sebuah biara Benediktin sebagai seorang rahib yang baik serta kudus. Namun demikian, ia tidak melupakan para murid di negerinya. Begitu ia dapat kembali ke tanah airnya, Ludger segera pulang serta melanjutkan karyanya. Ia bekerja tanpa kenal lelah dan mempertobatkan banyak orang Saxon.
Setelah ditahbiskan menjadi uskup, terlebih lagi Ludger memberikan teladan bagi umatnya dengan kelemah-lembutan serta belas kasihannya. Suatu kali, orang-orang yang iri hati kepadanya menyampaikan hal-hal yang buruk mengenai Ludger kepada Raja Charlemagne. Raja memerintahkan kepada Ludger untuk datang ke istana guna membela diri. Dengan taat Ludger datang ke istana. Keesokan harinya, ketika raja memanggilnya, Ludger mengatakan bahwa ia akan datang segera setelah ia menyelesaikan doa-doanya. Pada mulanya Raja Charlemagne amat marah. Tetapi, St. Ludger menjelaskan kepadanya bahwa meskipun ia mempunyai rasa hormat yang besar kepada raja, ia tahu bahwa Tuhan harus dinomor-satukan. “Baginda tidak akan marah kepada saya,” katanya, “sebab Baginda sendiri yang mengatakan kepada saya untuk selalu menomor-satukan Tuhan.” Mendengar jawaban yang bijaksana itu, raja menjadi sadar bahwa Ludger adalah seorang yang amat kudus. Sejak saat itu, Charlemagne mengagumi serta amat mengasihinya. St. Ludger wafat pada Hari Minggu Sengsara pada tahun 809. Ia melaksanakan segala tugas dan kewajibannya untuk melayani Tuhan, bahkan pada hari wafatnya.

St. Yohanes dari Mesir
St. Yohanes dari Mesir adalah seorang yang merindukan untuk hidup sendiri bersama Tuhan saja, yang kelak menjadi salah seorang dari para pertapa terkenal di masanya. St. Yohanes dari Mesir dilahirkan sekitar tahun 304. Tidak banyak yang diketahui tentang masa mudanya, kecuali bahwa ia belajar ketrampilan seorang tukang kayu. Ketika usianya duapuluh lima tahun, Yohanes memutuskan untuk meninggalkan segala urusan duniawi dan mempergunakan seluruh hidupnya untuk berdoa serta bermatiraga demi Tuhan. Ia kemudian menjadi salah seorang dari para pertapa padang gurun yang terkenal pada masa itu.
Selama sepuluh tahun ia menjadi murid seorang pertapa tua yang sudah banyak makan asam garam kehidupan. Pertapa kudus tersebut mengajarkan kehidupan rohani kepada Yohanes. St. Yohanes menyebutnya sebagai “bapa rohani”-nya. Setelah bapa rohaninya wafat, St. Yohanes melewatkan empat atau lima tahun dalam berbagai biara. Ia ingin lebih mengenal kehidupan doa serta gaya hidup para rahib. Pada akhirnya, Yohanes menemukan sebuah gua yang terletak di atas batu karang yang tinggi. Sekelilingnya tenang serta terlindung dari terik matahari dan angin padang gurun. Ia membagi guanya menjadi tiga bagian: ruang tamu, ruang kerja dan ruang doa. Penduduk daerah tersebut membawakan makanan serta segala keperluan lain untuknya. Banyak juga orang yang datang untuk meminta nasehatnya tentang hal-hal yang penting. Bahkan Kaisar Theodosius I dua kali meminta nasehatnya, yaitu pada tahun 388 dan pada tahun 392. Para kudus terkenal seperti St. Agustinus dan St. Hieronimus menulis tentang kekudusan St. Yohanes. Begitu banyak orang datang mengunjunginya, sebagian di antara mereka tinggal untuk menjadi murid-muridnya. Mereka membangun sebuah pondok. Mereka merawat pondok tersebut dengan baik agar lebih banyak orang dapat datang serta memperoleh manfaat dari kebijaksanaan St. Yohanes. St. Yohanes dapat mengetahui kejadian-kejadian di masa mendatang. Ia dapat membaca jiwa-jiwa mereka yang datang kepadanya. Ia dapat membaca pikiran mereka. Jika ia mengoleskan minyak krisma kepada mereka yang menderita suatu penyakit jasmani, seringkali mereka menjadi sembuh.
Meskipun Yohanes menjadi seorang yang terkenal, ia tetap rendah hati dan tidak mau hidup enak-enakan. Tidak pernah ia makan sebelum matahari terbenam. Jika ia makan, makanannya hanyalah buah-buahan kering serta sayuran. Ia tidak pernah makan daging atau makanan yang dimasak atau pun makanan yang hangat. St. Yohanes percaya bahwa hidup matiraganya membantunya memiliki hubungan yang akrab mesra dengan Tuhan. St. Yohanes wafat dalam damai pada tahun 394 pada usia sembilanpuluh tahun.

St. Yohanes Klimaks
St. Yohanes dilahirkan di Palestina pada abad ketujuh. Kemungkinan besar ia adalah murid dari St. Gregorius dari Nazianze. St. Yohanes mempunyai masa depan gemilang untuk menjadi seorang guru termashyur, namun demikian ia memutuskan untuk melayani Tuhan dengan segenap hatinya. Ia masuk biara di Gunung Sinai ketika usianya enambelas tahun. Kemudian, ia pergi untuk hidup seorang diri saja selama empatpuluh tahun. Ia mempergunakan seluruh waktunya untuk berdoa dan membaca riwayat para kudus.
Pada mulanya, St. Yohanes dicobai oleh iblis. Ia merasakan segala jenis nafsu jahat yang menggodanya untuk jatuh dalam dosa. Tetapi, Yohanes mengandalkan Yesus dan berdoa lebih khusuk dari sebelumnya. Sehingga, godaan-godaan itu tidak berhasil membuatnya jatuh dalam dosa. Malahan, ia menjadi semakin kudus. Yohanes semakin dekat dengan Tuhan dan banyak orang mendengar tentang kekudusannya. Mereka datang kepadanya untuk meminta nasehat.
Tuhan memberi St. Yohanes suatu karunia yang mengagumkan. Ia dapat membawa damai bagi mereka yang tertekan dan yang mengalami godaan. Suatu ketika, seorang laki-laki yang mengalami godaan yang mengerikan datang kepadanya. Ia menceritakan betapa berat baginya untuk melawan godaan-godaan tersebut dan memohon pada St. Yohanes untuk menolongnya. Setelah mereka berdoa bersama, damai segera memenuhi hati laki-laki malang itu. Tidak pernah lagi ia diganggu oleh godaan-godaan tersebut.
Ketika St. Yohanes berusia tujuhpuluh empat tahun, ia dipilih menjadi pemimpin biara di Gunung Sinai. Ia menjadi pemimpin dari semua rahib serta pertapa di negerinya. Seorang pemimpin biara lainnya meminta St. Yohanes untuk menuliskan peraturan-peraturan yang telah diterapkannya sepanjang hidupnya, agar para rahib dapat meneladaninya. Dengan segala kerendahan hati, St. Yohanes menulis sebuah buku berjudul Tangga Kesempurnaan. Dalam bahasa Yunani `tangga’ disebut `klimax’. Oleh sebab itulah ia dijuluki “St. Yohanes Klimaks”. St. Yohanes wafat pada tahun 649.

B. Joan dari Toulouse
Pada tahun 1240, beberapa biarawan Karmelit dari Palestina mendirikan sebuah biara di Toulouse, Perancis. Imam Karmelit yang termasyhur, St. Simon Stock, singgah di Toulouse duapuluh lima tahun kemudian. Seorang wanita saleh mohon bertemu dengannya. Wanita tersebut memperkenalkan diri hanya sebagai Joan. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya kepada imam, “Bolehkah saya bergabung dengan Ordo Karmelit sebagai awam?” St. Simon Stock adalah pemimpin ordo. Ia mempunyai wewenang untuk mengabulkan permohonan Joan. Ia mengatakan “ya”. Joan menjadi anggota ordo ketiga (awam) yang pertama. Ia menerima jubah Ordo Karmelit. Di hadapan St. Simon Stock, Joan mengucapkan prasetia kemurnian kekal.
Joan melanjutkan kehidupannya yang tenang serta bersahaja di rumahnya sendiri. Ia berusaha sekuat tenaga untuk senantiasa mentaati regula (=peraturan-peraturan biara) Karmelit sepanjang hidupnya. Setiap hari Joan ikut ambil bagian dalam Misa dan ibadat-ibadat di gereja Karmel. Sesudah itu, ia mengisi harinya dengan mengunjungi mereka yang miskin, yang sakit serta yang kesepian. Ia melatih para putera altar. Ia memberikan pertolongan kepada mereka yang jompo serta yang tak berdaya dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang diperlukan. Joan berdoa bersama mereka serta membangkitkan semangat banyak orang dengan percakapannya yang riang gembira.
Beata Joan menyimpan gambar Yesus tersalib dalam sakunya. Itulah “buku”-nya. Sewaktu-waktu ia akan mengeluarkan gambar tersebut dari sakunya serta memandanginya. Matanya bersinar-sinar. Orang mengatakan bahwa Joan membaca suatu pelajaran baru yang mengagumkan setiap kali ia memandangi gambarnya.

St. Hugo dari Grenoble
St. Hugo dilahirkan pada tahun 1052 di Perancis. Ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang tinggi dan tampan, lemah lembut serta penuh sopan santun. Meskipun ia senantiasa mendambakan untuk hidup bagi Tuhan sebagai seorang rahib, ia diberi kedudukan penting yang lain. Ia ditahbiskan sebagai imam dan kemudian sebagai uskup.
Sebagai seorang uskup, Hugo segera meluruskan kebiasaan-kebiasaan dosa sebagian orang dalam keuskupannya. Ia menetapkan rencana-rencana yang bijak, namun bukan itu saja yang ia lakukan. Guna memperoleh belas kasihan Tuhan bagi umatnya, St. Hugo berdoa dengan segenap hati. Ia melakukan mati raga yang keras. Dalam waktu singkat, banyak orang berbalik menjadi saleh dan taat. Hanya sebagian orang dari kaum bangsawan saja yang masih terus menentangnya.
Uskup Hugo masih berangan-angan menjadi seorang rahib. Itulah yang sungguh ia dambakan. Maka, ia mengundurkan diri sebagai Uskup Grenoble dan masuk biara. Pada akhirnya, ia merasakan damai. Namun demikian, bukanlah kehendak Tuhan bahwa St. Hugo menjadi seorang rahib. Setelah setahun lewat, Paus memerintahkannya untuk kembali ke Grenoble. St. Hugo taat. Ia tahu bahwa jauh lebih penting menyenangkan Tuhan daripada menyenangkan diri sendiri.
Selama empatpuluh tahun, bapa uskup hampir selalu sakit. Ia menderita sakit kepala hebat dan juga gangguan pencernaan. Namun demikian, ia memaksakan diri untuk tetap bekerja. Ia mencintai umatnya dan begitu banyak yang harus dilakukan bagi mereka. St. Hugo mengalami pencobaan dan godaan-godaan juga. Tetapi, ia berdoa dengan tekun sehingga tidak jatuh dalam dosa.
St. Hugo wafat pada tanggal 1 April 1132, dua bulan sebelum ulang tahunnya yang kedelapan puluh. Ia menjadi seorang uskup yang murah hati serta kudus selama lima puluh dua tahun.

St. Fransiskus dari Paola
St. Fransiskus dilahirkan di sebuah dusun kecil di Paola, Italia sekitar tahun 1416. Orangtuanya miskin, tetapi bersahaja dan kudus. Mereka mohon bantuan doa St. Fransiskus dari Asisi agar dikaruniai seorang putera. Ketika ia akhirnya dilahirkan, ia diberi nama Fransiskus. Anak itu tumbuh besar dan pergi ke sekolah di mana para pengajarnya adalah imam-imam Fransiskan. Di sanalah Fransiskus belajar membaca. Ketika berusia limabelas tahun, seijin orangtuanya, Fransiskus tinggal di sebuah gua. Ia ingin menjadi seorang pertapa dan melewatkan hidupnya hanya bersama Tuhan saja.
Ketika usianya duapuluh tahun, pemuda-pemuda lain ikut bergabung dengannya. St. Fransiskus meninggalkan gua kediamannya. Penduduk kota Paola membangun sebuah gereja dan juga biara untuk Fransiskus dan para pengikutnya. Ia menyebut ordo religiusnya yang baru dengan nama “Minims”. “Minims” artinya “yang terkecil dari semuanya.”
Semua orang mengasihi St. Fransiskus. Ia berdoa bagi mereka dan melakukan banyak mukjizat. Ia menasehati para pengikutnya agar senantiasa lemah lembut dan rendah hati, serta melakukan banyak matiraga. Ia sendiri merupakan teladan terbaik dari segala keutamaan yang diajarkannya. Suatu ketika, seorang yang mengunjungi Fransiskus menghinanya. Ketika orang itu selesai berbicara, Fransiskus melakukan sesuatu yang aneh. Dengan tenang diambilnya batu bara panas dari tempat perapian dan digenggamnya dengan erat dalam tangannya. Namun demikian, ia tidak terbakar sedikit pun. “Mari, hangatkanlah dirimu,” katanya dengan lembut kepada pendakwanya. “Engkau gemetar oleh sebab engkau membutuhkan sedikit belas kasihan.” Seketika terjadilah sesuatu yang ajaib, tamu tersebut berubah pandangan mengenai Fransiskus. Sejak saat itu, ia amat mengagumi St. Fransiskus.
Raja Louis XI dari Perancis tidak hidup dengan baik. Ketika raja sedang sekarat, ia meminta St. Fransiskus datang kepadanya. Pikiran akan segera menemui ajalnya telah membuat raja gemetar ketakutan. Ia menghendaki agar Fransiskus melakukan mukjizat dan menyembuhkannya. Sebaliknya, yang dilakukan orang kudus tersebut adalah dengan lemah lembut membantu raja yang ketakutan itu mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar dapat meninggal dengan kudus. Hati raja berubah. Ia menerima kehendak Tuhan dan wafat dengan tenang dalam pelukan Fransiskus.
St. Fransiskus menikmati umur panjang untuk memuliakan serta mengasihi Tuhan. Ia wafat pada hari Jumat Agung pada tahun 1507, dalam usia sembilan puluh satu tahun.

St. Richard dari Chichester
St. Richard dilahirkan di Inggris pada tahun 1197. Ia dan saudaranya menjadi yatim piatu sejak Richard masih kecil. Saudaranya memiliki beberapa tanah pertanian. Richard berhenti sekolah agar dapat membantu kakaknya menyelamatkan sawahnya dari kehancuran. Richard bekerja demikian giat hingga kakaknya yang penuh rasa terima kasih hendak memberikan tanah pertanian itu kepadanya. Tetapi, Richard tidak mau menerimanya. Ia juga memilih untuk tidak menikah, sebab ia ingin pergi belajar di perguruan tinggi untuk memperoleh pendidikan yang baik. Ia tahu bahwa karena uangnya hanya sedikit, ia akan harus bekerja keras untuk membiayai hidup dan sekolahnya.
Richard belajar di Universitas Oxford. Kemudian, ia memperoleh kedudukan penting di universitas. St. Edmund, yang adalah uskup agung Canterbury, memberinya tugas dan tanggung jawab dalam keuskupannya. Ketika St. Edmund wafat, St. Richard mengunjungi Wisma Belajar Dominikan di Perancis. Di sana ia ditahbiskan sebagai seorang imam. Kemudian, ia ditahbiskan sebagai Uskup Chichester, Inggris. Oleh sebab itu ia disebut Richard dari Chichester. Raja Henry III menghendaki seorang lain yang menjadi uskup. Orang tersebut adalah sahabat raja, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagai seorang uskup. Richard adalah Uskup Chichester yang sesungguhnya. Raja Henry III tidak memperbolehkan Richard menempati katedralnya sendiri. Raja juga mengancam penduduk Chichester dengan hukuman apabila mereka bersikap ramah terhadap Richard. Walaupun demikian, orang-orang yang gagah berani tetap saja menolongnya, seperti pastor Simon dari Tarring – salah seorang imam Chichester. Richard dan Simon kemudian bersahabat karib. Ketika Bapa Suci mengancam akan meng-ekskomunikasi-kannya (= mengucilkan, memutuskan seseorang dari hak-hak sebagai anggota gereja), raja berhenti mencampuri urusan gerejani dan tidak lagi mengganggu bapa uskup.
Sebagai uskup, St. Richard melaksanakan segala tugasnya dengan baik. Ia senantiasa lemah lembut dan murah hati kepada semua orang. Sekali waktu ia bersikap tegas juga. Ia seorang pemberani dan tanpa ragu-ragu menegur umatnya apabila mereka melakukan yang salah dan tidak menyesali perbuatannya.
Dikatakan bahwa ketika St. Richard jatuh sakit, ia tahu saat kematiannya akan tiba, sebab Tuhan telah memberitahukan kepadanya tempat serta waktu yang tepat bilamana ia akan meninggal. Teman-temannya, termasuk Pastor Simon dari Tarring, berada di sisi pembaringannya. St. Richard wafat dalam usia limapuluh lima tahun pada tahun 1253. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Urbanus IV pada tahun 1262.

St. Isidorus
St. Isidorus dilahirkan pada tahun 556. Dua orang kakaknya, Leander dan Fulgentius, adalah uskup dan santo juga. Saudari mereka, Florentina, seorang biarawati dan santa juga. Keluarga Isidorus kemungkinan berasal dari Romawi. Kelak Isidorus ditahbiskan sebagai uskup kota Seville, Spanyol. Dari sanalah ia memberikan pengaruh besar terhadap Gereja pada jamannya. Isidorus menjadi Uskup Seville selama tiga puluh tujuh tahun. Selama masa itu, ia melanjutkan karya uskup sebelumnya, yaitu St. Leander, kakaknya. Kedua kakak-beradik ini mempertobatkan penganut bidaah Visigoth dan membawa mereka ke pangkuan Gereja Katolik.
Pada masa kecilnya, Isidorus memperoleh pendidikan yang amat baik. Kakak-kakaknya bertanggung jawab atas pendidikannya. Ia dibimbing oleh Leander. Isidorus kecil menganggap Leander sebagai orang yang paling kejam di seluruh dunia. Leander terus-menerus menyuruhnya belajar! Tetapi, di kemudian hari Isidorus menyadari bahwa Leander sungguh seorang sahabat yang mengagumkan. Ia mengajarkan kepada Isidorus bahwa kita akan dapat melakukan begitu banyak hal bagi Gereja Yesus apabila kita belajar dengan tekun.
Isidorus hidup jauh sebelum Konsili Trente, di mana baru mulai dibuka seminari-seminari untuk pendidikan imam. Tetapi, Isidorus yakin bahwa di setiap keuskupan haruslah ada sebuah seminari dan sebuah sekolah Katolik sebagai sarana pendidikan lanjutan. Kedua impiannya tersebut kelak terwujud dengan dibukanya perguruan tinggi-perguruan tinggi Katolik dan juga seminari-seminari.
St. Isidorus adalah juga seorang organisator ulung. Ia diminta untuk memimpin dua pertemuan Gereja yang penting yang disebut Sinode. Yang pertama di Seville, Spanyol pada tahun 619 dan sesudahnya di Toledo, Spanyol pada tahun 633. Sinode-sinode tersebut semakin mempererat persekutuan Gereja. St. Isidorus menulis banyak buku. Ia menulis tentang sejarah Goths. Ia menulis tentang pahlawan-pahlawan Kitab Suci. Ia bahkan juga menyusun sebuah kamus.
Uskup Isidorus selalu terbuka bagi umatnya. Kaum miskin di Seville tahu ke mana mereka harus pergi mohon bantuan. Selalu ada antrian panjang sepanjang hari, setiap hari, di tempat kediaman uskup. Isidorus berdoa dan bermatiraga. Ia sungguh seorang yang kudus dan uskup yang amat dicintai. Ia wafat pada tahun 636. St. Isidorus digelari Pujangga Gereja oleh Paus Inosensius XIII pada tahun 1722.

St. Vincentius Ferrer
St. Vincentius Ferrer adalah seorang pahlawan Kristen yang amat mengagumkan. Ia dilahirkan di Valencia, Spanyol pada tahun 1350. Ia berdevosi secara khusus kepada Santa Perawan Maria. Apabila orang berbicara tentang Bunda Maria, ia merasa sangat bahagia. Ketika berusia tujuh belas tahun, Vincentius masuk Ordo Santo Dominikus. Ia seorang yang sangat pandai dan berhasil baik dalam studinya. Vincentius juga seorang yang tampan, tetapi ia tidak pernah sombong ataupun tinggi hati atas semua kelebihan yang dimilikinya.
Pada mulanya, Pastor Vincentius mengajar di berbagai perguruan tinggi. Kemudian ia menjadi seorang pengkhotbah yang termashyur. Ordo Santo Dominikus disebut juga Ordo Para Pengkhotbah. Selama dua puluh tahun, Pastor Vincentius berkhotbah di seluruh Spanyol dan Perancis. Meskipun pada masa itu belum ada mikrofon, suaranya yang lantang dapat terdengar hingga jauh. Banyak orang bertobat hanya dengan mendengarkan khotbahnya. Bahkan seorang rabi terkenal, Paulus dari Burgos, menjadi seorang Katolik pula. Paulus kemudian menjadi seorang imam dan akhirnya Uskup Cartagena, Spanyol. Banyak orang Katolik sangat terkesan dengan khotbah-khotbah dan teladan kekudusan Vinsentius, sehingga mereka menjadi lebih saleh. Umat Katolik yang dulunya tidak mengamalkan iman mereka, sekarang berubah. Mereka menjadi taat dan saleh sepanjang hidup mereka.
St. Vincentius mengandalkan Tuhan. Ia juga minta bantuan doa dan matiraga dari banyak orang demi keberhasilan khotbah-khotbahnya. Ia sadar bahwa bukanlah kata-katanya ataupun bakat-bakatnya yang memenangkan hati banyak orang. Oleh sebab itulah, ia selalu berdoa sebelum berkhotbah. Namun demikian, dikisahkan bahwa suatu ketika, ia tahu bahwa seseorang yang amat penting akan mendengarkan khotbahnya. Ia bekerja lebih keras dari biasanya untuk mempersiapkan khotbahnya, sehingga ia tidak sempat lagi berdoa. Khotbah tersebut, yang telah dipersiapkannya dengan amat seksama, ternyata tidak terlalu mengesankan sang bangsawan. Tuhan membiarkan hal itu terjadi untuk mengajarkan kepada Vincentius agar tidak mengandalkan diri sendiri. Di kemudian hari, bangsawan yang sama datang lagi untuk mendengarkan khotbah Pastor Vincentius. Tetapi, kali ini Pastor Vincentius tidak mengetahuinya. Seperti biasa, ia berdoa serta mengandalkan segala sesuatunya kepada Tuhan. Sang bangsawan mendengarkan khotbahnya dan sungguh sangat terkesan dengan apa yang telah ia dengar. Ketika Vincentius diberitahu menganai hal tersebut, ia berkata: “Dalam khotbah pertama, Vincentius-lah yang berbicara. Dalam khotbah kedua, Yesus Kristus-lah yang berbicara.”
St. Vincentius wafat pada tahun 1419. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Nikolas V pada tahun 1455.

B. Notker
Biarawan Benediktin ini semasa kecilnya sering sakit-sakitan. Ia juga gagap bicara sepanjang hidupnya. Notker bertekad agar cacatnya itu janganlah menjadi penghalang baginya. Karena tekadnya yang kuat, Notker menjadi seorang yang lebih menyenangkan dari sebelumnya.
Ia dan dua orang sahabatnya, Tutilo dan Radpert, adalah biarawan yang selalu riang gembira. Mereka bertiga saling menguatkan dalam panggilan mereka di biara Santo Gallen di Swiss. Cinta mereka pada Tuhan dan juga cinta mereka pada musik menjadikan mereka bersahabat karib.
Sekali waktu Raja Charles datang berkunjung ke biara. Ia sangat menghormati Notker dan minta nasehat darinya. Sayangnya, ia tidak selalu mengikuti nasehat yang diterimanya. Suatu ketika, Raja Charles mengirimkan utusannya agar bertemu dengan sang biarawan. Notker sedang merawat kebunnya. Ia mengirimkan pesan ini kepada raja: “Rawatlah kebunmu seperti aku merawat kebunku.” Raja Charles mengerti bahwa ia harus lebih baik merawat jiwanya sendiri dan juga kerajaannya.
Penasehat pribadi raja adalah seorang yang terpelajar, tetapi amat sombong. Ia iri hati sebab raja demikian menghargai nasehat Notker. Suatu hari di istana, di hadapan semua orang, ia bertanya kepada Notker, “Karena engkau seorang yang sangat pandai, katakanlah kepadaku apa yang sedang dikerjakan Tuhan saat ini.” Penasehat raja tersenyum sinis kepada Notker, sebab pikirnya pastilah Notker tidak akan dapat menjawab pertanyaannya. Tetapi, sebaliknya Notker segera menjawab, “Saat ini Tuhan sedang mengerjakan apa yang biasa Ia kerjakan. Ia merendahkan mereka yang tinggi hati dan meninggikan mereka yang rendah hati.” Orang banyak mulai tertawa sementara penasehat raja cepat-cepat pergi meninggalkan ruangan.
Beato Notker mempersembahkan seluruh hidupnya bagi panggilan yang telah dipilihnya. Ia melakukan banyak hal-hal kecil yang istimewa, agar kehidupan di biara terasa menyenangkan bagi para biarawan. Bersama sahabat-sahabatnya, Tutilo dan Radpert, ia menggubah musik gerejani yang indah untuk memuji Tuhan.

St. Yohanes Baptista de la Salle
St sangat mengasihi Yesus dan Gereja-Nya. Ia sedang belajar untuk menjadi seorang imam ketika kedua orangtuanya meninggal dunia. Ia harus meninggalkan seminari dan pulang ke rumah untuk mengasuh adik-adiknya. Sementara ia mengajar serta mendidik mereka, ia sendiri tetap terus belajar. Adik-adiknya tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang baik. Ketika pendidikan mereka sudah selesai, Yohanes Baptista ditahbiskan sebagai imam.
Pada masa itu, kaum bangsawan seperti keluarga Pastor de la Salle, mempunyai kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang baik. Tetapi, rakyat jelata tetap miskin dan terlupakan. Mereka tidak punya kesempatan untuk bersekolah. St. Yohanes Baptista berbelas kasihan kepada anak-anak kaum miskin. Ia bertekad untuk melakukan sesuatu guna mengatasi masalah tersebut. Ia mulai membuka sekolah-sekolah bagi mereka. Agar tersedia pengajar-pengajar bagi anak-anak, ia membentuk suatu ordo baru, Kongregasi Bruder-Bruder Sekolah Kristiani. Meskipun Pastor de la Salle juga. Yohanes Baptista de la Salle dilahirkan di Rheims, Perancis pada tanggal 30 April 1651. Orangtuanya berasal dari kalangan bangsawan. Yohanes biasa hidup mewah. Namun demikian, ia seorang anak yang saleh pula. Ia mengajar anak-anak itu sendiri, ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membekali para bruder pengajar. Bagi para brudernya, Pastor de la Salle menuliskan suatu regula dan juga sebuah buku berisi penjelasan mengenai cara terbaik untuk mengajar. St. Yohanes Baptista merupakan salah seorang pendidik terbaik sepanjang masa. Ia mengajar dalam bahasa ibu masyarakat setempat, bukan dalam bahasa Latin, seperti yang biasa dilakukan. Ia mengelompokkan para murid dalam beberapa kelas. Ia menekankan pentingnya suasana tertib dan tenang sementara pelajaran diberikan.
Selang beberapa waktu kemudian, para bruder mendirikan lebih banyak lagi sekolah-sekolah. Mereka mengajar, baik anak-anak dari rakyat jelata maupun dari kaum bangsawan. Banyak kesulitan yang harus dihadapi ordo baru tersebut. Namun, berkat doa serta matiraga St. Yohanes Baptista, Tuhan memberkati segala karya mereka sehingga terus berkembang dan tersebar luas.
Kesehatan Pastor de la Salle tidak pernah prima. Penyakit asma dan radang sendi yang ia derita mengakibatkannya terus merasa sakit. Meskipun demikian, ia tidak pernah mau memanjakan diri. St. Yohanes Baptista wafat pada hari Jumat Agung, 7 April 1719, dalam usia enam puluh delapan tahun. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Leo XIII pada tahun 1900. Pada tahun 1950, Paus Pius XII mengangkatnya sebagai santo pelindung para pengajar.

St. Waltrudis
Waltrudis dilahirkan di Belgia pada abad ketujuh. Ibunya, ayahnya serta saudarinya, semuanya telah dinyatakan kudus pula. Waltrudis tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita. Meskipun pada saat bersenang-senang, ia selalu mempunyai cara untuk memberikan kritik membangun kepada orang lain. Beberapa pemuda ingin menikahinya. Pada masa itu, orangtualah yang memilihkan suami bagi puteri mereka. Orangtuanya memilih Pangeran Madelgarius. Tidak ada yang lebih tepat selain dia, sebab ia kelak dinyatakan kudus juga. Ia adalah St. Vincentius Madelgarius. Pasangan tersebut dikaruniai empat orang anak. Menakjubkan, semuanya juga telah dinyatakan kudus!
St. Waltrudis merasa bahagia sebab Tuhan memberinya sebuah keluarga yang luar biasa. Tetapi, ia harus banyak menderita juga sepanjang hidupnya. Para wanita yang iri hati menyebarkan gosip-gosip yang amat jahat mengenainya. Para wanita itu tidak memiliki hati selembut dan semurni hati Waltrudis. Mereka tidak suka orang beranggapan bahwa Waltrudis lebih baik dari mereka. Jadi, mereka mengatakan Waltrudis berdoa dan melakukan perbuatan-perbuatan baik hanya sebagai suatu cara untuk menutupi dosa-dosa rahasianya yang mengerikan. Tentu saja hal itu tidak benar, tetapi Waltrudis tidak berusaha membela diri. Ia merenungkan bagaimana Yesus harus menderita di salib, dan seturut teladan-Nya, ia mengampuni mereka semua.
Tak berapa lama setelah kelahiran anak mereka yang terakhir, St. Vincentius mengemukakan bahwa ia sungguh ingin hidup sebagai seorang rahib. Sesungguhnya, ia ingin melewatkan seluruh sisa hidupnya dalam biara. Waltrudis mengerti dan memberikan ijin kepada suaminya. St. Vincentius mengatur agar segala kebutuhan keluarganya tercukupi. Pasangan bahagia itu akan saling merindukan satu sama lain. Namun demikian, Waltrudis tidak hendak menahan suaminya. Ia rela berkurban bagi Tuhan.
Dua tahun kemudian, Waltrudis memutuskan untuk menjadi seorang biarawati. Ia banyak berkurban dan bermatiraga, serta murah hati kepada kaum miskin. Orang banyak datang kepadanya memohon nasehat rohani dan sebagian di antaranya disembuhkan. St. Waltrudis wafat pada tahun 688. Setelah kematiannya, banyak orang yang datang ke makam untuk mohon bantuan doanya, disembuhkan dengan cara yang ajaib.

St. Stanislaus
St. Stanislaus dilahirkan dekat Cracow, Polandia pada tahun 1030. Kedua orangtuanya telah berdoa tiga puluh tahun lamanya agar dikarunia seorang anak. Ketika Stanislaus lahir, mereka mempersembahkannya kepada Tuhan oleh sebab mereka amat bersyukur. Ketika dewasa, Stanislaus belajar di Paris, Perancis. Sesudah orangtuanya meninggal dunia, ia memberikan semua harta milik yang diwariskan orangtuanya kepada fakir miskin. Kemudian ia menjadi seorang imam.
Pada tahun 1072, Stanislaus ditahbiskan sebagai Uskup Cracow. (Sebelum menjadi paus, Yohanes Paulus II juga adalah Uskup Cracow, beberapa abad kemudian). Uskup Stanislaus sangat dicintai umatnya. Mereka terutama sekali menghargai caranya memberikan perhatian kepada kaum miskin, para janda dan anak-anak yatim piatu. Seringkali ia sendiri turun tangan melayani mereka.
Pada waktu itu Boleslaus II menjadi raja Polandia. Ia seorang yang kejam dan tidak bermoral. Rakyat takut kepadanya dan juga muak dengan gaya hidupnya. Mula-mula Uskup Stanislaus menasehatinya secara pribadi. Bapa Uskup seorang yang lemah lembut dan disegani. Tetapi, ia juga seorang yang jujur pula, dinyatakannya kepada raja segala perilakunya yang keliru. Tampaknya raja menyesal, namun sebentar saja ia sudah kembali pada cara hidupnya semula. Ia bahkan melakukan lebih banyak dosa yang mengerikan. Bapa Uskup kemudian mengucilkannya dari Gereja. Raja Boleslaus amat murka. Ia ingin membalas dendam, maka diperintahkannya dua orang pengawal untuk membunuh St. Stanislaus. Tiga kali mereka mencoba tetapi gagal. Kemudian raja sendiri dalam angkara murkanya bergegas menuju kapel uskup. Ia membunuh St. Stanislaus saat bapa uskup sedang mempersembahkan Misa. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 11 April 1079.
Tuhan melakukan banyak mukjizat setelah wafatnya St. Stanislaus. Semua orang menyebutnya martir. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Inosensius IV pada tahun 1253.

St. Yoseph Moscati
Kematian saudara laki-lakinya meninggalkan kesan mendalam dalam diri Yoseph. Ia bertanya pada Yesus dalam Ekaristi dan juga pada Bunda Maria mengapa itu harus terjadi. Penderitaan haruslah membawa hikmah. Yoseph segera menyadari akan pentingnya tenaga ahli dalam bidang kesehatan. Dan yang terpenting, ia menyadari bahwa dalam kehidupan ini kita berziarah menuju kehidupan kekal. Tergantung pada kita apakah kita mau menolong serta melayani orang lain selama kita dalam perjalanan. Yoseph bertanya-tanya dan berdoa apakah yang harus ia lakukan dalam hidupnya. Ia memutuskan bahwa ia ingin menolong orang lain dengan membantu menyembuhkan penyakit yang mereka derita. Yoseph ingin menjadi seorang dokter.
Ketika usianya dua puluh tiga tahun, Dr. Moscati memulai pelayanannya di sebuah rumah sakit bagi pasien yang tak dapat disembuhkan di Naples. Kemudian ia buka praktek sendiri. Semua pasien selalu disambut, tanpa peduli apakah mereka sanggup membayar atau tidak. Dr. Yoseph akan menuliskan resep bagi para pasiennya yang miskin, lalu membayar biaya obat-obatan dari kantong pribadinya. Setiap hari terasa berat dan melelahkan, tetapi Dr. Moscati senantiasa lemah lembut dan penuh belas kasihan. Ia berusaha mendengarkan para pasiennya dengan penuh perhatian. Ia menghibur serta berdoa bagi mereka.
Dr. Moscati bukan hanya seorang dokter ahli, tetapi ia seorang kudus juga. Bagaimana mungkin? Setiap pagi ia pergi mengikuti Misa dan menyempatkan diri untuk berdoa. Kemudian dokter akan mengunjungi para pasiennya yang miskin di kampung-kampung kumuh Naples. Dari sana, ia akan pergi ke rumah sakit dan memulai aktivitasnya. Selama dua puluh empat tahun, Yoseph bekerja dan berdoa bagi para pasiennya. Ia mencurahkan segenap tenaganya bagi panggilan hidupnya. Suatu siang pada tanggal 12 April 1927, Dr. Moscati merasa tidak enak badan, jadi ia pergi ke kantornya dan beristirahat sejenak di kursinya. Di sanalah ia terserang stroke dan meninggal dunia. Usianya empat puluh tujuh tahun.
Dr. Yoseph Moscati dinyatakan kudus oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 25 Oktober 1987.

St. Lidwina
Lidwina artinya “penderitaan.” Lidwina seorang gadis Belanda. Ia dilahirkan pada tahun 1380 dan wafat pada tahun 1433. Ketika umurnya lima belas tahun, Lidwina mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan. Mungkin saja ia akan menjadi seorang biarawati kelak. Tetapi, suatu siang, terjadi peristiwa yang akan mengubah seluruh hidupnya.
Lidwina pergi bermain sepatu luncur bersama teman-temannya. Salah seorang dari mereka secara tak sengaja menabraknya. Lidwina terpelanting keras ke atas es dan tulang rusuknya patah. Ia amat kesakitan. Kecelakaan itu menimbulkan masalah-masalah lain pula. Hari-hari selanjutnya, Lidwina mengalami sakit kepala yang amat hebat, mual, demam, rasa sakit di sekujur tubuhnya dan rasa haus.
Dengan menangis Lidwina mengatakan kepada ayahnya bahwa ia tidak sanggup lagi menahan sakit. Namun demikian, rasa sakit itu malahan menghebat. Bisul-bisul mulai bermunculan di wajah dan tubuhnya. Satu matanya menjadi buta. Dan pada akhirnya, ia tidak lagi dapat meninggalkan pembaringannya.
Lidwina sangat sedih dan putus asa. Mengapa Tuhan membiarkan semua ini terjadi padanya? Apa yang Tuhan inginkan darinya? Lagipula, apa yang masih dapat ia persembahkan kepada-Nya? Pastor Yohanes, imam parokinya, datang mengunjungi serta berdoa bersamanya. Pastor membantunya merenungkan segala penderitaan yang harus ditanggung Yesus. Lidwina mulai sadar akan hadiah indah yang akan ia persembahkan kepada Yesus: ia akan menderita bagi-Nya. Ia akan mempersembahkan segala penderitaannya untuk menghibur Dia, yang telah menderita begitu hebat di salib. Penderitaannya dipersembahkannya sebagai suatu doa yang indah kepada Tuhan. Sedikit demi sedikit Lidwina mulai mengerti.
Selama tiga puluh delapan tahun Lidwina menderita. Rasanya mustahil ia dapat bertahan hidup dalam keadaan yang sedemikian parah. Tetapi sungguh, ia bertahan. Tuhan memberinya penghiburan dalam berbagai cara. Lidwina baik hati terhadap semua orang yang datang mengunjunginya di kamar kecilnya yang sederhana. Ia berdoa kepada Tuhan dan rela menderita bagi ujub-ujub para tamunya. Mereka tahu bahwa Tuhan mendengarkan doa-doa Lidwina. Lidwina terutama amat cinta kepada Yesus dalam Ekaristi Kudus. Selama bertahun-tahun, ia hidup hanya dengan menyantap Komuni Kudus.

St. Benediktus Yoseph Labre
Orang kudus dari Perancis yang dilahirkan pada tahun 1748 ini menempuh jalan hidup yang aneh. Ia adalah putera seorang pemilik toko dan memperoleh pendidikan dari pamannya, seorang imam. Ketika imam yang baik itu meninggal dunia, Benediktus berusaha masuk biara. Tetapi, ia ditolak karena masih terlalu muda. Benediktus kemudian mencoba masuk biara lainnya. Ia menyukai kehidupan doa dan mati raga. Namun, ketika ia masuk biara, Benediktus menjadi kurus dan lemah. Maka, dinasehatkan kepadanya agar ia pulang ke rumah dan hidup sebagai seorang Kristen yang baik. Benediktus pulang dan perlahan-lahan kesehatannya pulih kembali. Ia berdoa mohon bantuan Tuhan. Kemudian Benediktus merasa bahwa Tuhan telah menjawab doanya. Ia akan menjadi seorang peziarah, seorang yang mengadakan perjalanan suci dengan berdoa dan bermati raga. Sebagai peziarah, Benediktus akan mengunjungi tempat-tempat suci yang termashyur di Eropa.
Benediktus memulai perjalanannya dengan berjalan kaki. Ia pergi dari satu gereja ke ke gereja lainnya. Ia mengenakan jubah sederhana, sebuah salib di dada dan rosario di lehernya. Ia tidur di emperan jalan. Makanan yang disantapnya hanyalah yang diberikan orang-orang kepadanya. Jika mereka memberinya uang, ia akan memberikannya kepada orang-orang miskin. “Ransel”nya hanyalah sebuah kantong. Di dalamnya ia menyimpan Kitab Suci, juga medali-medali dan buku-buku rohani yang akan dibagikannya kepada orang lain. Perhatian St. Benediktus sama sekali tidak tertuju pada pemandangan indah di daerah-daerah yang ia kunjungi. Satu-satunya yang menarik baginya adalah gereja-gereja di mana Yesus tinggal dalam Sakramen Mahakudus.
Tahun-tahun berlalu, St. Benediktus tampak semakin menyerupai seorang pengemis. Ia compang-camping dan kotor. Ia makan sisa-sisa roti dan kulit kentang. Ia tidak pernah minta sesuatu yang membuatnya merasa lebih nyaman. Di beberapa tempat, anak-anak melemparinya dengan batu serta mengolok-oloknya. Orang-orang yang tidak mengenalnya cenderung menghindarinya. Tetapi, apabila St. Benediktus sudah bersujud di hadapan tabernakel, ia demikian khusuk bagaikan patung. Wajahnya yang pucat dan kuyu menjadi bersinar-sinar. Ia akan berbicara kepada Yesus dan Bunda Maria. Ia berbisik, “Bunda Maria, o Bundaku!” Ia sungguh sangat bahagia ketika bersatu dengan Yesus dan Bunda Maria.
Benediktus wafat pada tahun 1783 dalam usia tiga puluh lima tahun. Kesucian pengemis kudus ini segera tersebar luas. Perjalanannya telah selesai. Ziarahnya telah berakhir dan kini ia tinggal bersama Yesus dan Bunda Maria untuk selamanya. Seabad setelah wafatnya, St. Benediktus Yoseph Labre dinyatakan kudus oleh Paus Leo XIII pada tahun 1883.

B. Maria dari Inkarnasi
Barbara dilahirkan di Perancis pada tahun 1566. Ia menikah dengan Petrus Acarie ketika usianya tujuh belas tahun. Barbara dan suaminya mencintai iman Katolik mereka dan mengamalkannya dalam hidup sehari-hari. Pasangan tersebut dikaruniai enam orang anak dan keluarga mereka hidup bahagia. Barbara berusaha menjadi sorang isteri dan ibu yang baik. Keluarganya belajar dari Barbara bagaimana mencintai doa dan melakukan karya belas kasih. Suatu ketika, suaminya secara tidak adil dituduh melakukan suatu kejahatan. Barbara sendiri datang menyelamatkannya. Ia pergi ke pengadilan, dan seorang diri saja, berhasil membuktikan bahwa suaminya tidak bersalah.
Meskipun Barbara sibuk dengan urusan keluarganya sendiri, tetapi ia selalu menyempatkan diri untuk memberi makan mereka yang kelaparan. Ia mengajarkan iman kepada yang lain. Ia menolong mereka yang sakit dan sekarat. Dengan lemah lembut ia mendorong mereka yang hidup dalam dosa agar berbalik dari cara hidupnya. Perbuatan-perbuatan baik yang dilakukannya itu adalah karya belas kasih.
Ketika suaminya meninggal dunia, Barbara masuk Ordo Karmelit. Di sanalah ia melewatkan empat tahun sisa hidupnya sebagai seorang biarawati. Ketiga puterinya menjadi biarawati Karmelit juga. Nama yang dipilih Barbara sebagai biarawati adalah Suster Maria dari Inkarnasi. Dengan penuh sukacita ia bekerja di dapur biara di antara periuk dan panci. Ketika puterinya diangkat menjadi pemimpin biara, Beata Maria dengan rela hati taat kepadanya. Demikian besar kerendahan hatinya, hingga menjelang ajalnya ia berkata: “Tuhan mengampuni aku karena teladan buruk yang kutinggalkan bagimu.” Para biarawati tentu saja terperanjat mendengarnya, sebab mereka tahu betapa ia telah berusaha keras untuk hidup kudus. Beata Maria wafat pada tahun 1618 dalam usia lima puluh dua tahun.

St. Agnes dari Montepulciano
S. Agnes dilahirkan dekat kota Montepulciano, Italia, pada tahun 1268. Ketika usianya baru sembilan tahun, ia memohon kepada ayah ibunya untuk diijinkan tinggal di biara dekat tempat tinggal mereka. Agnes amat senang bersama para biarawati. Mereka melewatkan hidup mereka dalam doa dan ketenangan. Mereka bekerja keras juga. Meskipun Agnes masih muda, ia mengerti mengapa para biarawati itu bisa hidup dan berdoa dengan baik. Sebab, mereka ingin bersatu dengan Yesus.
Tahun-tahun berlalu. St. Agnes melewati masa novisiat. Ia seorang biarawati yang baik sehingga para biarawati lainnya senang dengan kehadirannya. Agnes berdoa dengan sepenuh hati. Ia memberikan teladan yang baik kepada para biarawati. Beberapa gadis datang untuk bergabung bersama mereka. Agnes dan para biarawati itu termasuk dalam Ordo Para Pengkhotbah, yang biasa disebut Dominikan.
Beberapa tahun kemudian, Agnes dipilih menjadi pemimpin atau “priorin” biara. Ia berusaha adil dan jujur kepada semua biarawati. Ia selalu mencamkan dalam hati bahwa segala sesuatu ia lakukan bagi Yesus. Ia percaya bahwa Yesus Sendiri yang sesungguhnya mengurus biara. Ia yang memelihara mereka.
Moeder Agnes melakukan mati raga yang keras. Ia senantiasa lemah lembut dan baik hati, meskipun terkadang perasaan hatinya tidak demikian. Tuhan memenuhi Agnes dengan sukacita dan sekali waktu menganugerahinya dengan karunia-karunia rohani. Suatu ketika, Ia bahkan mengijinkan Agnes membopong Kanak-kanak Yesus dalam pelukannya.
Agnes seringkali menderita sakit. Tetapi, ia selalu sabar, bahkan jika penyakitnya amat parah sekalipun. Ia tidak pernah mengeluh ataupun mengasihani diri sendiri. Sebaliknya, ia mempersembahkan segala sesuatunya kepada Tuhan. Menjelang akhir hidupnya, para biarawati tahu bahwa keadaannya tidak akan membaik. Mereka merasa amat sedih. “Jika kalian mengasihi aku, tentulah kalian akan bergembira,” demikian kata Agnes, “sebab aku akan segera masuk dalam kemuliaan Yesus.”
St. Agnes wafat pada tahun 1317 dalam usia empat puluh sembilan tahun. Ia dinyatakan kudus pada tahun 1726. Makamnya menjadi tempat ziarah. Banyak orang datang mohon bantuan doanya dan mohon pertolongannya. Salah seorang di antara para peziarah adalah St. Katarina dari Siena.

St. Anselmus
Anselmus dilahirkan di Italia utara pada tahun 1033. Dari rumahnya ia dapat melihat pegunungan Alpen. Ketika usianya lima belas tahun, Anselmus mencoba masuk biara di Italia. Tetapi, ayahnya menentangnya. Kemudian Anselmus jatuh sakit. Tak lama sesudah ia sembuh, ibunya meninggal dunia. Anselmus masih muda, ia juga kaya dan pandai. Segera saja ia melupakan niatnya untuk melayani Tuhan. Ia mulai hanya berpikir untuk bersenang-senang.
Tetapi, beberapa waktu kemudian, Anselmus menjadi bosan dengan cara hidupnya. Ia ingin sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang lebih berguna. Ia pergi ke Perancis mengunjungi Abbas (= pemimpin biara) Lanfranc yang kudus dari biara Bec yang terkenal. Anselmus menjadi sahabat karib Lanfranc dan sang abbas menghantarnya kepada Tuhan. Ia juga membantu Anselmus dalam mengambil keputusan menjadi seorang biarawan Benediktin. Pada waktu itu Anselmus berusia dua puluh tujuh tahun.
Anselmus seorang peramah yang sangat mengasihi saudara-saudara sebiaranya. Mereka yang dulunya membencinya, segera menjadi teman-temannya. Anselmus menjadi abbas pada tahun 1078. Ketika ia harus meninggalkan Bec untuk ditahbiskan sebagai Uskup Agung Canterbury di Inggris, ia mengatakan kepada para biarawannya bahwa mereka akan selalu ada di hatinya.
Umat Inggris mengasihi dan menghormati Anselmus. Tetapi, Raja William II menganiayanya. Anselmus harus melarikan diri dalam pengasingan pada tahun 1097 dan juga tahun 1103. Raja William bahkan melarang Anselmus pergi ke Roma untuk memohon nasehat paus. Walaupun demikian, Anselmus pergi juga. Ia tinggal bersama paus hingga raja mangkat. Kemudian, ia kembali ke keuskupannya di Inggris.
Bahkan di tengah-tengah segala kesibukannya, St. Anselmus selalu menyempatkan diri untuk menulis. Buah penanya adalah buku-buku filsafat dan teologi yang amat berharga. Ia juga menuliskan banyak nasehat berguna mengenai Tuhan bagi para biarawan. Para biarawan itu amat gembira menerimanya. St. Anselmus sering mengatakan, “Apakah kamu ingin tahu rahasia hidup bahagia dalam biara? Lupakan dunia dan bergembiralah melupakannya. Biara sungguh merupakan surga di bumi bagi mereka yang hidup hanya bagi Yesus.” St. Anselmus wafat pada tanggal 21 April 1109. Ia dinyatakan sebagai Pujangga atau Doktor Gereja oleh Paus Klemens XI pada tahun 1720.
“Kalian mencari Tuhan, dan kalian mengetahui bahwa Ia adalah Yang Mahatinggi, dan karenanya tidaklah mungkin kalian dapat membayangkan sesuatu yang lebih sempurna dari-Nya. Kalian mengetahui bahwa Yang Mahatinggi itu adalah hidup itu sendiri, terang, kebijaksanaan, kebajikan, kebahagiaan kekal, dan rahmat abadi.” ~ St. Anselmus

St. Georgius
St. Georgius biasa digambarkan sedang membunuh seekor naga untuk menyelamatkan seorang wanita cantik. Naga melambangkan kejahatan. Wanita melambangkan kebenaran Allah yang kudus. St. Georgius membunuh sang naga sebab ia telah memenangkan pertarungan melawan iblis.
Tidak banyak yang diketahui mengenai St. Georgius kecuali bahwa ia seorang martir. Ia adalah seorang prajurit dalam bala tentara Diocletian, seorang kaisar kafir. Diocletian amat benci pada umat Kristiani. Ia membunuh setiap orang Kristen yang dijumpainya.
Dikisahkan bahwa St. Georgius adalah salah seorang prajurit kesayangan Diocletian. Ketika Georgius menjadi seorang Kristen, ia menghadap kaisar dan mengecamnya karena tindakannya yang amat kejam. Kemudian, Georgius melepaskan jabatannya dalam dinas tentara Romawi. St. Georgius membayar keberaniannya itu dengan harga yang amat mahal. Ia disiksa dengan kejam lalu dipenggal kepalanya.
Begitu gagah berani dan begitu penuh sukacita St. Georgius menyatakan imannya hingga orang merasa tergugah semangatnya apabila mendengarkan kisah hidupnya. Banyak lagu dan puisi ditulis untuk mengenang kemartirannya. Para tentara, terutama, selalu berdevosi kepadanya. St. Georgius diangkat sebagai santo pelindung Inggris pada tahun 1222.

St. Fidelis dari Sigmaringen
Namanya ialah Mark Rey. Ia dilahirkan di Jerman pada tahun 1578. Mark menuntut ilmu di Universitas Freigburg yang termashyur untuk menjadi seorang pengacara. Semasa masih mahasiswa, ia sering mengunjungi mereka yang sakit dan yang miskin. Setiap hari ia selalu meluangkan waktu untuk berdoa. Saudaranya memutuskan untuk menjadi seorang imam Fransiskan Kapusin. Sebaliknya, Mark menamatkan kuliahnya dan menjadi seorang pengacara terkenal.
Mark seringkali membela perkara kaum miskin yang tidak memiliki uang untuk membayar. Oleh sebab itulah ia dijuluki, “Pengacara Orang Miskin.” Karena Mark seorang yang jujur, ia menjadi muak dengan ketidakjujuran yang terjadi dalam pengadilan. Ia memutuskan untuk mengikuti jejak saudaranya dan menjadi seorang imam. Mark menerima jubahnya dan memilih nama Fidelis, yang berarti “setia.”
Pastor Fidelis bersukacita ketika ia diutus ke Swiss, di sana banyak orang yang memusuhi iman Katolik. Pastor Fidelis ingin memenangkan jiwa mereka dan membawa mereka kembali ke pangkuan Gereja. Khotbah-khotbahnya membawa hasil yang menakjubkan. Banyak orang bertobat. Musuh Gereja Katolik amat marah dengan keberhasilannya.
St. Fidelis tahu bahwa hidupnya ada dalam bahaya, namun demikian ia terus saja berkhotbah. Suatu hari, tengah ia berkhotbah, sebuah peluru ditembakkan, tetapi meleset. Pastor Fidelis tahu bahwa ia harus meninggalkan kota saat itu juga. Dan ia melakukannya, tetapi, saat ia sedang dalam perjalanan ke kota terdekat, gerombolan orang yang marah menghentikannya. Mereka memerintahkannya untuk mengingkari iman Katolik. St. Fidelis menjawab dengan tegas, “Aku tidak akan mengingkari iman Katolik.” Orang-orang menyerangnya dengan tongkat, pentung dan senjata lainnya.
Dalam keadaan terluka sang imam memaksakan dirinya untuk berlutut. Ia berdoa: “Tuhan, ampunilah musuh-musuhku. Mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Tuhan Yesus, kasihanilah aku! Bunda Maria yang kudus, Bundaku, tolonglah aku!” Orang banyak itu kembali menyerangnya hingga mereka yakin bahwa ia sudah tewas.
St. Fidelis wafat sebagai martir pada tahun 1622 dalam usia empat puluh empat tahun. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Benediktus XIV pada tahun 1746.

St. Markus, Pengarang Injil
Markus hidup pada jaman Yesus. Ia bukan salah seorang dari kedua belas rasul Kristus, melainkan saudara sepupu St. Barnabas, rasul. Markus menjadi terkenal karena ia menulis satu dari keempat Injil. Sebab itu ia disebut pengarang Injil. Injil Markus cukup singkat, tetapi memberi banyak keterangan terperinci yang tidak terdapat dalam Injil lainnya. Ketika masih muda, Markus pergi bersama dua rasul besar, Paulus dan Barnabas, dalam suatu perjalanan kerasulan untuk mewartakan ajaran Yesus pada bangsa-bangsa lain. Tetapi, sebelum perjalanan berakhir, tampaknya Markus berselisih dengan St. Paulus. Markus mendadak kembali ke Yerusalem. Paulus dan Markus akhirnya dapat mengatasi perselisihan mereka. Malahan, dari penjara di Roma, Paulus menulis agar Markus datang untuk menghibur serta membantunya.
Markus juga menjadi murid kesayangan St. Petrus, paus pertama. St. Petrus menyebut St. Markus sebagai “anakku.” Karena itu, sebagian orang beranggapan bahwa Petrus hendak mengatakan bahwa dialah yang membaptis Markus. Markus ditahbiskan sebagai uskup dan diutus ke Alexandria, Mesir. Di sana ia mempertobatkan banyak orang. Ia bekerja keras untuk mewartakan kasih bagi Yesus dan Gereja-Nya. Menurut tradisi ia harus mengalami penderitaan yang panjang serta menyakitkan sebelum ia wafat.
Reliqui St. Markus dibawa ke Venesia, Italia. Ia diangkat sebagai santo pelindung kota Venesia. Peziarah pergi ke Basilika St. Markus yang indah untuk menghormatinya serta mohon bantuan doanya.

St. Zita
St. Zita dikenal sebagai santa pelindung para pembantu rumah tangga. Ia dilahirkan di dusun Monte Sagrati, Italia, pada tahun 1218. Orangtuanya sangat saleh dan membesarkan Zita dengan cinta kasih Kristiani. Merupakan tradisi pada waktu itu bahwa keluarga-keluarga miskin akan mengirimkan anak-anak gadis mereka kepada keluarga-keluarga yang terpercaya, yang mampu mempekerjakan mereka. Para gadis itu akan tinggal dalam keluarga tersebut untuk beberapa waktu lamanya dan dipekerjakan untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga. Zita pergi bekerja di rumah keluarga Fatinelli di Lucca ketika usianya dua belas tahun.
Bapak dan Ibu Fatinelli adalah orang yang baik, mereka memiliki beberapa pekerja. Zita senang dapat bekerja dan mengirimkan upahnya kepada orangtuanya. Ia berusaha hidup penuh tanggung jawab. Ia membiasakan diri untuk berdoa di luar jadwal kerjanya. Setiap pagi ia bangun pagi-pagi benar agar dapat ambil bagian dalam perayaan Misa.
Zita seorang pekerja yang rajin. Ia merasa bahwa bekerja adalah bagian dari hidupnya. Tetapi pekerja-pekerja lain iri hati kepadanya. Sedapat mungkin mereka bekerja sedikit saja. Mereka mulai mencari-cari kesalahan Zita serta memusuhinya tanpa sepengetahuan majikan mereka. Zita merasa sedih, tetapi ia berdoa mohon kesabaran. Ia tidak pernah melaporkan mereka. Ia tetap melakukan tugas-tugasnnya sebaik mungkin tanpa peduli pendapat mereka.
Ketika seorang dari para pekerja berusaha menciumnya, Zita melawan. Laki-laki itu meninggalkan ruangan dengan cakaran-cakaran di wajahnya. Bapak Fatinelli menanyai Zita secara pribadi mengenai insiden tersebut. Dengan jujur Zita mengatakan apa yang telah terjadi. Setelah peristiwa itu, Zita diangkat sebagai kepala pengurus rumah tangga. Anak-anak Fatinelli pun dipercayakan kepadanya. Dan yang paling menyenangkan, para pekerja lainnya tidak lagi memusuhinya. Sebagian dari mereka malahan berusaha meniru teladannya.
Zita melewatkan seluruh hidupnya bersama keluarga Fatinelli. Sementara para pekerja lainnya datang dan pergi, ia tetap setia. Ia melayani majikannya dengan cinta kasih. Ia mengasihi mereka seperti ia mengasihi keluarganya sendiri. Dengan teladannya, Zita membantu orang menyadari bahwa bekerja itu menyenangkan apabila dilakukan dengan semangat cinta kasih Kristiani. Zita wafat dengan tenang pada tanggal 27 April 1278 dalam usia enam puluh tahun.

St. Petrus Chanel
St. Petrus Chanel dilahirkan dekat Belley, Perancis pada tahun 1803. Sejak berumur tujuh tahun, ia menggembalakan kawanan domba ayahnya. Meskipun miskin, ia seorang anak yang cerdas dan saleh. Suatu hari, seorang imam paroki yang baik hati berjumpa dengannya. Imam begitu terkesan padanya hingga ia meminta ijin dari orangtuanya agar diperbolehkan menyediakan pendidikan bagi Petrus. Di sekolahnya, dan kelak di seminari, Petrus belajar dengan tekun. Ketika telah ditahbiskan sebagai imam, ia ditugaskan di sebuah paroki di mana hanya ada sedikit umat Katolik yang masih mengamalkan imannya. Pastor Chanel seorang pendoa. Ia baik hati serta lemah lembut pada setiap orang. Hanya dalam waktu tiga tahun, terjadi perubahan besar di paroki. Banyak orang kembali mengasihi Yesus dan Gereja-Nya dengan segenap hati.
St. Petrus sangat ingin menjadi seorang misionaris. Ia bergabung dengan ordo religius Serikat Maria (Misionaris-misionaris Maria). Ia berharap agar diutus untuk mewartakan Injil kepada mereka yang masih belum percaya kepada Tuhan. Beberapa tahun kemudian keinginannya terkabul. Ia dan sekelompok misionaris Maria diutus ke kepulauan Lautan Teduh. Pastor Chanel dan seorang broeder ditugaskan di pulau Futuna. Di sana, penduduk dengan senang hati mendengarkan khotbah Pastor Chanel. “Orang ini mengasihi kita,” demikian kata seorang penduduk. “Dan ia sendiri mengamalkan apa yang ia ajarkan kepada kita.”
Sayang sekali, kepala suku Futuna menjadi iri hati atas keberhasilan sang imam. Ketika puteranya sendiri dibaptis, ia menjadi amat murka. Ia mengirim sepasukan prajurit untuk membunuh sang misionaris. Sementara terbaring sekarat, yang dikatakan imam hanyalah, “Aku baik-baik saja.” St. Petrus Chanel dibunuh pada tanggal 28 April 1841. Tak lama sesudah kemartirannya, seluruh penduduk pulau telah menjadi Kristen. Petrus dinyatakan kudus oleh Paus Pius XII pada tahun 1954.

St. Katarina dari Siena
St. Katarina dilahirkan pada tahun 1347. Santa yang termashyur ini adalah pelindung Italia, tanah airnya. Katarina adalah anak bungsu dalam keluarga yang dikaruniai dua puluh lima anak. Ayah dan ibunya menghendaki agar ia menikah dan hidup bahagia. Tetapi, Katarina hanya ingin menjadi seorang biarawati. Untuk menyatakan tekadnya, ia memotong rambutnya yang panjang dan indah. Ia ingin menjadikan dirinya tidak menarik. Orangtuanya amat jengkel dan seringkali memarahinya. Mereka juga menghukumnya dengan memberinya pekerjaan rumah tangga yang paling berat. Tetapi Katarina pantang menyerah. Pada akhirnya, orangtuanya berhenti menentangnya.
St. Katarina seorang yang amat jujur dan terus terang di hadapan Yesus. Suatu ketika ia bertanya kepada-Nya, “Di manakah Engkau, Tuhan, ketika aku mengalami cobaan yang begitu mengerikan?” Yesus menjawab, “Puteri-Ku, Aku ada dalam hatimu. Aku membuatmu menang dengan rahmat-Ku.” Suatu malam, sebagian besar penduduk Siena ke luar ke jalan-jalan untuk suatu perayaan. Yesus menampakkan diri kepada Katarina yang sedang berdoa seorang diri dalam kamarnya. Bersama Yesus, datang juga Bunda Maria. Bunda Maria memegang tangan Katarina lalu memberikannya kepada Putra-nya. Yesus menyematkan sebentuk cincin di jari tangan Katarina dan ia menjadi pengantin-Nya.
Pada masa itu, Gereja mengalami banyak sekali masalah. Banyak pertikaian terjadi di seluruh Italia. Katarina menulis surat-surat kepada para raja dan ratu. Ia bahkan datang menghadap para penguasa agar berdamai dengan paus dan mencegah peperangan. Katarina meminta paus untuk meninggalkan Avignon, Perancis dan kembali ke Roma untuk memimpin Gereja. Ia mengatakan bahwa itulah yang dikehendaki Allah. Bapa Suci mendengarkan nasehat St. Katarina serta melakukan apa yang dikatakannya.
Katarina tidak pernah lupa bahwa Yesus ada dalam hatinya. Melalui dia, Yesus memelihara orang-orang sakit yang dirawatnya. Melalui dia, Yesus menghibur para tahanan yang dikunjunginya di penjara. Santa besar ini wafat di Roma pada tahun 1380. Usianya baru tiga puluh tiga tahun. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Pius II pada tahun 1461. Pada tahun 1970, Paus Paulus VI mengangkatnya sebagai Pujangga Gereja. St. Katarina menerima kehormatan besar ini karena ia melayani Gereja Kristus dengan gagah berani sepanjang masa hidupnya yang singkat.
“Engkau bagaikan misteri yang dalam sedalam lautan; semakin aku mencari, semakin aku menemukan, dan semakin aku menemukan, semakin aku mencari Engkau. Tetapi, aku tidak akan pernah merasa puas; apa yang aku terima menjadikanku semakin merindukannya. Apabila Engkau mengisi jiwaku, rasa laparku semakin bertambah, menjadikanku semakin kelaparan akan terang-Mu.” ~ St. Katarina dari Siena

S. Pius V
Paus yang kudus ini dilahirkan di Italia pada tahun 1504. Ia dibaptis dengan nama Antonius Ghislieri. Antonius sungguh ingin menjadi seorang imam, tetapi tampaknya angan-angannya itu tidak akan pernah menjadi kenyataan. Orangtuanya miskin. Mereka tidak punya cukup uang untuk menyekolahkannya. Suatu hari, dua orang imam Dominikan datang ke rumahnya dan bertemu dengan Antonius. Para imam itu amat suka kepadanya hingga mereka bersedia mengurus pendidikannya. Demikianlah, pada usia empat belas tahun, Antonius bergabung dalam Ordo Dominikan. Ia memilih nama “Mikhael”. Setelah menamatkan studinya, ia ditahbiskan sebagai imam. Kemudian ia ditahbiskan pula sebagai uskup dan kardinal.
Dengan gagah berani ia mempertahankan ajaran-ajaran Gereja dari mereka yang berusaha menentangnya. Ia senantiasa hidup dengan bermatiraga. Ketika usianya enam puluh satu tahun, ia dipilih menjadi paus. Ia memilih nama Paus Pius V. Dulu ia seorang bocah penggembala domba yang miskin. Sekarang ia adalah pemimpin tertinggi Gereja Katolik di seluruh dunia. Walaupun demikian, paus tetap rendah hati dan sederhana seperti sedia kala. Ia masih mengenakan jubah Dominikan-nya yang putih, jubah tua yang selama ini dikenakannya. Dan tak seorang pun dapat membujuknya untuk menggantinya.
Paus Pius V harus menghadapi banyak tantangan. Ia menimba kekuatan dari salib Yesus. Setiap hari ia merenungkan sengsara dan wafat Kristus. Pada waktu itu, bangsa Turki berusaha menguasai seluruh wilayah Kristen. Mereka mempunyai armada angkatan laut yang hebat di Laut Tengah. Bala tentara Kristen bertempur melawan mereka di suatu wilayah yang disebut Lepanto, dekat Yunani. Sejak saat bala tentaranya keluar untuk berperang, Bapa Suci terus-menerus berdoa rosario. Ia mendorong umatnya untuk melakukan hal yang sama. Puji syukur atas bantuan Bunda Maria, bala tentara Kristen menang mutlak atas musuhnya. Sebagai ungkapan terima kasih kepada Bunda Maria, St. Pius V menetapkan Pesta SP Maria Ratu Rosario yang kita rayakan setiap tanggal 7 Oktober.
Paus Pius V wafat di Roma pada tanggal 1 Mei 1572. Pestanya dirayakan pada hari ini karena tanggal 1 Mei adalah pesta St. Yusuf Pekerja. Pius V dinyatakan kudus oleh Paus Klemens XI pada tahun 1712.
St. Atanasius
Atanasius dilahirkan sekitar tahun 297 di Alexandria, Mesir. Ia membaktikan seluruh hidupnya untuk membuktikan bahwa Yesus adalah sungguh Allah. Hal ini amat penting, karena sekelompok orang yang disebut Arian menyangkalnya. Sebelum ia menjadi seorang imam, Atanasius telah banyak membaca buku tentang iman. Oleh sebab itulah dengan mudah ia dapat menunjukkan kelemahan-kelemahan ajaran bidaah Arian.
Atanasius ditahbiskan sebagai Uskup Agung Alexandria ketika usianya masih belum tiga puluh tahun. Selama empat puluh enam tahun, ia menjadi seorang gembala yang menggembalakan umatnya dengan gagah berani. Empat orang kaisar Romawi tidak dapat memaksanya berhenti menuliskan penjelasan-penjelasannya yang terang dan jelas mengenai iman kita yang kudus. Para musuhnya menganiayanya dengan berbagai cara.
Lima kali ia diusir dari keuskupannya sendiri. Pengasingannya yang pertama berlangsung dua tahun lamanya. Ia dibuang ke kota Trier pada tahun 336. Seorang uskup yang baik, St. Maximinius, menyambutnya dengan hangat. Pengasingan-pengasiangan lainnya berlangsung lebih lama. Atanasius dikejar-kejar oleh orang-orang yang hendak membunuh dia. Di salah satu pengasingannya, para rahib menyembunyikannya di padang gurun selama tujuh tahun. Para musuhnya tidak dapat menemukannya.
Suatu ketika, para prajurit kaisar mengejar Atanasius hingga ke Sungai Nil. “Mereka berhasil mengejar kita!” teriak para sahabat uskup. Tetapi, Atanasius sama sekali tidak khawatir. “Putar balik perahu kita,” katanya tenang, “mari menyongsong mereka.” Para prajurit di perahu yang lain berteriak, “Apakah kalian melihat Atanasius?” Jawab mereka: “Kalian tidak jauh darinya!” Perahu musuh melaju sekencang-kencangnya dan Atanasius pun selamatlah.
Umat di Alexandria mengasihi uskup agung mereka yang baik hati itu. Ia seperti seorang bapa bagi mereka. Sementara tahun-tahun berlalu, mereka menghargainya lebih dan lebih lagi, betapa banyak ia telah menderita bagi Yesus dan Gereja. Umatlah yang mengatur serta mengusahakan agar ia dapat hidup dengan tenang. Ia menghabiskan tujuh tahun terakhir hidupnya dengan tenang bersama mereka. Para musuh tetap mengejarnya, namun tak pernah dapat menemukanya. Selama masa itu, St. Atanasius menulis tentang Riwayat Hidup St. Antonius Pertapa. Antonius telah menjadi sahabat dekatnya sejak Atanasius masih muda. St. Atanasius wafat dalam damai pada tanggal 2 Mei 373. Ia tetap menjadi salah seorang santo terbesar dan tergagah sepanjang masa.

St. Filipus & St. Yakobus
Kedua orang kudus ini termasuk dalam kedua belas rasul Yesus. Filipus merupakan salah seorang dari para rasul-Nya yang pertama. Ia dilahirkan di Betsaida, di wilayah Galilea. Tuhan Yesus bertemu dengannya dan berkata, “Ikutlah Aku!” Filipus sangat bersukacita bersama Yesus. Ia ingin membagikan sukacitanya itu kepada sahabatnya, Natanael. “Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi,” kata Filipus, “yaitu Yesus dari Nazaret.”
St. Filipus Natanael tidak ikut bergembira. Nazaret hanyalah sebuah St. Yakobus Alfeus
kota kecil, dan bukannya suatu kota besar dan penting seperti Yerusalem. Jadi, kata Natanael, “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” Tetapi, Filipus tidak marah mendengar jawaban sahabatnya itu. Ia hanya mengatakan, “Mari dan lihatlah!” Natanael pergi menjumpai Yesus. Setelah berbicara dengan-Nya, Natanael juga menjadi seorang pengikut Kristus yang setia.
St. Yakobus adalah putera Alfeus dan saudara sepupu Yesus. Setelah kenaikan Yesus ke surga, Yakobus menjadi Uskup Yerusalem. Orang banyak sangat menghormatinya dan memberinya julukan “Yakobus si Adil,” yang berarti “Yakobus yang Kudus.” Ia juga dijuluki “Yakobus Muda,” karena ia lebih muda dari seorang rasul lainnya yang juga bernama Yakobus. Yakobus yang lain itu dijuluki “Yakobus Tua” karena ia lebih tua usianya.
St. Yakobus seorang yang lemah lembut dan pemaaf. Ia menghabiskan banyak waktunya untuk berdoa. Terus-menerus ia memohon kepada Tuhan untuk mengampuni mereka yang menganiaya para pengikut Kristus. Bahkan ketika para penganiaya umat Kristen menjatuhkan hukuman mati atasnya, Yakobus memohonkan ampun bagi mereka kepada Tuhan. St. Yakobus wafat sebagai martir pada tahun 62.

B. Katarina dari St. Agustinus
Katarina dilahirkan pada tanggal 3 Mei 1632 di sebuah desa kecil di Perancis. Ia dibaptis pada hari itu juga. Keluarga Katarina adalah keluarga Katolik yang saleh. Kakek dan neneknya memberikan teladan terutama dalam ketulusan mereka merawat orang-orang miskin. Katarina menyaksikan dengan mata terbelalak sementara neneknya mengajak seorang pengemis cacat masuk ke dalam rumah mereka. Neneknya itu mempersilakan sang pengemis mandi, memberinya pakaian bersih serta menyediakan hidangan lezat. Ketika Katarina dan kakek neneknya duduk bersama sekeliling perapian malam itu, mereka mendaraskan doa Bapa Kami keras-keras. Mereka mengucap syukur kepada Tuhan atas segala berkat-Nya.
Karena tidak tersedia rumah sakit di kota mereka yang kecil, orang-orang sakit dirawat hingga sembuh kembali di rumah kakek nenek Katarina. Katarina mulai menyadari bahwa penyakit dan penderitaan membutuhkan kesabaran. Ia masih seorang gadis kecil, tetapi ia berdoa mohon pada Yesus agar mengurangi penderitaan orang-orang. Ketika masih gadis belia, Katarina bergabung dalam ordo baru Biarawati Santo Agustinus. Mereka merawat orang-orang sakit di rumah sakit. Suster Katarina menerima jubahnya pada tanggal 24 Oktober 1646. Pada hari yang sama, kakak perempuannya mengucapkan kaulnya. Pada tahun 1648, Sr Katarina mendengar para imam misionaris meminta para biarawati untuk datang ke Perancis Baru atau Kanada, yang merupakan daerah misi. Saudari Katarina dipilih sebagai salah seorang dari para biarawati pertama dari ordo mereka yang akan pergi sebagai misionaris ke Kanada. Sr Katarina belum genap enambelas tahun usianya, tetapi ia mohon dengan sangat agar diperkenankan ikut serta. Sr Katarina mengucapkan kaulnya pada tanggal 4 Mei 1648. Keesokan harinya ia berlayar ke Kanada, yaitu sehari sebelum ulang tahunnya yang keenambelas.
Perjuangan hidup terasa berat di Quebec, Kanada. Sr Katarina mengasihi masyarakat di sana. Orang-orang Indian sangat berterimakasih atas sikapnya yang riang gembira. Ia memasak dan merawat mereka yang sakit di rumah sakit ordo mereka yang miskin. Tetapi, Sr Katarina merasa takut juga. Orang-orang Indian dari suku Iroquois membantai orang serta membakar desa-desa. Katarina berdoa kepada St. Yohanes Brebeuf, salah seorang dari para imam Yesuit yang belum lama dibunuh oleh suku Iroquois pada tahun 1649. Ia berdoa mohon bantuan St. Brebeuf agar ia setia pada panggilannya. Sr Katarina mendengarnya berbicara dalam hatinya, memintanya untuk tetap tinggal. Sementara itu, makanan mulai sulit didapat dan musim dingin luarbiasa menggigit. Sebagian dari para biarawati tidak tahan menghadapi kehidupan yang keras itu, ditambah lagi rasa takut yang terus-menerus karena ancaman maut. Sayang sekali, mereka kembali ke Perancis. Sr Katarina juga takut. Kadang-kadang ia merasa sungguh sulit berdoa. Dan sementara ia tersenyum kepada semua orang yang ia rawat dengan penuh kasih sayang di bangsal-bangsal rumah sakit, ia merasa sedih. Pada saat itulah, ketika segalanya tampak gelap baginya, ia mengucapkan janji untuk tidak pernah meninggalkan Kanada. Ia berjanji untuk tetap tinggal, melakukan karya belas kasihannya hingga akhir hayat. Saat mengucapkan janjinya, Katarina baru berusia duapuluh dua tahun.
Meskipun orang harus dengan usaha keras merintis kehidupan di koloni Perancis itu, banyak juga pendatang. Gereja berkembang. Tuhan memberkati daerah baru tersebut dengan lebih banyak misionaris. Pada tahun 1665, Sr Katarina menjadi pembimbing novis dalam komunitasnya. Ia tetap membaktikan dirinya dalam doa dan pelayanan rumah sakit hingga akhir hidupnya. Sr Maria Katarina dari St. Agustinus wafat pada tanggal 8 Mei 1668. Usianya tiga puluh enam tahun. Ia dinyatakan sebagai “beata” oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1989.

B. Damianus de Veuster
Yoseph “Jeff” de Veuster dilahirkan pada tahun 1840, putera seorang petani Belgia. Jeff dan saudara laki-lakinya, Pamphile, masuk Kongregasi Hati Kudus Yesus. Para misionaris Hati Kudus Yesus berkarya demi iman Katolik di kepulauan Hawaii. Jeff memilih nama “Damian.” Broeder Damian seorang yang tinggi dan gagah. Tahun-tahun yang dilewatkannya dengan bekerja di pertanian keluarga telah menjadikan tubuhnya sehat dan kuat. Semua orang sayang padanya, sebab ia baik serta murah hati.
Hawaii membutuhkan lebih banyak misionaris berkarya di sana. Jadi, pada tahun 1863, serombongan imam serta broeder Hati Kudus Yesus dipilih untuk diutus ke sana. Pamphile, saudara Damian, termasuk salah seorang di antara mereka. Beberapa saat menjelang keberangkatan, Pamphile terserang demam typhoid. Ia tidak lagi dapat dipertimbangkan untuk diberangkatkan ke daerah misi. Broeder Damian, yang saat itu masih dalam pendidikan untuk menjadi imam, mohon agar diijinkan menggantikan tempatnya. Imam kepala mengabulkan permohonannya. Broeder Damian pulang ke rumah untuk mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya. Kemudian ia menumpang kapal dari Belgia ke Hawaii, suatu perjalanan yang memakan waktu delapan belas minggu lamanya. Damian menyelesaikan pendidikannya dan ditahbiskan sebagai imam di Hawaii. Ia berkarya selama delapan tahun di tengah umatnya di tiga daerah. Ia melakukan perjalanan dengan menunggang kuda atau dengan kano (= semacam sampan).
Umat menyayangi imam yang berperawakan tinggi dan murah hati ini. Damian melihat bahwa umatnya senang ikut ambil bagian dalam Misa dan ibadat. Ia menggunakan sedikit uang yang berhasil dikumpulkannya untuk membangun kapel. Ia sendiri bersama umat paroki setempat membangun kapel mereka.
Bagian paling mengagumkan dalam hidup Damian akan segera dimulai. Uskup meminta seorang imam sukarelawan untuk pergi ke pulau Molokai. Nama itu membuat orang bergidik ketakutan. Mereka tahu bahwa bagian dari pulau itu yang disebut Kalawao merupakan “kuburan hidup” bagi orang-orang kusta. Tidak banyak yang diketahui tentang penyakit kusta dan rasa ngeri terjangkiti kusta menyebabkan para penderitanya dikucilkan. Banyak di antara mereka yang hidup putus asa. Tidak ada imam, tidak ada penegak hukum di Molokai, tidak ada fasilitas kesehatan. Pemerintah Hawaii mengirimkan makanan serta obat-obatan, tetapi jumlahnya tidak mencukupi. Lagi pula tidak ada sarana yang dikoordinir untuk membagikan barang-barang tersebut.
Pastor Damian pergi ke Molokai. Ia terguncang melihat kemelaratan, korupsi serta keputusasaan di sana. Walau demikian, ia bertekad bahwa baginya tidak ada kata menyerah. Penduduk Molokai sungguh amat membutuhkan pertolongan. Pastor Damian pergi ke Honolulu guna berhadapan dengan anggota majelis kesehatan. Mereka mengatakan bahwa Pastor Damian tidak diijinkan pulang pergi ke Molokai demi alasan bahaya penularan kusta. Alasan sesungguhnya adalah bahwa mereka tidak menghendaki kehadirannya di Molokai. Ia akan menimbulkan banyak masalah bagi mereka. Jadi, Pastor Damian harus menetapkan pilihan: jika ia kembali ke Molokai, ia tidak akan pernah dapat meninggalkan tempat itu lagi. Para majelis kesehatan itu rupanya belum mengenal Pastor Damian. Ia memilih untuk tinggal di Molokai!
Pastor Damian berkarya delapan belas tahun lamanya hingga wafatnya di Molokai. Dengan bantuan para penderita kusta dan para sukarelawan, Molokai mulai berubah. Kata Molokai mempunyai arti yang sama sekali baru. Pulau Molokai menjadi pulau cinta kasih Kristiani. Lama kelamaan, Pastor Damian juga terjangkit penyakit kusta. Ia wafat pada tangal 15 April 1889 dalam usia empat puluh sembilan tahun dan dimakamkan di sana. Ia dinyatakan “beato” oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1994.

St. Antoninus
St. Antoninus hidup pada abad kelima belas. Sejak kecil ia telah menunjukkan bahwa ia memiliki kehendak baik serta kemauan keras. Menurut cerita, ketika usianya lima belas tahun, ia mohon diijinkan masuk biara Dominikan. Ia tampak muda dan kecil. Bapa Prior (pemimpin biara) berpikir sejenak dan kemudian berkata, “Aku akan menerimamu apabila kamu telah hapal `Dekret Gratia’ di luar kepala. `Dekret Gratia’ adalah sebuah buku yang tebalnya beberapa ratus halaman. Jadi, dengan kata lain, prior mengatakan “tidak” kepada Antoninus.
Tetapi, Antoninus menerima tantangan itu. Satu tahun kemudian dia kembali. Sulit dibayangkan betapa terperanjatnya Bapa Prior ketika mengetahui bahwa Antoninus telah menghafalkan seluruh dekret! Tak diragukan lagi, seketika itu juga ia diterima. (Namun demikian, bukanlah kemampuannya menghafal yang mengubah pikiran Prior, melainkan karena ia telah membuktikan kesungguhannya dalam menjawab panggilan hidupnya).
Meskipun usianya baru enam belas tahun, Antoninus terus mengejutkan banyak orang dengan cara hidupnya di biara. Sementara ia semakin dewasa, jabatan-jabatan penting silih berganti dipercayakan kepadanya. Antoninus menanamkan pengaruh yang baik kepada para rekan biarawan Dominikan. Mereka mengasihi serta menghormatinya. Hal ini terlihat nyata dalam hidup Beato Antonius Neyrot yang pestanya kita rayakan pada tanggal 10 April.

Pada bulan Maret 1446, Antoninus ditahbiskan sebagai Uskup Agung Florence, Italia. “Bapa kaum miskin” adalah julukan yang diberikan orang kepadanya. Tidak pernah ia menolak untuk memberikan pertolongan kepada siapa pun. Apabila ia tidak lagi mempunyai uang, ia akan memberikan pakaiannya, sepatunya, perabotannya atau satu-satunya keledainya. Berulang kali keledainya itu dijualnya untuk menolong orang lain. Dan berulang kali pula keledai itu ditebus oleh orang-orang kaya dan dikembalikan padanya. Tentu saja, ia akan menjualnya lagi untuk menolong orang-orang yang lain lagi! Seringkali St. Antoninus mengatakan, “Seorang penerus para rasul hendaknya tidak memiliki apa pun kecuali kekayaan kebajikan.” St. Antoninus wafat pada tahun 1459. Ia dinyatakan kudus pada tahun 1523.

“Seorang penerus para rasul hendaknya tidak memiliki apa pun kecuali kekayaan kebajikan.” ~ St. Antoninus

St. Ignasius dari Laconi
Ignasius adalah putera seorang petani miskin di Laconi, Italia. Ia dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1701. Ketika usianya sekitar tujuh belas tahun, ia sakit parah. Ia berjanji, apabila ia sembuh kembali, ia akan menjadi seorang Fransiskan. Tetapi, ketika ia sungguh sembuh dari sakitnya, ayahnya meyakinkannya untuk menunda janjinya itu. Beberapa tahun kemudian, Ignasius nyaris tewas ketika ia kehilangan kendali atas kudanya. Namun, sekonyong-konyong, kuda itu berhenti berlari dan berderap dengan tenang. Ignasius yakin bahwa Tuhan telah menyelamatkan nyawanya. Ia bertekad untuk segera mengikuti panggilan hidup religiusnya.
Broeder Ignasius tidak pernah menduduki jabatan penting dalam Ordo Fransiskan. Selama lima belas tahun ia bekerja di bangsal anyaman. Kemudian, selama empat puluh tahun lamanya, ia termasuk dalam kelompok biarawan yang pergi meminta sedekah dari satu rumah ke rumah lainnya. Mereka menerima makanan dan derma demi kepentingan biara. Ignasius mengunjungi keluarga-keluarga serta menerima derma mereka. Orang banyak segera menyadari bahwa mereka menerima suatu pemberian pula sebagai balasannya. Broeder Ignasius menghibur mereka yang sakit dan menggembirakan hati mereka yang kesepian. Ia mendamaikan orang-orang yang bermusuhan, mempertobatkan mereka yang keras hati karena dosa, dan juga memberikan nasehat bagi mereka yang ditimpa masalah. Orang banyak mulai menanti-nantikan kunjungannya.
Namun demikian, Broeder Ignasius mengalami saat-saat sulit pula. Kadang-kadang pintu dibanting di mukanya, juga seringkali cuaca buruk menghambat langkahnya. Selalu, bermil-mil jauhnya jarak yang harus ditempuhnya dengan berjalan kaki. Tetapi, Igansius seorang yang penuh pengabdian.
Orang mulai memperhatikan bahwa Ignasius biasa melewatkan suatu rumah tertentu. Pemilik rumah itu adalah seorang lintah darat yang kaya. Ia memaksa orang-orang miskin membayar hutangnya jauh melebihi kemampuan mereka. Lintah darat ini merasa terhina karena Ignasius tidak pernah mengunjungi rumahnya untuk meminta sedekah. Ia melaporkan Broeder Ignatius kepada pemimpin biara. Bapa Prior, yang tidak mengetahui masalah ini, mengutus Ignasius ke rumahnya. Ignasius tidak mengatakan sesuatu pun; ia melakukan seperti yang diperintahkan kepadanya dan kembali dengan satu karung besar makanan. Pada saat itulah Tuhan mengadakan mukjizat. Ketika karung itu dibongkar, darah mulai menetes. “Inilah darah kaum miskin,” kata Ignatius perlahan, “Oleh sebab itulah saya tidak pernah meminta sedekah dari rumah itu.” Kemudian, para rahib pun mulai berdoa demi bertobatnya sang lintah darat.
Broeder Ignatius wafat dalam usia delapan puluh tahun pada tanggal 11 Mei 1781. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Pius XII pada tahun 1951.

St. Andreas Fournet
St. Andreas Fournet dilahirkan pada tanggal 6 Desember 1752. Ia berasal dari Maille, sebuah kota kecil dekat Poitiers, Perancis. Kedua orangtuanya amat saleh. Ibu Fournet sangat mendambakan agar puteranya kelak menjadi seorang imam. Andreas kecil tidak terlalu peduli dengan keinginan ibunya itu. Suatu kali ia berkata, “Aku seorang anak yang baik, tetapi, tetap saja aku tidak mau menjadi seorang imam atau pun rahib.”
Ketika dewasa, Andreas pergi ke Poitiers untuk belajar di perguruan tinggi. Tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Ia terlalu banyak bersenang-senang. Ibunya menyusul dan mendapatkan pekerjaan-pekerjaan baik untuknya. Tetapi semuanya gagal. Ibunya sangat bingung. Hanya tinggal satu kesempatan yang ada. Ibunya berbicara kepada Andreas agar untuk sementara waktu ia tinggal bersama pamannya, seorang imam. Paroki di mana pamannya bertugas adalah paroki yang miskin, tetapi pamannya seorang yang kudus. Di luar dugaan, Andreas setuju. Itulah saat “Tuhan bertindak.”
Pamannya mengenali sifat-sifat baik dalam diri Andreas. Teladan hidup pamannya telah menyulut sesuatu dalam dirinya sehingga ia merasa tenang. Andreas mulai belajar dengan tekun untuk mengejar ketinggalannya. Kemudian, ia ditahbiskan sebagai imam dan ditugaskan di paroki pamannya. Pada tahun 1781, ia dipindahkan ke paroki kota asalnya di Maille. Ibunya amat bahagia. Andreas menjadi seorang imam yang penuh belas kasih dan tekun berdoa.
Ketika pecah Revolusi Perancis, St. Andreas menolak untuk bersumpah menentang Gereja. Oleh karena itu, ia menjadi buron. Pada tahun 1792, ia terpaksa melarikan diri ke Spanyol. Di sana ia tinggal selama lima tahun. Tetapi, ia khawatir akan umatnya dan kembali lagi ke Perancis. Bahaya masih terus mengancamnya. Pastor Fournet dilindungi oleh umatnya. Beberapa kali ia nyaris tewas. Sementara itu, ia mendengarkan pengakuan dosa, merayakan Ekaristi, dan menerimakan Sakramen Terakhir.
Ketika pada akhirnya Gereja bebas kembali, St. Andreas keluar dari persembunyiannya. Ia senantiasa mendorong umatnya untuk mencintai serta melayani Tuhan. Salah seorang dari para wanita yang baik di sana, St. Elisabet Bichier des Ages, banyak memberikan bantuan kepadanya. Bersama-sama, mereka membentuk suatu ordo bagi para wanita yang diberi nama Kongregasi Puteri-puteri Salib.
St. Andreas wafat pada tanggal 13 Mei 1834, dalam usia delapan puluh dua tahun. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Pius XI pada tanggal 4 Juni 1933.

St. Matias, Rasul
St. Matias adalah salah seorang dari ketujuh puluh dua murid Kristus. Ia menjadi pengikut Kristus sejak Kristus tampil di hadapan orang banyak. St. Petrus meminta keseratus dua puluh murid untuk bersekutu dalam doa guna memilih seorang rasul untuk menggantikan Yudas. Hal ini amatlah penting karena calon yang terpilih nantinya akan menduduki jabatan uskup, sama seperti para rasul lainnya. Petrus mengatakan bahwa calon haruslah orang yang senantiasa bersama Yesus sejak dari pembaptisan-Nya di Sungai Yordan hingga kebangkitan-Nya.
Bab pertama dalam Kisah Para Rasul mengisahkan bahwa para murid mengusulkan dua nama. Yang satu Matias, dan yang lain Yusuf, yang disebut juga Barsabas atau Yustus. Keduanya, baik Matias maupun Yusuf, amat dihormati oleh para pengikut Kristus. Jadi, sekarang mereka memiliki dua calon untuk menggantikan Yudas; padahal mereka hanya membutuhkan seorang saja. Jika demikian, apa yang harus dilakukan? Sederhana saja. Mereka berdoa dan membuang undi. Matias-lah yang terpilih.
St. Matias adalah seorang rasul yang amat baik. Ia mewartakan Kabar Gembira di wilayah Yudea. Kemudian, ia melanjutkan perjalanannya ke Cappadocia (sekarang Turki). Banyak orang mendengarkan Matias. Mereka percaya akan pesannya yang mengagumkan. Para musuh Kristus amat geram melihat orang banyak mendengarkan Matias. Mereka berusaha menghentikannya. Akhirnya, Matias wafat sebagai martir.

St. Isidorus si Petani
Orang kudus ini dilahirkan pada tahun 1070 di Madrid, Spanyol. Kedua orangtuanya amat saleh. Mereka memberi nama putera mereka: Isidorus, sesuai nama Uskup Agung Seville, Spanyol. Orangtua Isidorus ingin memberikan pendidikan terbaik bagi putera mereka, tetapi mereka tidak mampu. Mereka hanyalah petani penggarap. Putera mereka kelak juga akan melewatkan masa hidupnya dengan mata pencaharian yang sama.
Isidorus bekerja untuk Yohanes de Vargas, seorang tuan tanah yang kaya di Madrid. Ia bekerja untuk Tuan de Vargas sepanjang hidupnya. Isidorus menikah dengan seorang gadis yang baik dari keluarga yang miskin seperti keluarganya. Keduanya saling mengasihi. Mereka mempunyai seorang putera yang meninggal pada waktu masih bayi. Isidorus dan isterinya mempersembahkan kepada Yesus segala kepedihan dan duka mereka oleh karena kepergian putera mereka. Mereka percaya bahwa putera mereka telah berbahagia bersama Tuhan untuk selamanya.
Setiap hari, St. Isidorus memulai harinya dengan merayakan Misa. Kemudian, barulah ia pergi bekerja. Ia selalu bekerja giat, meski terkadang ia merasa kurang bersemangat. Ia membajak, dan menanam, serta berdoa. Ia berseru kepada Bunda Maria, para kudus dan juga malaikat pelindungnya. Mereka membantunya menjadikan hari-harinya yang biasa menjadi hari-hari yang istimewa, penuh sukacita. Dunia iman menjadi amat nyata bagi St. Isidorus, sama nyatanya dengan pertanian Tuan de Vargas. Apabila ia memperoleh hari libur, Isidorus berusaha melewatkan lebih banyak waktu untuk bersembah sujud kepada Yesus di gereja. Kadang-kadang, pada hari-hari libur, Isidorus bersama isterinya pergi mengunjungi beberapa paroki sekitar dalam suatu ziarah doa satu hari.
Suatu ketika, gereja paroki mengadakan pesta. Isidorus datang lebih awal dan masuk dalam gereja untuk berdoa. Ia datang terlambat ke balai paroki. Tetapi, ia tidak sendirian. Ia mengajak serta sekelompok pengemis juga. Umat menjadi kecewa. Bagaimana jika makanan yang tersedia tidak cukup untuk semua pengemis itu? Tetapi, semakin banyak mereka mengisi piring-piring mereka, semakin banyak makanan tersedia bagi semua yang hadir. Dengan lembut St. Isidorus berkata, “Akan senantiasa tersedia cukup makanan bagi orang-orang miskin milik Yesus.”
Cerita-cerita tentang keajaiban yang terjadi lewat petani kudus ini mulai tersiar. Isidorus sama sekali bukan seorang yang mementingkan diri sendiri. Ia seorang yang lemah lembut dan penuh belas kasih. Isidorus adalah salah seorang santo dari Spanyol yang paling populer. Ia wafat pada tanggal 15 Mei 1130. Pada bulan Maret 1622, Paus Gregorius XV mengumumkan kanonisasi atas lima orang kudus yang besar. Mereka adalah St. Ignatius dari Loyola, St. Fransiskus Xaverius, St. Theresia dari Avila, St. Filipus Neri dan St. Isidorus si Petani.

St. Paskalis Baylon
Paskalis, seorang kudus dari Spanyol, dilahirkan pada tahun 1540. Sejak usia tujuh tahun, ia bekerja sebagai gembala. Ia tidak pernah punya kesempatan untuk bersekolah. Namun demikian, ia belajar sendiri membaca dan menulis. Ia bertanya kepada siapa saja yang ia jumpai untuk membantunya belajar. Ia belajar dengan giat, agar supaya ia dapat membaca buku-buku rohani. Ia membisikkan doa-doa sepanjang hari sementara ia menggembalakan dombanya.
Ketika berusia dua puluh empat tahun, bocah gembala itu menjadi seorang broeder Fransiskan. Teman-temannya suka padanya. Paskalis seorang yang mudah bergaul dan juga seorang yang lembut hati. Rekan biarawan memperhatikan bahwa seringkali ia mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang paling berat dan tidak menyenangkan. Paskalis melakukan mati raga, bahkan lebih keras dari yang ditetapkan dalam peraturan biara. Namun demikian, ia seorang yang senantiasa bersukacita. Dulu, ketika masih seorang gembala, ia merindukan berada di gereja untuk berdoa kepada Yesus. Tetapi, tidak bisa. Sekarang, ia bisa. Jadi, ia sangat senang menemani Kristus dalam Sakramen Mahakudus. Ia juga diijinkan menjadi pelayan Misa.
Dua hal yang amat dicintai Paskalis adalah: Ekaristi Kudus dan Bunda Maria. Setiap hari Paskalis berdoa rosario dengan cinta yang amat besar. Ia juga menuliskan doa-doa yang indah kepada Bunda Surgawi kita.
St. Paskalis membuat sebuah buku kecil dari kertas-kertas buram. Dalam buku catatannya, ia menuliskan pemikiran-pemikirannya dan doa-doanya yang indah. Setelah ia wafat, pemimpin biaranya menunjukkan buku catatan Paskalis pada uskup agung setempat. Bapa Uskup membacanya dan berkata, “Jiwa-jiwa bersahaja ini telah mencuri surga dari kita!”
Paskalis wafat pada tahun 1592 dalam usia lima puluh dua tahun. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Alexander VIII pada tahun 1690.

St. Selestin V
Petrus di Morone adalah anak kesebelas dari duabelas bersaudara. Ia dilahirkan sekitar tahun 1210 di Isernia, Italia. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Keluarganya miskin, tetapi ibunya membesarkan putera-puterinya dengan cinta yang besar. Ibunya menyekolahkan Petrus karena anak itu menunjukkan niat dan minat yang besar untuk belajar. Suatu ketika, seperti biasa ibunya bertanya, “Siapakah di antara kalian yang akan menjadi seorang santo atau santa?” Petrus kecil, yang kelak menjadi Paus Selestin V, menjawab dengan segenap hati, “Aku, mama! Aku akan menjadi seorang santo!” Dan memang demikian. Tetapi, hal itu tidaklah mudah.
Ketika usianya dua puluh tahun, Petrus menjadi seorang rahib. Ia menghabiskan hari-harinya dengan berdoa, membaca Kitab Suci dan mengerjakan tugas-tugasnya. Para rahib yang lain biasa datang kepadanya untuk meminta nasehat dan bimbingannya. Lama-kelamaan, Petrus membentuk suatu ordo baru bagi para rahib.
Ketika Petrus berusia delapan puluh empat tahun, ia ditahbiskan sebagai paus. Penobatannya melalui seuatu cara yang amat tidak lazim. Selama dua tahun lebih Gereja tidak memiliki paus. Hal ini terjadi karena para kardinal saling tidak sependapat akan calon yang hendak dipilih. Petrus mengirimkan pesan kepada mereka. Ia mengingatkan mereka untuk segera mengambil keputusan, sebab Tuhan tidak akan senang dengan penundaan yang terlalu lama. Para kardinal melakukan nasehatnya. Seketika itu juga mereka memutuskan Petrus sang rahib untuk menjadi paus! Orang tua yang malang itu menangis ketika mendengar keputusan itu. Dengan sedih ia menerimanya dan memilih nama Selestin V. Ia hanya memangku jabatan Paus selama lima bulan saja. Oleh sebab ia begitu rendah hati dan sederhana, banyak orang memanfaatkannya. Ia tidak dapat mengatakan “tidak” kepada siapa pun. Segera saja terjadilah kekacauan. Paus Selestin merasa bertanggung jawab atas semua masalah yang timbul. Ia memutuskan bahwa hal terbaik yang dapat dilakukannya bagi Gereja adalah menyerahkan kembali jabatannya. Dan ia melakukannya. Ia minta maaf karena tidak dapat memimpin Gereja dengan baik.
Hal yang didambakan Selestin hanyalah tinggal di salah satu biaranya dengan tenang dan damai. Tetapi paus yang baru, Paus Bonifasius VIII, beranggapan bahwa akan lebih aman apabila Selestin tinggal di sebuah kamar kecil di salah satu istana Romawi. St. Selestin menghabiskan sepuluh bulan terakhir hidupnya di sebuah sel sederhana. Tetapi, ia membuat dirinya sendiri bergembira. “Yang engkau inginkan hanyalah sebuah sel, Petrus,” demikian katanya berulang kali kepada dirinya sendiri. “Nah, sekarang kau telah mendapatkannya.” St. Selestin wafat pada tanggal 19 Mei 1296. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Klemens VI pada tahun 1313.

St. Bernardinus dari Siena
St. Bernardinus dilahirkan pada tahun 1380 di sebuah kota dekat Siena, Italia. Ia putera seorang gubernur Italia. Kedua orangtuanya meninggal dunia ketika usianya baru tujuh tahun. Kerabatnya mengasihi dia seperti puteranya sendiri. Mereka juga memberikan pendidikan yang baik baginya. Bernardinus tumbuh menjadi seorang pemuda yang tinggi dan tampan. Ia seorang yang menyenangkan, teman-temannya suka padanya. Apabila sedang bersamanya, teman-temannya itu tidak akan berani mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, sebab Bernardinus tidak akan tahan mendengarnya. Dua kali seorang teman berusaha membujuknya berbuat dosa, Bernardinus langsung meninju serta mengusirnya pergi.
Orang kudus kita ini mempunyai cinta yang istimewa pada Bunda Maria. Bunda Maria-lah yang senantiasa menjaganya agar tetap murni. Semenjak ia remaja, Bernardinus berdoa kepadanya seperti seorang anak berbicara kepada ibunya.
Bernardinus seorang yang lembut hati. Ia penuh belas kasihan pada mereka yang miskin. Suatu ketika, bibinya tidak mempunyai makanan lebih untuk diberikan kepada pengemis. Bernardinus kecil menangis, “Aku lebih suka tidak makan daripada membiarkan orang miskin itu pergi dengan tangan kosong.” Ketika suatu wabah menyerang daerahnya pada tahun 1400, Bernardinus dan teman-temannya bekerja sebagai sukarelawan di rumah sakit. Mereka merawat orang-orang yang sakit dan yang menjelang ajal mulai pagi hingga petang, selama enam minggu lamanya hingga wabah berakhir.
Bernardinus bergabung dengan Ordo Fransiskan ketika ia berusia dua puluh dua tahun. Kemudian ia ditahbiskan sebagai imam. Beberapa tahun kemudian, ia ditugaskan pergi ke kota-kota dan desa-desa untuk mewartakan Injil. Umat pelu diingatkan kembali akan cinta Yesus. Pada masa itu, kebiasaan-kebiasaan buruk merusak baik kaum muda maupun tua. “Bagaimana aku dapat menyelamatkan orang-orang ini sendirian?” Bernardinus bertanya pada Tuhan dalam doa. “Dengan senjata apakah aku dapat melawan kejahatan?” Dan Tuhan menjawab, “Nama-Ku yang Kudus sudah cukup bagimu.” Maka, Bernardinus menyebarluaskan devosi kepada Nama Yesus yang Kudus. Berulang kali ia menggunakan Nama-Nya di setiap khotbah. Ia meminta umat untuk menuliskan Nama Yesus di gerbang-gerbang kota, di pintu keluar-masuk, di mana saja. Melalui devosi kepada Nama Yesus yang Kudus dan melalui devosi kepada Bunda Maria, Bernardinus berhasil membawa ribuan orang dari seluruh penjuru Italia kembali ke pangkuan Gereja.
St. Bernardinus melewatkan empat puluh dua tahun dari masa hidupnya sebagai seorang imam Fransiskan. Ia wafat dalam usia enam puluh empat tahun di Aquila, Italia, pada tanggal 20 Mei 1444. Ia dinyatakan kudus hanya enam tahun kemudian, yaitu pada tahun 1450, oleh Paus Nikolas V.

“Apabila engkau berbicara tentang Tuhan, berbicaralah dengan cinta. Apabila engkau berbicara tentang dirimu sendiri, berbicaralah dengan cinta. Berhati-hatilah agar tidak ada yang lain dalam dirimu selain cinta, cinta, dan cinta.” ~ St. Bernardinus dari Siena.

St. Rita dari Cassia
Rita dilahirkan pada tahun 1381 di sebuah dusun kecil di Italia. Kedua orangtuanya sudah tua. Telah lama mereka mohon pada Tuhan agar dikaruniai seorang anak. Ketika Rita lahir, mereka membesarkan Rita dengan kasih sayang. Ketika usianya lima belas tahun, Rita ingin masuk biara, tetapi orangtuanya menetapkan bahwa ia harus berumah tangga. Pria yang mereka pilih menjadi suami Rita ternyata seorang yang kejam serta tidak setia. Perangainya yang kasar membuat semua tetangga takut padanya. Namun demikian, selama delapan belas tahun lamanya, isterinya dengan sabar menanggung segala makian. Berkat doa-doanya, kelembutan serta kebaikan hatinya, pada akhirnya ia dapat melunakkan hati suaminya. Suaminya minta maaf pada Rita atas segala perlakuannya dan bersedia kembali ke jalan Tuhan.
Kebahagiaan Rita atas pertobatan suaminya tidak berlangsung lama. Suatu hari, tak lama kemudian, suaminya dibunuh. Rita terpukul dan putus asa. Ia mengampuni para pembunuhnya dan berusaha agar kedua puteranya juga mau mengampuni mereka. Tetapi, ia melihat tekad kedua puteranya untuk balas dendam atas kematian ayah mereka. Rita berdoa agar kedua puteranya itu lebih baik mati saja daripada membunuh. Dalam beberapa bulan, kedua puteranya sakit parah. Rita merawat mereka dengan kasih sayang. Selama mereka sakit, ia membujuk mereka untuk mengampuni orang lain serta mohon pengampunan Tuhan bagi diri mereka sendiri. Mereka mematuhi nasehat ibunya dan meninggal dalam damai.
Sekarang, suami maupun anak-anaknya telah meninggal dunia. Sebatang kara di dunia, tiga kali Rita berusaha agar dapat diterima di biara di Cassia. Peraturan biara di sana tidak mengijinkan seorang wanita yang telah menikah bergabung bersama mereka, meskipun suaminya telah meninggal dunia. Rita pantang menyerah. Pada akhirnya, para biarawati membuat suatu perkecualian baginya. Di biara, Rita amat menonjol dalam ketaatan dan belas kasihan. Ia memiliki devosi yang amat mendalam kepada Yesus tersalib. Satu ketika, pada saat berdoa, ia mohon pada Yesus agar diijinkan ikut merasakan kepedihan luka-luka-Nya. Suatu duri dari mahkota duri-Nya menusuk keningnya dan menimbulkan luka yang tak pernah dapat disembuhkan. Malahan, luka itu semakin buruk keadaannya dan mengeluarkan bau tak sedap, sehingga St. Rita harus menjauh dari para biarawati lainnya. Ia bahagia dapat menderita sebagai bukti cintanya kepada Yesus.
St. Rita wafat pada tanggal 22 Mei 1457 dalam usia tujuh puluh enam tahun. Sama seperti St. Yudas Tadeus, St. Rita sering dijuluki “Santa atas Hal-hal yang Mustahil.”

St. Yohanes Baptis Rossi
Yohanes Baptis Rossi dilahirkan pada tahun 1698 di sebuah desa dekat Genoa, Italia. Keluarganya amat mengasihinya. Mereka bangga ketika sepasang suami isteri kaya yang mengunjungi desa mereka menawarkan pendidikan bagi Yohanes. Orangtuanya mengenal pasangan tersebut serta percaya kepada mereka. Yohanes amat senang boleh tinggal di rumah mereka di Genoa karena dengan demikian ia dapat bersekolah. Segala sesuatu berjalan lancar. Ia menjadi seorang seminaris di sebuah perguruan tinggi Roma. Pelajarannya dianggapnya mudah dan ia mulai belajar dan belajar lebih banyak lagi.
Yohanes kemudian sakit parah dan harus berhenti belajar untuk beberapa waktu lamanya. Setelah keadaannya cukup baik, ia menyelesaikan segala persiapannya dan ditahbiskan sebagai imam. Meskipun kesehatannya tidak pernah prima, Pastor Rossi melakukan begitu banyak kebajikan bagi umat Roma. Ia tahu bagaimana rasanya tidak sehat, maka Pastor Rossi memberikan perhatian khusus kepada mereka yang sakit. Ia menjadi pengunjung tetap rumah-rumah sakit Roma. Terutama, ia suka menghabiskan waktunya bersama orang-orang miskin di Wisma St. Galla, yaitu tempat penampungan bagi mereka yang miskin dan tak memiliki tempat tinggal. Pastor Rossi menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang memenuhi kebutuhan rohani orang-orang miskin itu. Ia memperhatikan mereka yang membawa kawanan ternak serta dombanya untuk di jual di pasar Roma. Betapa berat hidup mereka. Mereka biasa datang pagi hari dengan kawanan ternaknya. Pastor Rossi akan berjalan bersama mereka dan berhenti serta bercakap-cakap dengan mereka. Apabila memungkinkan, ia akan memberikan pelajaran agama kepada mereka serta menawarkan Sakramen Rekonsiliasi. Pelayanan imamat Pastor Rossi membawa perubahan besar dalam hidup mereka.
Pastor kudus ini juga merasakan belas kasih mendalam kepada para wanita dan gadis-gadis tunawisma. Mereka menyusuri jalan-jalan sepanjang siang dan malam untuk mengemis. Hal ini sangat membahayakan dan juga sangat menyedihkan. Bapa Suci memberikan sejumlah dana kepada Pastor Rossi untuk mendirikan tempat penampungan bagi para wanita tunawisma ini. Tempat penampungan itu terletak dekat Wisma St. Galla. Pastor Rossi menyerahkan tempat penampungannya itu dalam perlindungan salah seorang santo favoritnya, St. Alyosius Gonzaga. Pastor Rossi terkenal oleh karena kebaikan dan kelembutan hatinya, terutama dalam pengakuan dosa. Umat antri dekat kamar pengakuannya serta menunggu giliran mereka dengan sabar. Suatu ketika Pastor Rossi mengatakan kepada seorang temannya bahwa cara terbaik bagi seoang iman untuk mencapai surga adalah dengan menolong umat melalui Sakramen Rekonsiliasi. Tugas favorit lain yang diterimanya dari Paus Benediktus XIV adalah memberikan pelajaran rohani kepada para petugas penjara dan pegawai negeri.
Pastor Rossi terserang stroke pada tahun 1763. Ia tidak pernah sembuh kembali. Ia masih dapat merakayan Misa tetapi dengan penderitaan yang amat sangat. Imam yang mengagumkan ini wafat dalam usia enam puluh enam tahun, pada tanggal 23 Mei 1764. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Leo XIII pada tahun 1881.

St. David I dari Skotlandia
David dilahirkan pada tahun 1080. Ia adalah putera bungsu St. Margareta, ratu Skotlandia, dan suaminya yang baik, Raja Malcolm. David sendiri diangkat menjadi raja ketika usianya empat puluh tahun. Mereka yang mengenalnya dengan baik tahu betapa sedikit minatnya dalam menerima mahkota kerajaan. Tetapi, begitu ia menjadi raja, ia menjadi seorang raja yang sangat baik bagi rakyatnya.
St. David memerintah kerajaannya dengan adil dan bijaksana. Ia amat murah hati pada kaum miskin. Semua rakyatnya diijinkan menemuinya kapan saja mereka kehendaki. Ia memberikan teladan baik pada semua orang dengan teladan cintanya akan doa. Di bawah pemerintahan raja kudus ini, rakyat Skotlandia semakin bersatu padu sebagai suatu bangsa. Mereka menjadi orang-orang Kristen yang lebih baik. Raja David membentuk keuskupan-keuskupan baru. Ia mendirikan banyak biara-biara baru. Ia menyumbangkan banyak dana bagi Gereja selama dua puluh tahun masa pemerintahannya.
Dua hari sebelum raja mangkat, ia menerima Sakramen Terakhir. Ia menghabiskan saat-saat terakhirnya dengan berdoa bersama mereka yang menemaninya. Keesokan harinya, mereka mendesak raja untuk beristirahat. Raja David menjawab, “Lebih baik aku memikirkan perkara-perkara Tuhan, agar jiwaku diperkuat dalam perjalanan pulangnya dari pembuangan ke rumah.” Rumah yang dimaksud raja adalah rumah surgawi kita. “Apabila aku berada di hadapan pengadilan Tuhan, kalian tidak akan dapat membelaku,” katanya. “Tak seorang pun akan dapat membebaskanku dari tangan-Nya.” Jadi, ia tetap terus berdoa hingga ajal menjemputnya. St. David wafat pada tanggal 24 Mei 1153.

St. Venerabilis Beda
Imam Inggris ini terkenal sebagai seorang kudus, imam, biarawan, guru, sekaligus penulis sejarah. Ia dilahirkan di Inggris pada tahun 673. Orangtuanya mengirimkannya ke biara Benediktin setempat agar ia memperoleh pendidikan yang baik. Beda begitu mencintai kehidupan biara hingga ia sendiri kelak menjadi seorang biarawan. Ia tinggal di biara yang sama sepanjang hidupnya.
St. Beda amat mencintai Kitab Suci. Ia mengatakan bahwa mempelajari Kitab Suci merupakan sukacita baginya. Ia senang mengajar serta menulis tentangnya. Ketika ia semakin tua, penyakit yang menyerangnya memaksa St. Beda tinggal di tempat tidur. Para murid datang berkumpul di sisi pembaringannya untuk belajar Kitab Suci. Ia tetap mengajar mereka dan juga mengerjakan terjemahan Injil St. Yohanes dari bahasa Latin ke bahasa Inggris. Banyak orang tidak mengerti bahasa Latin. St. Beda ingin agar orang banyak dapat membaca Sabda Yesus dalam bahasa mereka sendiri.
Ketika penyakitnya bertambah parah, St. Beda tahu bahwa ia akan segera pulang kepada Tuhan. Para biarawannya akan sangat kehilangan dia. Ia tetap terus bekerja walaupun sakitnya payah. Akhirnya, anak muda yang menuliskan segala yang didiktekannya berkata kepadanya, “Bapa terkasih, masih ada satu kalimat lagi yang belum diselesaikan.” “Tulislah segera.” jawab Beda. Ketika kemudian pemuda itu berkata, “Sudah selesai”, orang kudus itu menjawab, “Bagus! Kamu benar – sekarang sudah selesai. Sekarang tolong bantu aku bangun. Aku ingin duduk memandang tempat di mana aku biasa berdoa. Aku ingin memanggil Bapa Surgawi-ku.”
St. Beda wafat tak lama kemudian, yaitu pada tanggal 25 Mei 735. Bukunya yang paling terkenal, Sejarah Gereja Inggris, merupakan satu-satunya sumber terlengkap sejarah Inggris di masa lampau. Orang menyebut Beda dengan gelar kehormatan “Venerabilis” (Yang Pantas Dihormati). Ia juga diangkat sebagai Pujangga Gereja.

Kata-kata Venerabilis Beda sendiri juga merupakan sumber inspirasi bagi kita: “Senantiasa merupakan suatu sukacita bagiku untuk belajar, mengajar, dan menulis.” ~ Venerabilis Beda

St. Gregorius VII
Nama asli paus kita ini adalah Hildebrand. Ia dilahirkan di Italia sekitar tahun 1023. Pamannya seorang biarawan di Roma, Hildebrand pergi ke biara di mana pamannya berada untuk memperoleh pendidikan. Kelak, Hildebrand menjadi seorang biarawan Benediktin di Perancis. Tetapi, sebentar saja di sana, ia sudah dipanggil kembali ke Roma. Di Roma ia diserahi kedudukan yang amat penting di bawah beberapa paus hingga ia sendiri akhirnya diangkat sebagai paus.
Selama dua puluh lima tahun, ia menolak untuk dipilih. Tetapi, ketika Paus Alexander II wafat, para kardinal telah bersepakat untuk memilih Hildebrand sebagai paus yang baru. Dengan suara bulat mereka memutuskan: “Hildebrand ditetapkan sebagai penerus St. Petrus!” “Mereka membawaku ke tahta suci,” demikian ditulisnya kelak. “Protes-protesku tidak mereka hiraukan. Kegentaran memenuhi hatiku dan kegelapan sepenuhnya melingkupi aku.” Sebagai paus, Hildebrand memilih nama Gregorius VII.
Masa itu sungguh merupakan masa gelap bagi Gereja Katolik. Para raja dan kaisar ikut campur dalam urusan-urusan gereja. Mereka menetapkan orang-orang yang mereka inginkan menjadi para uskup, kardinal dan bahkan paus. Banyak dari antara mereka yang ditetapkan itu bukanlah orang-orang yang baik. Mereka memberikan teladan yang buruk bagi umat.
Hal pertama yang dilakukan St. Gregorius adalah melewatkan beberapa hari lamanya dalam doa. Ia juga meminta yang lain untuk berdoa baginya. Ia sadar bahwa tanpa doa tak ada sesuatu pun yang dapat diselesaikan dengan baik bagi Tuhan. Sesudah itu, ia mulai bertindak dengan memperbaiki pelayan-pelayan gereja. Ia juga mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menghindari campur tangan negara dalam masalah Gereja. Hal ini amatlah sulit mengingat para penguasa semuanya menentang perubahan itu. Namun demikian, beberapa di antara mereka mulai mau bekerjasama.
Seorang penguasa, Kaisar Henri IV dari Jerman, menyebabkan Paus Gregorius banyak menderita. Kaisar muda itu seorang berdosa dan amat rakus terhadap harta. Ia tidak mau berhenti mencampuri urusan gereja. Ia bahkan mengirimkan orang-orangnya untuk menangkap Bapa Suci. Tetapi, penduduk Roma menyelamatkan paus dari penjara. Paus Gregorius mengekskomunikasikan kaisar. Hal itu tidak menghentikan Henry IV. Ia menetapkan pausnya sendiri. Tentu saja orang yang ditetapkannya itu bukanlah paus sesungguhnya. Tetapi Henry berusaha meyakinkan rakyat bahwa paus yang ditetapkannya itulah paus yang benar. Kemudian, sekali lagi, kaisar mengirimkan pasukannya untuk menangkap paus. Bapa Suci dipaksa meninggalkan Roma. St. Gregorius tiba dengan selamat di Salerno di mana akhirnya ia wafat pada tahun 1085. Pesannya yang terakhir adalah, “Aku cinta keadilan dan benci kejahatan. Oleh sebab itulah sekarang aku mati dalam pengasingan.” Paus Gregorius VII dinyatakan kudus oleh Paus Paulus V pada tahun 1606.
Paus Gregorius VII (Hildebrand) dikenal karena keberaniannya yang luar biasa. Ia berdiri tegak membela Yesus dan Gereja-Nya.

St. Maria Magdalena de’Pazzi
Katarina de’Pazzi dilahirkan di Florence, Italia, pada tahun 1566. Ia adalah puteri satu-satunya dari sebuah keluarga kaya raya. Ketika usianya empat belas tahun, Katarina tinggal di asrama sekolah suatu biara. Di sanalah ia mulai mencintai kehidupan religius. Tetapi, setahun kemudian ayahnya menjemputnya pulang. Ayahnya mulai berpikir untuk memilihkan seorang suami kaya baginya. Tetapi, Katarina sudah bertekad untuk menjadi seorang biarawati. Kedua orangtuanya amat terkejut ketika ia mengatakan kepada mereka bahwa ia telah mengucapkan kaul kemurnian. Mereka tidak percaya. Akhirnya, mereka mengijinkan Katarina masuk biara Karmelit. Namun, hanya lima belas hari kemudian, mereka datang menjemputnya pulang. Mereka berharap dapat mengubah pikirannya. Setelah tiga bulan berusaha membujuknya tanpa hasil, mereka akhirnya menyerah. Mereka membiarkannya pergi untuk selamanya dengan restu mereka. Hal itu terjadi pada tahun 1582, tahun wafatnya St. Theresia Avila di Spanyol.
Ketika masih novis, St. Maria Magdalena sakit parah. Para biarawati khawatir kalau-kalau ia meninggal. Sebab itu, ia diijinkan segera mengucapkan kaul religiusnya. Melihat bagimana ia menderita begitu hebat, salah seorang biarawati bertanya kepadanya bagaimana ia dapat menahan rasa sakit tanpa mengeluh sama sekali. Maria Magdalena menunjuk ke arah salib, katanya, “Lihatlah, betapa kasih Tuhan yang demikian besar itu telah menderita bagi keselamatanku. Kasih yang sama melihat segala kelemahanku dan memberiku kekuatan.”
St. Maria Magdalena harus mengalami banyak penderitaan hebat sepanjang hidupnya. Ia juga harus mengalami pencobaan-pencobaan berat akan ketidakmurnian dan keserakahan akan makanan. Ia dapat mengatasi segala pencobaan itu dengan cintanya yang besar kepada Yesus dalam Ekaristi Kudus dan kepada Bunda Maria. Seringkali ia hanya makan roti dan minum air putih saja. Ia juga melakukan latihan-latihan penyangkalan diri yang lain. Cintanya kepada Yesus begitu mendalam hingga ia akan berkata, “Kasih tidak dikasihi, Kasih tidak dikenali oleh makhluk ciptaan-Nya Sendiri.” Dengan bercucuran air mata, ia akan berdoa serta mempersembahkan segala penderitaannya demi silih bagi para pendosa dan orang-orang yang tidak percaya, hingga akhir hayatnya. Suatu ketika ia mengatakan, “O Yesus-ku, andai saja aku mempunyai suara yang cukup kuat dan lantang hingga terdengar ke seluruh penjuru dunia, aku akan berseru-seru agar Engkau dikenal dan dikasihi oleh semua orang!”
St. Maria Magdalena de Pazzi wafat pada tanggal 25 Mei 1607 dalam usia empat puluh satu tahun. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Klemens IX pada tahun 1669.

B. Margareta Pole
Beata Margareta Pole dilahirkan pada tahun 1471. Ia adalah kemenakan dua orang raja Inggris, Edward IV dan Richard III. Henry VII mengatur pernikahannya dengan Sir Reginald Pole. Sir Pole adalah seorang prajurit gagah, sahabat keluarga kerajaan. Pada saat Raja Henry VIII naik tahta, Margareta telah menjadi janda dengan lima orang anak. Raja Henry VIII masih muda dan belum berpengalaman dalam hal mengendalikan kerajaan dan kekuasaan. Ia menyebut Margareta sebagai wanita paling kudus di seluruh Inggris. Ia begitu terkesan pada Margareta hingga ia mengembalikan sebagian harta keluarganya yang hilang di masa lampau. Raja juga memberinya gelar kerajaan.
Raja Henry amat mempercayainya hingga Margareta diberi kepercayaan untuk mendidik Puteri Maria, putri raja dan Ratu Katarina. Tetapi kemudian, Henry berusaha menikahi Anne Boleyn, meskipun ia sudah beristeri. Margareta tidak menyetujui perilaku raja. Karena itu, raja mengusirnya dari istana. Raja menunjukkan bagaimana ia sangat tidak suka kepadanya. Raja bertambah murka ketika seorang putera Margareta, seorang imam, menulis sebuah artikel panjang menentang tuntutan Henry untuk menjadi kepala gereja Inggris (Putera Margareta itu kelak menjadi Kardinal Reginald Pole yang terkenal). Henry tidak dapat mengendalikan diri lagi. Ia menjadi seorang yang kejam serta penuh rasa dengki. Ia mengancam akan membinasakan seluruh keluarga Margareta.
Henry mengutus orang-orangnya untuk menginterogasi Margareta. Mereka harus dapat membuktikan bahwa Margareta adalah seorang pengkhianat. Mereka menginterogasinya mulai pagi hingga petang. Tetapi, tidak pernah sekali pun Margareta berbuat kesalahan. Tidak ada yang disembunyikan olehnya. Kemudian Margareta dikenai tahanan rumah di sebuah kastil seorang bangsawan. Lalu, ia dipindahkan ke sebuah menara besar di London. Ia bahkan tidak diadili sebelum dipenjarakan. Selama musim dingin yang panjang, Margareta menderita kedinginan yang hebat. Tidak ada api dan tidak cukup pakaian hangat baginya.
Akhirnya, pada tanggal 28 Mei 1541, Beata Margereta dihantar keluar dari menara menuju tempat pelaksanaan hukuman mati. Ia lelah dan sakit, tetapi ia berdiri tegak dan gagah untuk mati demi imannya. “Aku bukan seorang pengkhianat,” demikian katanya dengan berani. Margareta dipenggal kepalanya. Usianya tujuh puluh tahun.
St. Yustinus
St. Yustinus berasal dari Samaria. Ia hidup pada abad kedua. Ayahnya membesarkannya tanpa pengenalan akan Tuhan. Ketika masih kanak-kanak, Yustinus membaca puisi, sejarah dan ilmu pengetahuan. Sementara tumbuh dewasa, ia terus belajar. Tujuan utamanya dalam belajar adalah untuk menemukan kebenaran akan Tuhan.
Suatu hari, ketika sedang berjalan menyusuri tepi pantai, Yustinus bertemu dengan seorang tua. Mereka berbincang-bincang. Karena Yustinus kelihatan gelisah, orang tua itu bertanya apa yang menggelisahkan hatinya. Yustinus menjawab bahwa ia bersedih karena tidak menemukan kepastian tentang Tuhan dalam semua buku yang telah dibacanya. Orang tua itu bercerita kepadanya tentang Yesus, Sang Juruselamat. Ia mendorong Yustinus untuk berdoa agar dapat memahami kebenaran Tuhan.
St. Yustinus mulai berdoa dan membaca Sabda Tuhan, yaitu Kitab Suci. Ia jatuh cinta padanya. Ia juga amat terkesan mengetahui betapa beraninya umat Kristiani yang bersedia mati demi iman serta cinta mereka kepada Yesus. Setelah memperdalam pengenalannya tentang agama Kristen, Yustinus menjadi seorang Kristen pula. Kemudian, ia mempergunakan pengetahuannya yang luas itu untuk menjelaskan serta mempertahankan iman dengan banyak tulisannya.
Di kota Roma, St. Yustinus ditangkap karena menjadi seorang pengikut Kristus. Hakim bertanya padanya, “Apakah kamu pikir dengan mati, maka kamu akan masuk surga dan memperoleh ganjaranmu?” “Bukan saja aku berpikir demikian,” orang kudus itu menjawab, “tetapi aku yakin mengenainya!” dan ia pun wafat sebagai martir sekitar tahun 166.

St. Karolus Lwanga, dkk
Kekristenan masih merupakan hal baru di Uganda, Afrika, ketika suatu misi Katolik dimulai di sana pada tahun 1879. Para imam yang diutus adalah para imam Misionaris Afrika. Karena jubah mereka yang putih, mereka lebih dikenal dengan sebutan “Imam-imam Putih”. Raja Mwanga tidak mengerti apa itu Kristen. Tetapi, ia menjadi amat marah ketika seorang Katolik, Yosef Mkasa, menasehatinya untuk memperbaiki cara hidupnya. Raja kemudian membunuh sekelompok orang Kristen dan Uskup Anglikan mereka. Raja Mwanga juga terlibat dalam kehidupan homoseksual. Ia terutama tertarik pada para pemuda pelayan istana. Murka raja Mwanga berubah menjadi rasa benci dan dendam terhadap Yosef Mkasa dan agamanya. Segelintir pejabat istana yang ambisius mengobarkan murka raja dengan dusta mereka. Yosef Mkasa dihukum penggal pada tanggal 18 November 1885. Penganiayaan pun dimulailah. Seratus orang terbunuh, dua puluh dua di antaranya kelak dinyatakan kudus.
Dengan wafatnya Yosef Mkasa, Karolus Lwanga menjadi pemimpin guru agama dari para pelayan istana yang beragama Katolik. Pada tanggal 26 Mei 1886, raja mendapati bahwa sebagian dari para pelayannya telah menjadi Katolik. Ia memanggil Denis Sebuggwawo. Ia bertanya apakah Denis mengajarkan agama kepada pelayan-pelayan istana yang lain. Denis menjawab ya. Raja segera menyambar pedangnya lalu menusukkannya dengan keji ke tenggorokan pemuda itu. Kemudian, raja menyerukan bahwa tidak seorang pun diijinkan meninggalkan istana. Genderang perang ditabuh sepanjang malam. Dalam suatu ruangan tersembunyi, Karolus Lwanga secara sembunyi-sembunyi membaptis empat pelayan istana. Seorang di antaranya adalah St. Kizito, seorang remaja periang serta murah hati yang baru berumur tiga belas tahun. Dialah yang paling muda dalam kelompok mereka. St. Karolus Lwanga telah seringkali menyelamatkan Kizito dari nafsu jahat raja.
Sebagian besar dari keduapuluh dua martir Uganda yang telah dinyatakan kudus itu, wafat dimartir pada tanggal 3 Juni 1886. Mereka dipaksa berjalan tiga puluh tujuh mil jauhnya (± 60 km) ke tempat pelaksanaan hukuman mati. Setelah beberapa hari dipenjara, mereka dilemparkan ke dalam kobaran api. Tujuh belas dari para martir tersebut adalah para pelayan istana. Salah seorang dari remaja yang wafat dimartir adalah St. Mbaga. Ayahnya sendiri yang bertugas sebagai algojo pada hari itu. Seorang martir yang lain, St. Andreas Kagwa, wafat pada tanggal 27 Januari 1887. Ia termasuk salah seorang dari dua puluh dua martir yang dinyatakan kudus oleh Paus Paulus VI pada tahun 1964.

St. Fransiskus Caracciolo
Fransiskus dilahirkan di daerah Abruzzi, Italia pada tanggal 13 Oktober 1563. Ayahnya seorang pangeran Neapolitan. Ibunya menyatakan memiliki hubungan dengan keluarga Aquino darimana St. Thomas Aquinas, seorang kudus dari abad ketiga belas, berasal. Fransiskus menikmati masa kanak-kanak yang menyenangkan. Ia aktif dalam kegiatan olahraga. Kemudian, ketika usianya dua puluh dua tahun, suatu penyakit, sejenis penyakit kusta, menyerangnya hingga hampir membawa kematian. Pada waktu sakit itu, Fransiskus memikirkan hampanya kesenangan-kesenangan duniawi. Ia menjadi sadar bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat ditemukan dalam sesuatu yang lebih mendalam. Fransiskus berjanji bahwa apabila kesehatannya membaik, ia akan mempersembahkan hidupnya bagi Tuhan. Penyakitnya tiba-tiba lenyap begitu saja bagaikan suatu mukjizat. Fransiskus menepati janjinya. Ia mulai belajar untuk menjadi seorang imam.
Sebagai seorang imam yang baru ditahbiskan, Pastor Fransiskus bergabung dalam suatu kelompok yang membaktikan diri demi pewartaan bagi orang-orang di penjara. Mereka memberikan perhatian pada para narapidana serta mempersiapkan para hukuman agar dapat meninggal dengan baik. Ia, bersama Pastor Yohanes Agustinus Adorno, membentuk suatu kongregasi religius. Ketika Pastor Adorno wafat, Fransiskus dipilih menjadi pemimpin biara. Ia sama sekali tidak merasa nyaman dengan jabatan barunya itu. St. Fransiskus demikian rendah hati hingga ia menandatangani surat-suratnya dengan, “Fransiskus, orang berdosa”. Ia juga mendapatkan giliran, bersama dengan para imam yang lain, menyapu lantai membersihkan tempat tidur dan mencuci piring.
Pastor Fransiskus acapkali melewatkan nyaris sepanjang malam dengan berdoa di gereja. Ia menghendaki agar semua imam melewatkan sekurang-kurangnya satu jam setiap hari di hadapan Sakramen Mahakudus. St. Fransiskus begitu sering dan begitu fasih berbicara tentang kasih Allah bagi kita, hingga ia dikenal sebagai “pewarta kasih Allah.”
St. Fransiskus tidak berumur panjang. Ia wafat pada tahun 1607 dalam usia empat puluh empat tahun. Menjelang wafatnya, tiba-tia ia berseru, “Mari kita pergi!” “Ke manakah engkau hendak pergi?” tanya imam yang berada di sisi pembaringannya. “Ke surga! Ke surga!” demikian jawabnya dengan suara tegas serta penuh sukacita. Beberapa saat kemudian ia pun wafat. St. Fransiskus Caracciolo dinyatakan kudus oleh Paus Pius VII pada tahun 1807.

St. Bonifasius
Rasul besar Jerman ini dilahirkan di Wessex, Inggris, antara tahun 672 dan 680. Ketika ia masih kecil, beberapa orang misionaris tinggal sementara waktu lamanya di rumahnya. Mereka menceritakan kepada Bonifasius segala sesuatu yang mereka lakukan. Para misionaris itu begitu gembira serta penuh semangat dalam mewartakan Kabar Gembira kepada orang banyak. Dalam hati Bonifasius memutuskan bahwa kelak, apabila telah dewasa, ia pun akan seperti mereka. Ketika masih muda, ia belajar di sebuah sekolah biara. Beberapa tahun kemudian, ia menjadi seorang guru yang populer. Ketika ditahbiskan sebagai seorang imam, ia menjadi seorang pengkhotbah yang ulung sebab ia begitu penuh semangat.
Bonifasius ingin agar semua orang mempunyai kesempatan untuk mengenal serta mengasihi Yesus dan Gereja-Nya. Ia menjadi seorang misionaris di bagian barat Jerman. Paus St. Gregorius II memberkatinya serta mengutusnya dalam misi tersebut. Bonifasius berkhotbah dan berhasil dengan gemilang. Ia seorang yang lemah lembut serta baik hati. Ia juga seorang yang amat pemberani. Suatu ketika, guna membuktikan bahwa berhala-berhala kafir itu tidak benar, ia melakukan sesuatu yang sangat berani. Adalah suatu pohon oak yang sangat besar yang disebut “Oak Thor”. Orang-orang kafir percaya bahwa pohon itu pohon keramat bagi para dewa mereka. Di hadapan orang banyak, Bonifasius menebas pohon itu beberapa kali dengan sebuah kampak. Pohon besar itu pun tumbang. Orang-orang kafir menjadi sadar bahwa dewa-dewa mereka itu tidak ada ketika tidak suatu pun terjadi atas Bonifasius.
Di mana saja Bonifasius berkhotbah, orang-orang bertobat diterima dalam pangkuan Gereja. Sepanjang hidupnya, ia mempertobatkan sejumlah besar orang. Sebagai ganti patung-patung berhala, Bonifasius mendirikan gereja-gereja dan biara-biara.
Pada tahun 732, Bapa Suci yang baru, St. Gregorius III mentahbiskan Bonifasius sebagai Uskup Agung dan memberinya daerah misi baru. Daerah itu adalah Bavaria, yang sekarang merupakan wilayah negara Jerman. Bersama rekan-rekannya, Bonifasius pergi untuk mengajarkan iman yang benar kepada penduduk di sana. Di Bavaria, uskup yang kudus ini berhasil dengan gemilang pula. Kemudian, suatu hari, Bonifasius sedang mempersiapkan penguatan bagi beberapa orang yang bertobat. Sekelompok prajurit yang ganas menyerang mereka. Bonifasius tidak mengijinkan para pengikutnya berkelahi melawan mereka. “Tuhan kita menghendaki agar kita membalas kejahatan dengan kebaikan,” katanya. “Telah tibalah hari yang telah lama kunanti-nantikan. Percayalah kepada Tuhan dan Ia akan menyelamatkan kita.” Orang-orang barbar itu pun menyerang dan Bonifasius adalah orang pertama yang terbunuh. Ia wafat sebagai martir pada tanggal 5 Juni 754. St. Bonifasius dimakamkan di sebuah biara terkenal yang didirikannya di Fulda, Jerman, seperti yang diinginkannya.

“Marilah kita berdiri tegak mempertahankan kebenaran dan mempersiapkan jiwa-jiwa kita menghadapi pengadilan… hendaknya kita tidak menjadi anjing yang tidak menggonggong atau penonton yang diam membisu atau pun gembala upahan yang melarikan diri menghadapi serigala.” ~ St. Bonifasius

St. Norbertus
Norbertus dilahirkan di Jerman sekitar tahun 1080. Ia seorang anak yang baik semasa kanak-kanak dan remajanya. Kemudian, di istana Kaisar Henry V, Norbertus menghabiskan waktunya dengan bersenang-senang. Yang dipikirkannya hanyalah memperoleh kedudukan terhormat. Ia adalah orang pertama yang datang di pesta-pesta serta perayaan-perayaan. Ia sepenuhnya bahagia dengan “hidupnya yang mapan”. Akan tetapi, suatu hari, ia amat ketakutan ketika suatu kilat menyambar dahsyat. Kudanya lari kencang. Norbertus terpelanting ke tanah dan tak sadarkan diri. Ketika sadar, ia mulai memikirkan dengan sungguh-sungguh cara hidupnya selama ini. Tuhan terasa sangat dekat. Norbertus sadar bahwa Tuhan sedang menawarkan kepadanya rahmat untuk mengubah cara hidupnya. Perlahan-lahan ia mulai memikirkan kembali keinginan yang pernah ada dalam benaknya beberapa tahun yang silam. Ia berpikir untuk menjadi seorang imam. Sekarang ia akan memenuhi panggilannya. Norbertus ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1115.
Pastor Norbertus bekerja keras untuk mengubah cara hidup orang banyak yang terpusat pada hal-hal duniawi. Ia memberikan teladan kepada mereka dengan menjual segala harta miliknya serta membagikan uangnya kepada mereka yang miskin. St. Norbertus mendirikan suatu kongregasi untuk menyebarluaskan iman. Kelompoknya terbentuk dengan tiga belas orang hidup bersama dalam suatu komunitas religius. Mereka tinggal di lembah Premontre. Oleh sebab itulah kongregasinya disebut Premon-stratensians. Mereka disebut juga Norbertines, sesuai nama pendirinya.
St. Norbertus ditahbiskan sebagai Uskup Magdeburg. Ia memasuki kota Magdeburg dengan mengenakan pakaian yang sangat sederhana serta tanpa sepatu. Penjaga pintu keuskupan tidak mengenalinya dan tidak mengijinkannya masuk. Ia malahan menyuruh St. Norbertus untuk bergabung dengan kawanan pengemis lainnya. “Tetapi, ia adalah Bapa Uskup kita yang baru!” teriak mereka yang mengenalinya. Penjaga pintu amat terperanjat dan sangat menyesal. “Tidak mengapa, saudaraku terkasih,” kata St. Norbertus dengan lembut. “Kamu menilaiku lebih tepat daripada mereka yang membawaku ke sini.”
St. Norbertus harus berperang melawan suatu bidaah yang menyangkal bahwa Yesus sungguh hadir dalam Ekaristi Kudus. Ajarannya yang indah mengenai kehadiran nyata Kristus dalam Sakramen Mahakudus membawa umat kembali pada iman mereka yang kudus. Pada bulan Maret 1133, ia dan sahabatnya, St. Bernardus berjalan beriringan dalam suatu perarakan yang tidak lazim. Mereka bergabung dengan kaisar beserta bala tentaranya untuk mengawal paus yang sesungguhnya, Inosensius II, ke Vatikan dengan selamat.
St. Norbertus wafat pada tahun 1134. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Gregorius XIII pada tahun 1582.

B. Anna dari St. Bartolomeus
Anna adalah puteri keluarga petani. Ia menggembalakan domba hingga usianya dua puluh tahun. Empat mil dari tempat tinggalnya adalah kota Avila, kota dimana St. Theresia dan para biarawati Karmelit tinggal. Anna diterima dalam ordo Karmelit sebagai biarawati biasa, bukan rubiah. Artinya, Sr. Anna dapat pergi ke luar biara untuk mengerjakan segala sesuatu sesuai kepentingan biara.
Tujuh tahun terakhir hidupnya, St. Theresia memilih B. Anna untuk menemaninya dalam perjalanannya. St. Theresia pergi berkeliling untuk mengunjungi komunitas-komunitas biarawati. Kadang-kadang, ia mendirikan biara-biara baru. Kadang-kadang, ia membantu para biarawati untuk lebih bersemangat dalam menjalani panggilan hidup yang mengagumkan yang telah mereka pilih. St. Theresia sangat menghargai B. Anna dan memujinya di hadapan para biarawati lainnya.
Meskipun B. Anna tidak memperoleh kesempatan untuk bersekolah, ia bisa membaca dan menulis. Ia mencatat petualangan perjalanannya dengan St. Theresia yang termashyur itu. B. Anna jugalah yang ada di sampingnya ketika St. Theresia wafat.
Kehidupan B. Anna berlangsung biasa-biasa saja selama enam tahun sesudah St. Theresia wafat. Kemudian, pemimpin biara memutuskan untuk membuka sebuah biara baru di Paris, Perancis. Lima orang biarawati dipilih untuk diutus ke sana, B. Anna termasuk salah seorang di antara mereka. Sementara umat di Paris menyambut kedatangan para biarawati dengan hangat, B. Anna menyelinap masuk ke dapur untuk mempersiapkan hidangan bagi teman-temannya yang lapar. Pada akhirnya, empat dari kelima biarawati tersebut dipindahtugaskan ke Belanda. Anna harus tetap tinggal, sebab ia dipilih menjadi priorin (= pemimpin biara). Anna datang kepada Tuhan dan mengatakan kepada-Nya bahwa sebagian besar dari para wanita Perancis yang bergabung dalam komunitasnya berasal dari keluarga kaya serta keluarga bangsawan, sementara ia sendiri hanyalah seorang gadis penggembala. Dalam hatinya, B. Anna mendengar Tuhan menjawab: “Dengan jerami Aku akan menyalakan api-Ku.”
Anna diutus ke Belanda untuk mendirikan lebih banyak biara-biara baru. Pertama-tama ia pergi ke Mons dan kemudian ke Antwerp. Para wanita yang bergabung dalam Ordo Karmelit menganggap Anna sebagai seorang kudus. Anna wafat di Antwerp pada tahun 1626. Ia dinyatakan sebagai “Beata” oleh Paus Benediktus XV.

St. William dari York
William Fitzherbert dilahirkan di Inggris pada abad keduabelas. Ia adalah kemenakan Raja Stefanus. Pemuda William seorang yang santai dan bahkan sedikit malas. Bagi sebagian orang, ia memberi kesan bahwa ia tidak serius dalam menghadapi tugas dan tanggung-jawab hidupnya. Namun demikian, William amat populer bagi penduduk kota York, kota tempat tinggalnya.
Beberapa tahun kemudian, ketika uskup agung York meninggal dunia, William ditunjuk untuk menduduki jabatan tersebut. Pada masa itu, para raja seringkali ikut campur dalam pemilihan para uskup. Oleh karena itu, banyak imam berpendapat bahwa William tidak ditunjuk secara sah. Sesungguhnya pamannyalah, yaitu raja, yang telah menunjuk William untuk jabatan itu. St. Bernardus membujuk paus agar mengangkat seorang lain sebagai uskup agung York. William diminta mundur karena mereka merasa bahwa pengangkatannya tidak sah. William meninggalkan kediamannya di keuskupan dengan hati terluka dan perasaan terhina. Ia kemudian tinggal bersama seorang pamannya yang lain, seorang uskup. Perlahan-lahan William menjadi seorang yang amat religius. Ia tidak mau menerima segala kenyamanan yang ditawarkan pamannya. Ia berdoa dan melakukan matiraga. Ia mulai menunjukkan perhatiannya yang besar akan iman dan akan Gereja.
Umat York marah mengetahui apa yang terjadi pada uskup agung mereka. Mereka tidak dapat mengerti bagaimana mungkin hal serupa itu dapat terjadi. Maka, terjadilah perkelahian antara mereka yang menghendaki William dan mereka yang tidak. Enam tahun berlalu. William hidup tenang dalam doa di rumah pamannya, sang Uskup. Ia berdoa kepada Tuhan mohon perdamaian bagi keuskupannya. Tidak lagi jadi masalah baginya bahwa ia telah diperlakukan tidak adil. Yang terpenting baginya adalah bahwa umatnya mendapat perhatian yang mereka butuhkan.
Pada akhirnya, doa-doa William terjawab. Ketika uskup agung yang lain itu wafat, paus meminta William kembali ke York. Ia tiba di keuskupannya pada bulan Mei tahun 1154. Umat sangat gembira menyambutnya. Tetapi William telah lanjut usia sekarang, dan kurang lebih sebulan kemudian ia pun wafat. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Honorius III pada tahun 1227.

St. Efrem
Efrem dilahirkan di Mesopotamia sekitar tahun 306. Ia dibaptis ketika usianya delapan belas tahun. Beberapa waktu kemudian, Efrem pergi ke pegunungan dan menjadi seorang pertapa. Ia menemukan sebuah gua dekat kota Edessa di Siria. Bajunya compang-camping dan ia hanya makan makanan hasil bumi.
Efrem cepat sekali naik darah. Perlahan-lahan ia dapat menguasai dirinya. Orang-orang yang berjumpa dengannya menyangka bahwa sudah watak dasarnya ia seorang yang amat sabar. Efrem sering berkhotbah di Edessa. Apabila ia berbicara tentang pengadilan Tuhan, umat yang mendengarnya menangis tersedu-sedu. Ia akan mengatakan kepada mereka bahwa ia adalah seorang pendosa besar. Dan sungguh demikianlah maksudnya, sebab sekali pun ringan, dosa-dosa itu tampak berat baginya. Ketika St. Basilius berjumpa dengannya, ia bertanya, “Engkaukah Efrem, hamba Yesus yang termashyur itu?” Segera Efrem menjawab, “Akulah Efrem yang dengan tidak layak berjalan menuju keselamatan.” Kemudian ia memohon serta menerima nasehat dari St. Basilius mengenai bagaimana bertumbuh dalam hidup rohani.
Efrem menghabiskan waktunya dengan menulis buku-buku rohani. Ia menulis dalam beberapa bahasa: Siria, Yunani, Latin dan Armenia. Karya tulisnya sungguh sangatlah indah dan mendalam hingga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Hingga sekarang orang masih membacanya. Efrem juga menulis kidung-kidung pujian. Lagu-lagunya menjadi sangat populer. Sementara orang menyanyikannya, mereka belajar banyak tentang iman mereka. Itulah sebabnya St. Efrem dijuluki “harpa Roh Kudus”. Ia seorang guru yang hebat, yang mengajar lewat tulisan-tulisannya, karena itulah pada tahun 1920 ia digelari Pujangga Gereja. St. Efrem wafat pada bulan Juni tahun 373.

“Ya Yesus, melalui sakramen-Mu, kami setiap hari memeluk-Mu serta menerima-Mu dalam tubuh kami; jadikan kami layak menikmati kebangkitan yang kami rindukan. Kami telah menyimpan harta pusaka-Mu itu yang tersembunyi dalam diri kami sejak kami menerima rahmat Sakramen Pembaptisan; yang senantiasa diperkaya dengan Sakramen Perjamuan-Mu.” ~ St. Efrem

St. Barnabas
Meskipun bukan salah seorang dari kedua belas rasul Kristus, Barnabas disebut juga sebagai rasul oleh St. Lukas dalam kitab Kisah para Rasul. Hal ini dikarenakan, sama seperti rasul Paulus, Barnabas menerima suatu tugas perutusan khusus dari Tuhan. Barnabas adalah seorang Yahudi kelahiran pulau Siprus. Namanya adalah Yusuf, tetapi para rasul memberinya nama Barnabas, yang artinya “anak penghiburan”.
Segera sesudah menjadi seorang Kristen, St. Barnabas menjual segala harta miliknya dan memberikan uangnya kepada para rasul. Ia seorang yang lembut serta baik hati. Ia penuh semangat dalam membagikan iman dan cintanya kepada Yesus. Barnabas diutus ke kota Antiokhia untuk mewartakan Injil. Antiokhia adalah kota terbesar ketiga dalam Kerajaan Romawi. Di Antiokhia-lah para pengikut Kristus untuk pertama kalinya disebut Kristen. Barnabas menyadari bahwa ia membutuhkan bantuan. Ia berpikir tentang Paulus dari Tarsus. Ia yakin bahwa pertobatan Paulus tulus adanya. Barnabas-lah yang meyakinkan St. Petrus dan komunitas Kristen. Ia meminta Paulus bergabung dan berkarya bersamanya. Barnabas seorang yang rendah hati, ia tidak khawatir berbagi tugas dan tanggung jawab dengan orang lain. Ia tahu bahwa Paulus juga memperoleh karunia luar biasa untuk dibagikan dan ia ingin agar Paulus memperoleh kesempatan untuk itu.
Beberapa waktu kemudian, Roh Kudus memilih Paulus dan Barnabas untuk suatu tugas khusus. Tak lama sesudahnya, kedua rasul itu pun pergi melaksanakan suatu tugas perutusan yang berani. Mereka menanggung banyak penderitaan dan bahkan harus mempertaruhkan nyawa mereka. Meskipun demikian, pewartaan mereka berhasil memenangkan banyak jiwa bagi Yesus dan Gereja-Nya.
Kelak, St. Barnabas pergi dalam suatu tugas perutusan lain, kali ini bersama Yohanes Markus, sepupunya. Mereka pergi ke Siprus, daerah asal Barnabas. Begitu banyak orang menjadi percaya melalui pewartaannya, hingga Barnabas dijuluki Rasul dari Siprus. Menurut tradisi, orang kudus yang hebat ini dirajam sampai mati pada tahun 61

St. Yohanes dari Sahagun
St. Yohanes dilahirkan di Sahagun, Spanyol, pada abad kelima belas. Ia mendapatkan pendidikan dari para biarawan Benediktin di kotanya. Kemudian, Yohanes menjadi seorang imam paroki. Pastor Yohanes dapat saja hidup nyaman di katedral atau di salah satu paroki yang mapan di keuskupannya. Tetapi, Pastor Yohanes memilih hidup miskin dan sederhana seperti cara hidup Yesus sendiri. Ia memilih untuk bertanggung jawab atas sebuah kapel kecil saja. Di sana ia merayakan Misa, berkhotbah dan mengajar katekese.
Pastor Yohanes merasa perlu mendalami teologi, maka ia belajar di Universitas Katolik Salamanca. Setelah empat tahun belajar dengan tekun, ia menjadi seorang pengkhotbah yang ulung. Sembilan tahun kemudian, ia bergabung dengan para biarawan Agustin. Mereka amat terkesan dengan cara Pastor Yohanes mengamalkan keutamaan-keutamaan Kristiani. Ia taat kepada para atasannya dan rendah hati pula. St. Yohanes terus berkhotbah. Homili atau khotbahnya yang indah berhasil membawa perubahan dalam kehidupan penduduk Salamanca. Mereka saling berkelahi dengan sengit di antara mereka. Sering kali para pemuda bangsawan saling baku hantam untuk balas dendam. St. Yohanes berhasil mengakhiri banyak perkelahian-perkelahian sengit semacam ini. Ia bahkan membujuk mereka untuk saling memaafkan satu sama lain.
St. Yohanes tidak takut meluruskan perbuatan-perbuatan jahat, bahkan ketika pelakunya adalah orang-orang berkuasa yang dapat membalas dendam padanya. Suatu ketika, ia menegur seorang pangeran karena menyebabkan orang-orang miskin menderita. Memang benar apa yang dikatakan imam! Pangeran amat marah, ia mengirim dua orang utusannya untuk membunuh St. Yohanes. Kedua utusan itu pergi mendapatkan sang imam. Pastor Yohanes begitu lemah lembut dan baik hati. Kedua utusan itu pun segera dipenuhi rasa sesal dan mohon pengampunan darinya. Kemudian sang pangeran sakit parah. Berkat doa-doa St. Yohanes, ia menyesali dosa-dosanya dan sembuh dari penyakitnya.
Melalui doa dan Misa Kudus, St. Yohanes menerima rahmat yang memberinya karisma istimewa sebagai seorang pengkhotbah. Ia merayakan Misa Kudus dengan cinta bakti yang amat mendalam. Ia wafat pada tanggal 11 Juni 1479. St. Yohanes dari Sahagun dinyatakan kudus oleh Paus Alexander VIII pada tahun 1690.

St. Metodius
St. Metodius hidup pada abad kesembilan. Ia lahir dan dibesarkan di Sisilia. Metodius mengenyam pendidikan tinggi dan ia menghendaki jabatan yang sesuai untuknya. Sebab itu, ia memutuskan untuk berlayar ke Konstantinopel agar dapat memperoleh kedudukan penting di istana kaisar. Dalam perjalanannya ke sana, ia bertemu dengan seorang biarawan kudus yang berbincang dengannya dalam suatu percakapan yang panjang serta mendalam. Segala pertanyaan tentang Tuhan dan kehidupan abadi bermunculan dalam benak Metodius. Biarawan itu membantunya sadar bahwa guna memperoleh sukacita sejati dalam hidup, ia perlu mempersembahkan dirinya kepada Tuhan dalam hidup religius. Jadi, ketika Metodius tiba di Konstantinopel, ia melewati istana dan menuju sebuah biara.
Umat Kristiani sedang menghadapi masa-masa sulit di Konstantinopel. Sebagian berpendapat bahwa adalah salah memiliki gambar-gambar atau pun ikon-ikon religius. Mereka menyangka bahwa orang berdoa kepada gambar atau patung, dan bukan kepada pribadi yang diwakilinya. Terjadi pertikaian sengit dan kaisar ikut campur di dalamnya. Ia sependapat dengan orang-orang yang beranggapan bahwa gambar dan patung adalah berhala. Sebaliknya, St. Metodius tidak sependapat dengan kaisar. Ia paham betul mengapa umat Kristiani membutuhkan gambar dan patung. Ia dipilih untuk pergi ke Roma dan mohon Bapa Suci untuk menyelesaikan persoalan. Ketika ia kembali, kaisar menjatuhkan hukuman penjara selama tujuh tahun kepadanya. Metodius menderita dalam sel penjara yang gelap serta pengap, namun demikian ia tidak patah semangat. Ia tahu bahwa Yesus akan mempergunakan penderitaannya untuk menyelamatkan Gereja. Akhirnya, pada tahun 842, kaisar wafat. Isterinya, Theodora, menggantikannya karena putera mereka masih bayi. Theodora mempunyai pendapat yang berbeda dari suaminya, sang kaisar. Ia berpendapat bahwa orang seharusnya bebas mempergunakan patung, ikon dan gambar-gambar kudus apabila mereka menghendakinya. Metodius dan mereka yang telah lama menderita menjadi amat gembira. Sekarang mereka telah bebas.
Salah seorang yang membuat St. Metodius paling menderita, dikirim ke pembuangan oleh sang ratu. Kemudian Metodius diangkat menjadi patriarcha (Uskup Gereja Timur) Konstantinopel. Ia amat dikasihi umatnya.
St. Metodius menulis karya-karya indah tentang teologi dan kehidupan rohani. Ia juga menuliskan riwayat hidup para kudus dan juga sajak. Metodius menjadi patriarcha selama empat tahun, lalu wafat pada tanggal 14 Juni 847.

St. Germana dari Pibrac
Pibrac adalah sebuah dusun kecil di Perancis di mana Germana dilahirkan sekitar tahun 1579. Ia menghabiskan seluruh hidupnya di sana. Germana seorang gadis yang selalu sakit-sakitan. Ia tidak cantik. Tangan kanannya cacat dan tak dapat digunakan. Ayahnya kurang memperhatikannya. Ibu tirinya tidak suka ia berada dekat anak-anaknya yang sehat. Jadi, Germana tidur di kandang bersama domba-dombanya, bahkan pada musim dingin. Bajunya compang-camping dan ia menjadi bahan olok-olok anak-anak lain. Sepanjang hari Germana menjaga kawanan dombanya di padang. Apabila ia pulang ke rumah pada malam hari, ibu tirinya acap kali berteriak padanya dan memukulinya.
Namun demikian, gadis malang ini berbicara kepada Tuhan dan ia ingat bahwa Tuhan senantiasa bersamanya sepanjang waktu. Setiap hari ia selalu ambil bagian dalam Perayaan Misa. Ia meninggalkan kawanan dombanya dalam penjagaan malaikat pelindungnya. Tak pernah sekali pun domba-domba itu keluar melewati batas tongkat gembalanya yang ia tancapkan ke tanah.
Germana seringkali mengumpulkan anak-anak kecil dan mengajarkan iman kepada mereka. Ia ingin agar hati anak-anak itu dipenuhi cinta Tuhan. Semampunya, ia juga berusaha membantu mereka yang miskin. Ia membagi sedikit makanan yang diberikan kepadanya dengan para pengemis. Pada suatu hari di musim dingin, ibu tirinya menuduh Germana mencuri roti. Wanita itu mengejarnya dengan tongkat. Tetapi, yang jatuh dari celemek baju Germana bukanlah roti, melainkan bunga-bunga musim semi.
Sekarang, orang-orang tidak lagi memperoloknya. Malahan, mereka mengasihi dan mengaguminya. Ia boleh tinggal dalam rumah ayahnya, tetapi Germana memilih untuk tetap tidur di kandang. Hingga, suatu hari pada tahun 1601, ketika usianya dua puluh dua tahun, ia ditemukan wafat di atas tempat tidur jeraminya. Hidupnya yang sarat dengan penderitaan sudah berakhir. Tuhan mengadakan mukjizat-mukjizat untuk menunjukkan bahwa ia seorang kudus.

St. Romualdus
Romualdus, seorang bangsawan Italia, dilahirkan sekitar tahun 951 di Ravenna, Italia. Ketika berumur dua puluh tahun, ia terguncang melihat ayahnya membunuh orang dalam suatu duel. Romualdus pergi ke biara Benediktin. Ia ingin hidup benar. Ia juga ingin melakukan silih atas perbuatan ayahnya yang kejam. Alam dan kehidupan biara merupakan hal baru bagi Romualdus. Ia terbiasa hidup mewah dan santai. Pemuda bangsawan itu terkesan dengan teladan hidup para biarawan. Karenanya, ia memutuskan untuk menjadi seorang biarawan pula. Ia mohon pada seorang pertapa yang baik bernama Marinus untuk mengajarkan kepadanya bagaimana menjadi kudus. Keduanya, Marinus dan Romualdus, melewatkan hari-hari mereka dengan memuji dan mencintai Tuhan. Sergius, ayah Romualdus, datang untuk melihat cara hidup baru yang ditempuh puteranya. Ayahnya terperanjat melihat kesederhanaan dan semangat pengangkalan diri. Ia sadar bahwa pastilah terdapat sukacita besar di sana karena puteranya dengan rela memilih untuk tinggal di sana. Itulah yang dikehendakinya. Ia meninggalkan harta kekayaannya lalu mengikuti jejak puteranya dan melewatkan sisa hidupnya sebagai seorang biarawan juga.
Di kemudian hari, Romualdus membentuk Kongregasi Benediktin Kamaldoli (OSB Cam). Ia menjelajah seluruh Italia untuk membentuk pertapaan-pertapaan dan biara-biara. Ke mana pun ia pergi, ia memberikan teladan penyangkalan diri yang mengagumkan bagi para biarawannya. Selama satu tahun penuh, yang menjadi makanannya setiap hari hanyalah sejumput kacang rebus. Kemudian selama tiga tahun, ia hanya makan dari sedikit hasil tanaman yang ia tanam sendiri. Melalui mati raga yang dilakukannya itu, Romualdus semakin dekat dengan Tuhan.
Romualdus wafat pada tanggal 19 Juni 1027 di biara Valdi-Castro. Ia berada sendirian di kamarnya dan wafat dengan tenang, tanpa diragukan lagi dengan membisikkan doa kesukaannya: “Oh, Yesus-ku yang manis! Tuhan hatiku! Sukacita bagi jiwa-jiwa murni! Tujuan dari segala yang aku dambakan!”

B. Michelina
Michelina dilahirkan pada tahun 1300 di Pesaro, Italia. Keluarganya kaya dan ia menikah dengan seorang kaya pula. Michelina punya pembawaan riang gembira. Ia senantiasa tampak seperti tidak punya masalah apa pun. Tetapi, ketika usianya baru dua puluh tahun, suaminya meninggal. Tiba-tiba saja, Michelina merasa sendirian di dunia ini dengan seorang putera kecil untuk dibesarkan.
Ibu muda ini tampak bersemangat menemukan kebahagiaan dari segala yang ada di sekelilingnya. Hidupnya menjadi serangkaian pesta pora, hura-hura dan santapan mewah. Rasanya ia tidak akan pernah puas menikmati segala kesenangan yang ditawarkan dunia. Setelah beberapa waktu berselang, ia sadar bahwa ia harus menyisihkan lebih banyak waktu untuk puteranya. Ia juga harus bertanggung jawab atas cara ia mempergunakan harta dan waktunya. Ia merasa jiwanya kosong. Akhirnya, Michelina mulai tenang dan menjadi seorang dewasa yang bertanggung jawab.
Di Pesaro, tinggallah seorang Fransiskan awam yang kudus bernama Syriaca. Ia tahu bahwa Michelina adalah seorang yang baik yang membutuhkan pertolongan serta bimbingan agar lebih beriman. Syriaca dan Michelina menjadi sahabat. Syriaca memberikan pengaruh yang besar kepada sahabatnya itu. Michelina mulai rajin berdoa. Ia merawat anaknya dan mengurus rumahnya dengan penuh perhatian. Ia melewatkan waktu luangnya untuk melayani mereka yang miskin dan yang membutuhkan pertolongan. Ia mengunjungi mereka yang kesepian dan merawat mereka yang terlalu tua atau terlalu sakit untuk dapat mengurus dirinya sendiri. Pada akhirnya, ia menjadi seorang Fransiskan awam. Awalnya, para sanak saudara khawatir ketika ia meninggalkan baju-baju mewahnya dan mulai makan makanan sederhana. Tetapi kemudian, mereka yakin bahwa Michelina sungguh telah menjadi seorang beriman.
Michelina tinggal di rumah yang sama di Pesaro sepanjang hidupnya. Ia wafat pada tahun 1356 dalam usia lima puluh enam tahun. Untuk mengenangnya, penduduk kota Pesaro memasang sebuah lampu yang senantiasa menyala di rumahnya. Pada tahun 1590, rumah Beata Michelina dibangun menjadi gereja.

St. Aloysius Gonzaga
Aloysius, santo pelindung pemuda pemudi Katolik, dilahirkan pada tanggal 9 Maret 1568. Karena ia begitu penuh semangat hidup, ayahnya berangan-angan agar kelak ia menjadi seorang perwira yang hebat. Ketika Aloysius baru berumur lima tahun, ayahnya mengajaknya ke kemah tentara. Di sana, Aloysius kecil ikut berarak dalam barisan. Suatu hari, ia bahkan berhasil mengisi dan menembakkan senapan ketika pasukan tentara sedang beristirahat. Ia juga belajar umpatan dan kata-kata kasar dari para prajurit. Ketika mengetahui apa arti kata-kata tersebut, Aloysius merasa menyesal bahwa ia telah mengucapkannya.
Pemuda Aloysius dikirim ke istana-istana para raja dan pangeran. Kelicikan, kedengkian dan kecemaran merupakan hal biasa di sana. Tetapi, semuanya itu mempengaruhi St. Aloysius hanya dalam satu hal, yaitu lebih berhati-hati agar tetap hidup sesuai tanggung jawab Kristianinya. Aloysius jatuh sakit. Hal itu memberinya kesempatan untuk mempergunakan lebih banyak waktu untuk berdoa dan membaca buku-buku yang baik. Ketika Aloysius berumur enam belas tahun, ia memutuskan untuk menjadi seorang imam Yesuit. Ayahnya menentang keinginannya itu.
Tetapi, setelah tiga tahun, akhirnya ia mengijinkannya juga. Begitu bergabung dengan Yesuit, Aloysius wajib melakukan pekerjaan-pekerjaan berat dan kasar. Ia melayani di dapur dan mencuci piring-piring kotor. Ia biasa mengatakan, “Aku ini sepotong besi yang bengkok. Aku datang kepada agama agar dijadikan lurus oleh palu penyangkalan diri dan laku tobat.”
Ketika suatu wabah menyerang kota Roma, Aloysius mohon agar diijinkan merawat mereka yang sakit. Dia, yang biasa dilayani oleh pelayan-pelayan, dengan senang hati menyeka mereka yang sakit serta merapikan tempat tidur mereka. Ia melayani orang-orang sakit hingga akhirnya penyakit itu menyerangnya juga.
St. Aloysius baru berusia dua puluh tiga tahun ketika ia wafat pada malam tanggal 20 Juni 1591. Ia hanya mengatakan, “Aku akan pergi ke surga.” Jenazah St. Aloysius Gonzaga disemayamkan di Gereja St. Ignatius di Roma. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Benediktus XIII pada tahun 1726.

St. Thomas More
Thomas More adalah seorang pengacara dan penulis yang terkenal. Ia dilahirkan di London pada tahun 1477. Ayahnya seorang pengacara dan juga hakim. Thomas amat berterima kasih kepada ayahnya oleh karena ia penuh kasih sayang, namun tidak memanjakannya.
Isteri pertama Thomas, Jane Colt, meninggal dalam usia muda. More ditinggal sendirian bersama keempat anak mereka yang masih kecil. Thomas menikah lagi dengan seorang janda, seorang wanita sederhana yang bahkan tidak dapat membaca dan menulis. Suaminya berusaha mengajarinya dengan sabar. Thomas menjadikan kehidupan rumah tangganya menyenangkan bagi seluruh anggota keluarga, sebab ia seorang yang amat menyenangkan. Pada waktu makan, salah seorang anak akan membacakan Kitab Suci. Kemudian mereka bercakap-cakap dan bersendau gurau. St. Thomas kerap mengundang para tetangga yang miskin untuk bersantap bersama mereka. Ia senantiasa membantu mereka yang miskin selama ia mampu. St. Thomas suka menggembirakan hati para tamunya dengan kejutan-kejutan menyenangkan. Ia bahkan memelihara beberapa ekor monyet lucu di rumahnya.
Sedikit saja yang dapat membayangkan betapa mendalam kehidupan rohaninya. St. Thomas berdoa beberapa jam lamanya tengah malam dan juga melakukan mati raga. Ia sungguh sadar bahwa menjadi seorang Kristen sejati membutuhkan rahmat serta pertolongan dari Tuhan.
Thomas menduduki berbagai jabatan penting dalam pemerintahan. Selama tiga tahun, ia menjabat sebagai penasehat negara, istilah lain bagi perdana menteri. Henry VIII biasa melingkarkan tangannya ke pundak Thomas sebagai tanda kasih kepadanya. Namun demikian, meskipun orang kudus kita ini seorang pejabat negara yang sangat setia, ia menempatkan kesetiaannya kepada Tuhan di atas segala-galanya. Ketika raja mencoba membuatnya melanggar hukum Tuhan, Thomas menolak. Henry ingin menceraikan isterinya agar dapat menikah dengan seorang wanita lain. Tetapi, Bapa Suci tidak dapat memberi ijin seperti itu, karena hal demikian melanggar hukum Tuhan. Raja Henry seorang yang keras kepala, akhirnya ia meninggalkan Gereja. Ia menghendaki semua orang menghormatinya sebagai kepala Gereja di Inggris. Thomas tidak dapat melakukan hal demikian. Ia memilih untuk tetap setia kepada iman Katolik dan kepada Tuhan. Karena itu, St. Thomas dijatuhi hukuman mati. St. Thomas mengampuni para hakim. Ia bahkan mengatakan berharap untuk berjumpa dengan mereka di surga. Dan ia sungguh bermaksud demikian.
Di tempat pelaksanaan hukuman mati, di mana ia akan digantung, St. Thomas mencium pipi algojo. Kemudian ia bergurau, mengatakan bahwa janggutnya janganlah sampai terpotong sebab janggutnya itu tidak bersalah. St. Thomas wafat sebagai martir pada hari Selasa, tanggal 6 Juli 1535, dalam usia lima puluh tujuh tahun. Bersama sahabatnya, Uskup Yohanes Fisher, Sir Thomas More dinyatakan kudus oleh Paus Pius XI pada tahun 1935.

“Tidak suatu pun terjadi apabila bukan kehendak Tuhan. Dan aku sungguh yakin bahwa segala yang terjadi, sungguh pun buruk tampaknya, adalah sungguh benar yang terbaik.” ~ St. Thomas More

St. Yulia Billiart
Maria Rosa Yulia Billiart dilahirkan di Belgia pada tahun 1751. Pamannya, seorang guru desa, mengajarinya membaca dan menulis. Yulia terutama senang sekali belajar katekismus (pelajaran agama). Ketika usianya baru tujuh tahun, ia sudah menerangkan kebenaran iman kepada anak-anak kecil lainnya. Ketika orangtuanya jatuh miskin, Yulia bekerja keras untuk membantu menopang keluarganya. Ia bahkan ikut pergi menuai hasil panenan. Namun demikian, ia selalu menyisihkan waktu untuk berdoa, mengunjungi mereka yang sakit, dan mengajarkan katekese.
Ketika Yulia masih seorang wanita muda, ia menderita sakit parah yang menyebabkannya lumpuh total. St. Yulia tidak lagi dapat bekerja, tetapi ia mempersembahkan doa-doanya kepada Tuhan agar banyak orang dapat menemukan kebahagiaan sejati bersama-Nya. Yulia merasa jauh lebih akrab dengan Tuhan daripada sebelumnya. Ia tetap mengajarkan katekese dari pembaringannya.
Yulia seorang yang penuh dengan Roh Kudus. Banyak orang datang kepadanya untuk meminta nasehat sebab ia dapat membantu mereka mendekatkan diri kepada Yesus dan mengamalkan iman mereka dengan penuh cinta. Ia mendorong semua orang untuk menerima Komuni Kudus sesering mungkin. Kasih Yulia kepada Tuhan membangkitkan semangat banyak wanita muda. Mereka rela mengorbankan waktu serta kekayaan mereka untuk karya amal kasih. Dengan Yulia sebagai pemimpin, mereka membentuk Kongregasi Suster-suster dari Notre Dame de Namur.
Suatu ketika, seorang imam mengadakan misi di kota di mana Yulia tinggal. Ia meminta Yulia untuk melakukan novena bersamanya bagi suatu intensi yang dirahasiakan olehnya. Setelah lima hari, yaitu pada Hari Raya Hati Yesus Yang Mahakudus, imam berkata: “Moeder, jika anda memiliki iman, majulah satu langkah demi menghormati Hati Yesus Yang Mahakudus.” Moeder Billiart, yang telah lumpuh selama duapuluh dua tahun, berdiri dan disembuhkan!
St. Yulia menghabiskan sisa hidupnya untuk mempersiapkan para gadis yang hendak menjadi biarawati. Ia mengurus kongregasinya. Ia banyak menderita oleh karena mereka yang tidak mengerti karyanya, namun St. Yulia senantiasa mengandalkan Tuhan. Kata-kata kesukaannya ialah: “Betapa baiknya Allah yang baik itu.” Tuhan meyakinkan Yulia bahwa suatu hari kelak, kongregasi religiusnya akan berkembang menjadi amat besar. Dan itulah yang terjadi. Meskipun St. Yulia telah wafat pada tanggal 8 April 1816, saat ini ada banyak suster dari kongregasi St. Yulia yang tersebar di seluruh dunia. Moeder Yulia dinyatakan kudus oleh Paus Paulus VI pada tahun 1969.

S. Yosephus Cafasso
Yosephus Cafasso dilahirkan pada tahun 1811 di Italia utara, dekat kota Turin. Empat tahun kemudian, pada tahun 1815, salah seorang muridnya yang paling terkenal, St. Yohanes Bosco, dilahirkan di kota yang sama. Yosephus berbahagia mempunyai orangtua yang sangat mengasihinya, yang rela berkurban demi pendidikannya. Ia pergi ke Turin agar dapat bersekolah di seminari. Yosephus bertemu Yohanes Bosco pada tahun 1827 ketika Bosco berumur dua belas tahun. Bosco berbicara kepada seminaris Cafasso di gereja dan kemudian lari sepanjang perjalanan pulang ke rumah. “Mama, mama,” teriak Yohanes, “aku bertemu dengannya, aku bertemu dengannya, mama!” “Dengan siapa?” tanya ibunya. “Yosephus Cafasso, mama. Ia seorang kudus, sungguh.” Ibu Bosco tersenyum dan mengangguk dengan lembut.
Pada tahun 1833, Yosephus ditahbiskan sebagai imam. Ia memulai tugas pelayanannya dan diutus belajar di sebuah sekolah teologi yang hebat bagi para imam. Setelah Pastor Cafasso menamatkan pelajarannya, ia menjadi seorang profesor teologi. Ia mengajar banyak imam muda selama bertahun-tahun. Mereka mengatakan bahwa ia sangat mengasihi mereka. Pastor Cafasso dikenal sebagai imam yang percaya akan kelemahlembutan dan belas kasih Allah. Karena ia sendiri begitu lembut hati, ia membangkitkan semangat dan pengharapan pada orang-orang lain juga. Ia membimbing banyak imam, kaum religius dan awam juga. Pastor Cafasso membantu Yohanes Bosco memulai pelayanan kerasulannya yang mengagumkan di antara anak-anak. Ia juga yang membimbing Pastor Bosco memulai ordo religiusnya yang dikenal sebagai Salesian. Pastor Cafasso membimbing yang lain pula membentuk ordo atau kongregasi mereka.
Pada masa Pastor Cafasso, ada begitu banyak kebutuhan sosial. Salah satunya yang paling mendesak adalah sistem penjara. Keadaan penjara amat menjijikkan. Tetapi, yang sungguh menggerakkan hati Pastor Cafasso adalah kebiasaan melaksanakan hukuman gantung bagi para narapidana yang dihukum mati di hadapan masyarakat umum. Pastor Cafasso datang kepada mereka dan menerima pengakuan dosa mereka. Ia mendampingi mereka, mengatakan betapa melimpahnya belas kasih dan kerahiman Tuhan bagi mereka hingga ajal menjemput mereka. Ia membimbing lebih dari enam puluh orang narapidana. Mereka semuanya bertobat dan meninggal dalam damai Kristus. Pastor Cafasso menyebut mereka sebagai “para kudusnya yang digantung”.
Pastor Cafasso juga menjadi pastor di Gereja St. Fransiskus pada tahun 1848. Tak seorang pun sanggup mengatakan betapa besar pengaruhnya bagi masyarakat dan karya-karya Gereja. Pastor Cafasso wafat pada tanggal 23 Juni tahun 1860. Sahabat setianya, St. Yohanes Bosco, yang menyampaikan homili pada saat pemakamannya. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Pius XII pada tahun 1947.

St. Petrus
Petrus, paus pertama kita, adalah seorang nelayan dari Galilea. Yesus memanggilnya untuk mengikuti Dia, “Aku akan menjadikan engkau penjala manusia.” Petrus adalah seorang sederhana yang giat bekerja. Ia murah hati, jujur dan amat dekat dengan Yesus. Nama asli rasul besar ini adalah Simon, tetapi Yesus mengubahnya menjadi Petrus, yang artinya “batu karang”. “Engkaulah Petrus,” kata Yesus, “dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku.” Petrus adalah pemimpin para rasul.
Ketika Yesus ditangkap, Petrus ketakutan. Saat itulah ia berbuat dosa dengan menyangkal Kristus sebanyak tiga kali. Rasa takut akan keselamatan diri sendiri menguasainya. Tetapi, Petrus menyesali perbuatannya dengan sepenuh hati. Ia mengangisi penyangkalannya sepanjang hidupnya. Yesus mengampuni Petrus. Sesudah kebangkitan-Nya, Ia bertanya tiga kali kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Jawab Petrus, “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Sesungguhnya, Yesus memang tahu! Petrus benar. Dengan lembut Yesus berkata, “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Yesus mengatakan kepada Petrus untuk mengurus Gereja-Nya, sebab Ia akan naik ke surga. Yesus menetapkan Petrus sebagai pemimpin para pengikut-Nya.
Di kemudian hari Petrus pergi dan tinggal di Roma. Roma adalah pusat seluruh Kerajaan Romawi. Di sana, Petrus mempertobatkan banyak orang. Ketika penganiayaan yang kejam terhadap orang-orang Kristen dimulai, umat memohon pada Petrus untuk meninggalkan Roma dan menyelamatkan diri. Menurut tradisi, ia memang sedang dalam perjalanan meninggalkan Roma ketika ia berjumpa dengan Yesus di tengah jalan. Petrus bertanya kepada-Nya, “Tuhan hendak ke manakah Engkau pergi?” Jawab Yesus, “Aku datang untuk disalibkan yang kedua kalinya.” Kemudian St. Petrus berbalik dan kembali ke Roma. Ia mengerti bahwa penglihatannya berarti bahwa ia harus menderita dan wafat bagi Yesus. Segera Petrus ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Karena ia bukan warganegara Romawi, sama seperti Yesus, ia dapat disalibkan. Kali ini ia tidak menyangkal Kristus. Kali ini ia siap untuk wafat bagi-Nya. Petrus minta agar disalibkan dengan kepalanya di bawah, sebab ia merasa tidak layak menderita seperti Yesus. Para prajurit Romawi tidak merasa aneh akan permintaannya, sebab para budak disalibkan dengan cara demikian. St. Petrus wafat sebagai marrir di Bukit Vatikan sekitar tahun 67. Pada abad keempat, Kaisar Konstantin membangun sebuah gereja besar di atas tempat sakral tersebut. Penemuan-penemuan kepurbakalaan baru-baru ini menegaskan kisah sejarah tersebut.

St. Paulus
Paulus adalah rasul besar yang dulunya menganiaya umat Kristen. Kemudian ia bertobat. Kita merayakan pesta bertobatnya St. Paulus pada tanggal 25 Januari. Pada saat pertobatannya, Yesus mengatakan: “Aku akan menunjukkan kepadanya betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku.” St. Paulus sungguh amat sangat mengasihi Yesus, buktinya, ia menjadi duplikat hidup Juruselamat kita. Sepanjang hidupnya, dalam sekian banyak perjalanan misinya, St. Paulus menghadapi berbagai macam tantangan dan bahaya. Ia didera, dilempari batu, kapalnya karam, tersesat di laut. Kerap kali dan berulang kali ia kelaparan, haus dan kedinginan. Namun demikian, ia senantiasa teguh percaya pada Tuhan. Tak pernah jera ia berkhotbah. “Cinta Yesus mendorong aku,” demikian katanya. Sebagai ganjaran, Tuhan memberinya penghiburan dan sukacita berlimpah dalam menanggung penderitaannya.
Kita dapat membaca kisah petualangannya yang mengagumkan demi Kristus dalam kitab Kisah Para Rasul yang ditulis oleh St. Lukas, dimulai pada bab sembilan. Tetapi, kisah yang ditulis St. Lukas berakhir ketika Paulus tiba di Roma. Ia berada dalam tahanan rumah, menunggu diadili oleh Kaisar Nero. Seorang penulis Kristen terkenal dari jaman Gereja Purba, Tertullian, mengisahkan bahwa Paulus dibebaskan setelah pengadilannya yang pertama. Tetapi kemudian, ia dijebloskan kembali dalam penjara. Kali ini, ia dijatuhi hukuman mati. Ia wafat sekitar tahun 67, pada masa penganiayaan yang dahsyat terhadap umat Kristen dalam pemerintahan Kaisar Nero.
Paulus menyebut dirinya sebagai rasul orang-orang non-Yahudi. Ia mewartakaan Injil kepada orang-orang bukan Yahudi. Hal tersebut menjadikannya terkenal di seluruh dunia. Oleh karena Paulus, kita juga, menerima iman Kristen.




sumber : https://perpustakaanpribadi.wordpress.com/category/katolik-riwayat-santo-santa-2/